Bagaimanapun Jokowi punya kecerdasan alamiah dalam berpolitik. Tapi sayang, seperti biasanya, dia hanya menggunakannya di arena yang sangat sempit, berjangka sangat pendek, dan di wilayah yang tak sebanding dengan kapasitasnya sebagai Presiden. Ini memang masih berkaitan dengan kedatangan Raja Arab yang sudah buyutan itu.
Raja tua itu telah diseretnya untuk memenangkan klaim simbolik dalam pertarungan pilkada Jakarta. Kini untuk sementara, kartu Islam tidak lagi jadi kartu as milik gerombolan-gerombolan berdaster yang suka takbir itu. Sekarang ini terasa betul, baik para penasihat Presiden maupun para Ahokers sedang bergembira ria menikmati pesta pendek yang palsu ini. Tapi ketahuilah, pertarungan politik dalam drama seperti ini menjadi semacam lelucon yang dangkal.
Cobalah ditarik lebih luas, misalnya dalam kerangka ekonomi-politik investasi dari Timur Tengah. Seharusnya sekarang ini Indonesia lebih layak mengundang Iran ketimbang Arab Saudi. Nilai investasi Iran jauh lebih besar ketimbang Arab Saudi -- masing-masing pada urutan ke-13 dan ke-57 -- dengan perbandingan 5 milyar dollar dan 14,3 juta dollar menurut perhitungan tahun lalu.
Dalam kalkulasi geopolitik, undangan Jokowi untuk Raja Arab hanya menegaskan posisi Indonesia yang lebih berpihak pada koalisi mesin perang Barat-Saudi-Turki-Israel, ketimbang poros anti-imperialisme Iran-AmerikaLatin.
Dilihat dengan cara pandang ini, perayaan menyambut Raja Arab itu sungguh perayaan yang buta konteks.
Ikuti tulisan menarik Ae Priyono lainnya di sini.