x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jika Panggilan Nabi Ibrahim Sudah Menggema

Pengalaman naik haji di tahun 1954 - 1964

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Naik Haji di Masa Silam – Kisah-Kisah Orang Indonesia Naik Haji; Jilid III (1954 – 1964)

Penulis: Henri Chambert-Loir

Tahun Terbit: 2013

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)                                                    

Tebal: v + 367 halaman

ISBN: 978-979-91-0658-2

 

Naik haji adalah sebuah fenomena. Ada berbagai cara seseorang berhaji. Ada yang berangkat karena niat, ada pula yang karena sebuah kebetulan. Namun jika panggilan Nabi Ibrahim ini sudah menjelma, maka tak ada penghalang yang bisa membuat seseorang berhaji.

Kisah-kisah dalam buku jilid III ini menunjukkan bahwa tidak semua orang berhaji karena niat. Tidak juga seorang berhaji karena sudah hidup saleh. Kisah Rosihan Anwar, Asrul Sani dan Misbach Yusak Biran (MYB) menunjukkan bahwa mereka berhaji karena ‘kebetulan’. Mereka sebenarnya tidak siap untuk menunaikan ibadah haji. Bahkan dalam tulisan MYB, seorang dokter kapal haji yang tujuan utamanya pergi ke Jedah adalah untuk membeli blok mesin mobil Fiat, dan tak pernah sedikitpun berhaji, sesampai di Mekah menunaikan ibadah haji. Pengalaman mereka ini jelas berbeda dengan pengalaman Saiful U.A yang berhaji pada tahun 1954 dan Harun Amirrurashid yang berhaji pada tahun 1960. Kedua penulis ini memang sudah siap untuk berhaji. Niat dan amalan ke-Islamannya sudah ‘matang’ untuk menunaikan ibadah haji.

Marilah kita simak kegalauan Asrul Sani:

Mobil yang terakhir telah berangkat. Gedung telah kosong. Yang tinggal hanya saya dengan empat orang kawan. Mereka telah begitu baik untuk menanyakan kepada saya, kapan saya bersedia berangkat ke Mekah. Saya minta sore hari. Sedangkan hati kecil saya berharap moga-moga sore hari ini panjang sekali dan matahari tidak pernah turun.

Tetapi sore sudah datang dan kedutaan telah mengirimkan pakaian ihram. Kawan-kawan saya telah siap bersembahyang sunat ihram. Yang tinggal hanya saya sendiri. Saya telah dua kali bersembahyang dan kedua kalinya saya berhenti di tengah-tengah. Pikiran saya melayang ke mana-mana. Demikianlah saya berdiri di atas balkon dan memandang nanap ke laut mencoba menenangkan hati saya (p 1170).

Meski Asrul Sani begitu ragu untuk menunaikan ibadah haji, namun pada akhirnya dia mendapatkan kebahagiaan itu.

Saya merasa diri saya sangat lelah seperti habis melakukan suatu perjalanan jauh dan akhirnya saya diberi kesempatan duduk untuk melepaskan lelah saya. Saya merasa seolah-olah ada yang datang pada saya, yang sengaja datang menyambut saya dengan tangan terbuka tatkala saya datang. Tangan saya dibimbing dan saya didudukkan, lalu yang datang menyambut saya itu berkata, “Sudah lama kau pergi merantau, akhirnya kau pulang juga. Sekarang di sinilah kau dahulu. Istirahatlah di sini, tidurlah di sini, makanlah di sini – ini adalah rumahmu dan kampung halamanmu!” Air mata saya keluar dan saya menangis tersedu-sedu.

Kisah unik disampaikan oleh MYB. Saat beliau berpamitan kepada Presiden Sukarno, sebelum berangkat haji dan membuat film tentang haji, Sukarno mengharapkan bahwa film yang dibuat janganlah berisi dakwah yang membosankan, tetapi berisi tentang perenungan yang mendalam. Film tersebut haruslah menyerupai buku “The Road to Mecca” tulisan Leopold Weiss, seorang Yahudi yang masuk Islam dan kemudian beganti nama menjadi Muhammad Assad. Sukarno lebih paham tentang kisah ini daripada berbagai kisah perjalanan haji orang Nusantara.

Pada periode 1954 – 1964 perjalanan haji dengan pesawat terbah sudah menjadi lazim. Demikian juga perjalanan unta telah diganti dengan perjalanan dengan mobil. Namun beberapa penulis masih merasa bahwa perubahan perjalanan yang menjadi lebih singkat ini menghilangkan banyak makna dan kisah.

Pada bab terakhir dari buku ini disajikan statistik orang Nusantara yang berhaji. Kita bisa melihat bahwa faktor alat transportasi, ekonomi dan politik berpengaruh terhadap perjalanan berhaji orang Indonesia. Ketika perjalanan haji sudah dikelola oleh pemerintah, jumlah jemaah haji Indonesia meningkat pesat. Demikian pula saat perjalanan haji sudah menggunakan pesawat terbang. Jumlah jemaah haji Indonesia menurun drastik di awal kemerdekaan. Hal ini disebabkan karena kondisi ekonomi yang sangat berat dan anjuran dari pemerintah untuk tidak mengajukan ibadah haji.

Jika anda ingin membaca lebih banyak tentang orang Nusantara berhaji, di daftar pustaka buku ini dicantumkan judul-judul artikel/buku/karangan tentang pengalaman berhaji.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

20 jam lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

20 jam lalu