x

Iklan

Muhammad Rois Rinaldi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sastra Masuk Sekolah

Dua hari di SMA Jenderal Sudirman, saya bahagia karena menemukan bakat-bakat terpendam.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sekitar tahun 2014 saya diundang untuk mengisi kelas sastra di SMA Jenderal Sudirman, Malang, tapi karena satu dan lain hal, saya belum dapat hadir. Meski begitu, saya berjanji akan mendatangi sekolah yang lebih dikenal dengan SMAJESKA ini. Tiga tahun berlalu, akhirnya saya dapat memastikan menepati janji seusai mengisi Sekolah Menulis di Ponorogo. Meski kabar kehadiran saya di Malang terbilang mendadak, pihak SMAJESKA menyambut dengan hangat.

Dalam berbagai acara sastra di sekolah, biasanya seluruh siswa dikumpulkan di aula lalu saya bicara sesuai dengan waktu yang telah ditentukan oleh panitia, biasanya 2 hingga 3 jam dan selesai. Di SMA Jenderal Sudirman berbeda, saya harus mendatangi kelas demi kelas selama dua hari. Karena saya terbiasa selalu siap menghadapi berbagai keadaan, konsep yang sedemikian saya terima dengan gembira.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada hari pertama saya memasuki tiga kelas. Di kelas pertama saya memberikan stimulus agar setiap siswa mau menulis. Saya bilang, nasib buruk milik pembaca dan nasib baik milik penulis. Cenderung berlebihan memang, tapi ini hanya cara untuk membangkitkan semangat para siswa untuk menyuguhkan dunia mereka kepada orang lain (pembaca) melalui karya berbentuk novel. Karena setiap pikiran dan perasaan manusia memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan tempat, diingat, dan dicatat.

Menulis novel dalam hitungan jam tentu saja mustahil, oleh sebab itu saya hanya meminta mereka membuat judul dan sinopsis di kertas yang dilipat-lipat membentuk buku. Sinopsis itu yang kemudian saya tugaskan untuk dilanjutkan menjadi sebuah novel, maksimal 6 bulan dihitung dari tugas itu diberikan kepada mereka. Berhasilkah? Kita lihat 6 bulan mendatang. Saya akan tanyakan hasilnya kepada guru yang mendampingi.

Di kelas kedua saya memberikan materi “puisi” dengan slogan “Belajar Membuat Bunga dengan Bilangan Tidak Terhingga”. Maksud dari membuat bunga dengan bilangan tidak terhingga adalah belajar memandang bunga sebagai bukan bunga, begitupun sebaliknya. Agar para siswa berani keluar dari kerangka pengetahuan umum dalam memandang sesuatu atau sebuah persoalan. Tidak lagi terkungkung pada kesepakatan umum adalah cara untuk menemukan sudut pandang yang berbeda.

Bagi saya ini penting, mengingat ketika saya bertanya tentang puisi jawaban kebanyakan siswa cenderung kaku, teoritis. Mereka memandang puisi sebagai media mengekspresikan diri, karya sastra, karya yang bahasanya indah, dan semacamnya. Jawaban mereka memang tidak salah, tapi itu menunjukkan mereka terkungkung dalam kebekuan imajinasi. Padahal anak SMA mestinya memiliki imajinasi yang melompat-lompat dan tidak terduga.

Tetapi saya juga mengingatkan bahwa kebanyakan orang kesulitan menulis puisi karena mereka memikirkan sesuatu yang belum disentuh oleh panca-indra, semacam hal-hal abstrak yang ingin ditangkap, sehingga “imaji” yang dimunculkan dalam teks puisi juga imaji-imaji abstrak belaka. Keindahan dari pikiran yang belum berbentuk sulit sekali menjadi puisi. Untuk itu saya memperkenalkan berbagai macam imaji. Ingat imaji bukan imajinasi, tapi serapan dari kata “image”.

Di kelas ketiga saya mengarahkan materi pada kemampuan mencatat kejadian-kejadian, dimulai dari kejadian yang dianggap paling penting. Untuk membangun ingatan saya meminta setiap siswa untuk melakukan rileksasi selama 30 detik, setelah itu tidak boleh berkata apa-apa dan tidak perlu berpikir bagaimana menulis, langsung menulis. Tidak perlu banyak, cukup 1 halaman.

Cara tersebut terbukti mampu membangkitkan minat menulis para siswa. Tidak ada yang tidak menulis, semua mampu menyelesaikan tulisan sebanyak satu halaman kertas buram dalam waktu +-15 menit. Kejadian penting yang telah mereka tulis kemudian dapat dijadikan dasar untuk menulis esai atau novel, tergantung mana yang lebih disukai. Persoalan kualitas tentu saja hanya persoalan seberapa sabar para siswa dalam berproses dan seberapa banyak mereka berlatih. Seperti jurus silat, semakin banyak berlatih semakin lentur setiap gerakannya.

***

Hari kedua saya ditemani oleh Fahruroji dan Faris Naufal Ramadhan, lelaki Cilegon yang kini aktif di Komunitas Kalimetro. Ozi, panggilan akrab Fahrurozi, dan Faris mengisi satu kelas, untuk membicarakan tentang rencana Kalimetro untuk mendatangi sekolah-sekolah yang ada di Malang. Tentu ini kabar baik, saya mengapresiasi. Karena sudah saatnya komunitas-komunitas yang berkaitan dengan literasi turun gunung. Saya sendiri mengisi dua kelas, menyampaikan hal-ihwal seni pertunjukan. Oh iya, selama kegiatan saya ditemani oleh seorang teman dari Cilegon, Hafidudin. Ia lelaki yang selalu membawa kamera.

Berbicara seni pertunjukan dalam waktu yang hanya hitungan jam tentu saja tidak memadai. Oleh karena itu saya hanya menyampaikan hal-hal yang mungkin belum disampaikan oleh kebanyakan orang, yakni totalitas. Maksud totalitas di dalam pikiran saya adalah peleburan antara “aku” sebagai manusia dan “aku” yang lain. Misalkan seseorang diminta memerankan tokoh Cut Nyak Dien. Ketika ia masih berpikir sedang berperan, maka ia gagal. Karena “berperan” berarti masih pura-pura sebagai, bukan menjadi.

Totalitas dalam dunia peran tidak mungkin dapat diraih tanpa kesediaan menghilangkan diri sendiri untuk menjadi apa yang diperankan. Oleh karena itu siapapun yang hendak memerankan tokoh tertentu, ia akan melakukan pendalaman peran. Tetapi pendalaman peran ini akan gagal juga tidak tidak didasari oleh kesediaan menghilangkan diri sendiri.

Setelah dirasa cukup memberikan pemahaman, saya meminta beberapa siswa untuk langsung mempraktikkan. Mulanya secara acak saya memilih tiga pasang pemeran, lelaki dan perempuan. Sebelum mereka berperan saya paparkan watak dan karakter tokoh dan alur cerita. Dari pemaparan tokoh dan alur itu mereka diminta menerjemahkan sendiri apa yang terjadi, termasuk gaya dialog dan gaya bicara. Sebentar, sebelum dimulai saya meminta mereka diam selama 30 detik untuk menghilangkan diri dan menjadi tokoh yang akan mereka perankan.

Saya bahagia melihat hasilnya. Para siswa mampu berperan dengan baik, bahkan dialog serta gaya bicara yang mereka tentukan sangat menarik. Begitupun ketika saya memilih beberapa siswa untuk monolog, secara umum mereka berhasil. Di sinilah saya semakin yakin bahwa kebanyakan orang kaku dan kurang menjiwai dalam dalam berperan karena ketidaksediaan menghilangkan diri dan menerima diri yang lain sebagai dirinya sendiri.

Terakhir membaca puisi. Kebanyakan orang ketika membaca atau sebut saja mendeklamasikan puisi, berpikir sedang mengemban tugas membaca sebuah teks berisi puisi yang jelas terpisah dari pembacanya. Inilah yang mengakibatkan tidak sedikit deklamator yang cukup asing bagi saya. Misalkan seseorang membaca puisi apapun dengan nada yang itu dan itu saja. Saya membayangkan lagu Broery dinyanyikan dengan cengkok dangdut, lagu Mariah Carey juga dengan cengkok dangdut, dan cengkok dangdutnya juga tidak berubah, ya, sebut saja semua lagu dinyanyikan dengan nada “Terajana”.

Beban membaca puisi pada akhirnya mengarahkan orang pada beban menentukan nada. Sebab nada yang menjadi tolok ukur, pada akhirnya lupa bahwa nada itu ditentukan setelah membaca, memahami, dan mendalami teks puisi. Nada yang semestinya ditentukan oleh puisi, ternyata ditentukan oleh kehendak pembaca. Maka jadilah puisi syahdu dibaca menggebu-gebu dan puisi protes sosial dibaca dengan nada mendayu-dayu.

Selain itu, tidak sedikit orang membaca puisi lebih mengedepankan gaya, bahkan gaya sudah ditentukan sebelum membaca teks puisinya. Akhirnya gaya tidak sama sekali menyatu dengan puisi. lompat-lompat tidak jelas, mengulur tangan, menghentak kaki, dan mengerlingkan mata tanpa motif. Padahal di dalam pembacaan puisi, gerak jari sekalipun harus berdasarkan keperluan puisi, bukan keperluan pembacanya.

Masih banyak lagi persoalan. Semuanya dikarenakan pembaca puisi atau yang akrab disebut deklamator memisahkan diri dari puisi. Mestilah dipahami bahwa deklamator dan puisi merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Napas deklamator adalah napas puisi, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu sebelum membaca puisi baiknya betul-betul melakukan pendalaman terhadap puisi agar tidak sekadar baca atau sekadar tampil lalu selesai tanpa kesan.

Para siswa, meski belum sepenuhnya mampu memperaktikkan dengan total, setidaknya sudah mampu menahan diri untuk tidak mengedepankan diri sendiri melebihi puisi yang dibacakannya.

Dua hari di SMA Jenderal Sudirman, saya bahagia karena menemukan bakat-bakat terpendam. Tugas selanjutnya adalah bagaimana mengarahkan bakat itu pada minat kemudian pada tindakan-tindakan yang melahirkan karya. Saya sempat ditanya, apakah saya bersedia datang lagi ke Malang. Tentu saya bersedia, jika takdir mengantarkan langkah saya kesana, lagi.

 

 

Ikuti tulisan menarik Muhammad Rois Rinaldi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan