Teori U dan Sonata dari Slovenia
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBMusik, kreativitas, dan kepemimpinan, semuanya menuntut pendekatan dengan hati. Miha Pogacnik, musisi dari Slovenia, meramu ketiganya dalam alunan biola.
Tulisan ini tersimpan di komputer saya sejak November 2016. Saya bagikan kepada pembaca Indonesiana, semoga jadi penyejuk di tengah suasana panas-dingin mencari pemimpin Jakarta :)
***
Miha Pogacnik, maestro biola dari Slovenia, singgah di Jakarta, November tahun lalu. Tiga kali konsernya di Jakarta, yang bertajuk “Transformational Leadersip - Theory U in Music”, menghadirkan momen “aha!” bagi pengunjung, yang sebagian besar praktisi bisnis. “Baru kali ini ada yang memadukan proses bermusik dengan teori manajemen bisnis,” kata Mari Pangestu, mantan Menteri Perdagangan.
Miha Pogacnik tak sekadar menggesek biola. Pada 26-27 November lalu, dalam serial konser yang diselenggarakan IDEAS, lembaga yang bergerak di bidang kepemimpinan inovatif, Miha mengajak publik Jakarta menikmati musik sekaligus berdialog tentang kepemimpinan. “Karena kita butuh terobosan, membuka perspektif di berbagai hal,” kata Felia Salim, tuan rumah konser, Ahad siang itu di Empu Sendok Art Station, Jakarta Selatan.
Sebuah sonata mengalun siang itu, “Sonata Nomor 1, Fuga G minor”, karya Johann Sebastian Bach. Gesekan biola musisi ini memang tidak sehalus maestro Yahudi Menuhin --begitu komentar seorang teman dan saya sepakat dengannya. Dan, memang bukan di situ kekuatan sang musisi. Pogacnik membawa musiknya masuk ke level lain, dia memadu not-not musiknya dengan teori manajemen modern. Itu sebabnya, audiens konser Pogacnik terutama adalah para pemimpin bisnis, termasuk Steve Wozniak dari Apple, dan beragam tokoh dunia. Mungkin tepat pula jika Pogacnik diberi predikat sebagai guru manajemen dengan pendekatan musik.
Siang itu di rumah Felia Salim yang hangat, saya beruntung menyaksikan Pogacnik beraksi. Dia berulang kali menginterupsi permainan biolanya dengan bercerita dan menggambar di kanvas. Nada yang intens, meninggi, menghentak, lalu halus melembut, semua diiringi gerakan serba ekspresif. “Rasakan dengan hati,” kata lelaki di akhir usia 60-an tahun ini. “Dinamika musik itulah yang semestinya menjadi inspirasi kita sehari-hari.”
Ketatnya iklim kompetisi, tekanan mengejar target, ketidakpastian, sering membuat pengusaha, pejabat, dan siapa pun berada dalam situasi terjebak. Menekan bawahan, mendesak kiri-kanan, menjadi respon yang lazim. “Kita terbiasa hanya berlaku R & D, reactive and downloading, bereaksi dan mengunduh. Tak ada proses memaknai dan mengendapkan dalam hati,” katanya. Dia menggesek biola dengan nada keras dan meninggi. “Derap ekonomi dunia menjadi tidak inspiratif,” katanya. Pertumbuhan ekonomi tidak menyejahterakan masyarakat, tapi memperkaya beberapa gelintir orang saja.
Duta Kebudayaan Republik Slovenia ini berkisah tentang tiga babak dalam kehidupannya. Pertama, kehidupan sebagai musisi yang tampil di berbagai orkestra kelas wahid. Dia juga bermain biola di 43 katedral suci di Eropa, juga di Piramida Cheops, Mesir. “Tempat-tempat yang membuat musik terasa ajaib,” kata Pogacnik.
Pertengahan 1980-an, kawasan Eropa bergolak. Konflik merebak di berbagai tempat. Miha berteriak di depan audiens konsernya, “Kita tak bisa lagi sekadar menikmati musik. Dunia butuh kita.” Babak kehidupan keduanya tiba, sebagai aktivis yang menyeru perdamaian. Seperti troubadur, Pogagnik berkeliling ke kota-kota yang dilanda konflik. Bosnia, Serajevo, Rusia, Armenia, total ada 200 kota yang dia singgahi dalam dua dasawarsa.
Memasuki 1990an, Pogacnik sampai di babak kehidupan ketiga, yakni memadukan proses bermusik dengan teori kepemimpinan dalam bisnis. “Karena kita tahu, ekonomi adalah jantung kehidupan dunia,” katanya. “Mustahil kita memperbaiki kualitas kehidupan tanpa memperbaiki cara kita menjalankan bisnis.” Dia menampilkan konser paduan musik dan bisnis ini di hadapan para pemimpin dunia, termasuk Steve Wozniak (co-founder Apple) dan Vaclav Havel (mantan Presiden Republik Checnya)
Pogacnik menggunakan “Teori U”, yang dikembangkan Otto Schamer dari MIT, yang populer di kalangan praktisi bisnis satu dekade terakhir. Perubahan sosial, menurut teori ini, hanya bisa tercapai jika kita membawa kesadaran, kepedulian, dan menaruh hati pada proses. Rangkaian proses “Teori U”, menurut Miha, sama seperti proses bermusik. “Bach, Mozart, para virtuoso hanya bisa menghasilkan komposisi jenius ketika mereka mendengar, menyerap, dan meluapkan gejolak ketika berkarya dengan sepenuh hati,” katanya.
Pada awalnya, menurut Pogacnik, orang tak suka mendengar musik yang diwarnai interupsi. Musik seharusnya didengar dan dinikmati tanpa gangguan. “Tapi, saya tak peduli.” Pogacnik tetap tampil dengan menginterupsi permainan musiknya, dia menggambarkan proses kreatif yang ada di sel-sel syaraf otak dan hatinya, lalu dia adaptasi dalam bingkai teori bisnis. “HR itu bukan lagi human resource, tapi human resonance. Jangan lagi gunakan brainstorming, tapi gunakan heart storming,” katanya. “Hal kecil tapi bisa mengubah paradigma, memberi hati pada proses bisnis.” Puluhan pengunjung manggut-manggut mendengar penjelasan Pogacnik. Siang jadi kian semarak.
Proses perubahan tak bisa sekejap. Perlu puluhan tahun mengubah proses berpikir, bergerak, dan memimpin perubahan sosial. Pogacnik berminat mengadakan eksperimen di Indonesia, mendatangi berbagai komunitas yang berusaha merintis perubahan, bisnis atau pun sosial, menyelami persoalan dengan pendekatan Teori U dalam musik, lalu bersama mencari inovasi. “Mari sirami benih yang sudah kita tanam hari ini di Jakarta,” kata Pogacnik menutup konser siang itu.
****
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Tak Ada Revolusi dalam Soal Kualitas
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBSetelah Badai Pilkada Berlalu
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler