Bukan hanya pahlawan, anak bangsa, pembela tanah air menulis bagi saya adalah berjuang. Mengapa saya katakan menulis adalah berjuang. Saya terinspirasi pengantar Putu Wijaya pada novelnya yang berjudul Stasiun. Buku yang diterbitkan tahun 2004 (pemenang sayembara Novel DKJ tahun 1975). Membaca tulisan Putu Wijaya saya merasa tergugah kembali untuk berjuang dalam dunia kepenulisan. Saya perlu membalik-balik tulisan Putu Wijaya karena ia termasuk penulis produktif. Alur pikirannya sejalan dengan pikiran penulis pada umumnya yang bercita-cita mewujudkan karyanya menjadi sebuah catatan sejarah.
Sewaktu mahasiswa saya pernah aktif di forum teater dan sastra dan pernah memainkan teater absurdnya Putu Wijaya berjudul Gerr. Itulah yang membuat saya kagum dengan gaya mengarang Putu Wijaya yang kata Radhar Panca Dahana mampu menuliskan cerita tragik kemanusiaan dengan lancar dalam emosi yang padat dalam kegetiran. Absurditas tulisan Putu Wijaya seperti seorang penulis yang bisa menggabungkan kenyataan atau realita namun kemudian bisa melompat dalam dunia kayalan dengan santainya seakan ia tidak mau terikat oleh teori-teori cerita yang biasanya dipegang oleh seorang pengarang. Ia seperti Albert Camus yang terkenal dengan teori Absurditas yang mengetengahkan tokoh terkenal Sysiphus(Tokoh yang sering ditampilkan dalam drama atau teater).
Saya senang menulis dan harus berjuang melawan energi besar penulis-penulis muda yang seringkali penuh kejutan dengan kualitas karangan yang mengagumkan. Pikiran tua saya susah ya melawan ketangguhan para anak muda yang mempunyai terobosan tulisan faktual dengan cergas menangkap angle tulisan kekinian yang disukai redaksi dan khalayak pembaca.
Tapi apakah saya harus menyerah. Tidak. Saya harus mengalahkan ego, kemalasan, kekesalan-kekesalan serta iri hati. Wujud iri hati itu harus diarahkan ke sesuatu yang positif. Sekali lagi saya mencuplik kalimat –kalimat inspiratif penulis produktif Putu Wijaya dari alur cerita Putu Wijaya saya tahu mengarang itu sebuah adalah bagian dari kebutuhan pokok. Tidak semua karangan yang sudah tertuang itu indah semua ada yang gagal, menjadi catatan tidak penting tapi semua itu ibaratnya adalah anak-anak saya yang merupakan bagian dari diri dan eksistensi saya(Dalam sebuah cuplikan pengantar Putu Wijaya halaman XX). Buku ini sebuah koleksi lama saya sekitar tahun 2005. Seperti biasa karangan siapapun yang memberi inspirasi dan membuka kembali semangat untuk menulis akan saya lahap. Apa salahnya mengikuti alur berpikir Sang Maestro Sastra Modern.
Dalam perjalanan kepenulisan saya sebagai blogger saya menyadari tidak semua suka dengan gaya tulisan yang cenderung tidak populer. Tapi bagaimanapun saya harus setia untuk tetap membaca buku-buku yang memberi kualitas sebuah tulisan terlepas apakah tulisan saya hanya dibaca kurang dari 50 pembaca. Sebab saya percaya apapun sebuah tulisan entah jelek entah bagus itu merupakan sebuah perjuangan. Mengalahkan ego, refleksi atas situasi sosial yang ada di sekitar penulis dan tentunya hasil endapan pemikiran dari seorang yang setia menjalani kesenangan dan sebuah panggilan jiwa.
Untuk bisa menulis di Platform blog tidak berbayar itu tentu butuh biaya yang tidak sedikit. Dari pengeluaran kuota internet, menyisihkan waktu dari rutinitas pekerjaan utama, siap mendengarkan suara-suara miring yang mengatakan apalah arti menulis tanpa menghasilkan uang di zaman yang semuanya diukur dengan uang dan uang. Bagi saya tulisan yang mendapat apresiasi dan dibaca itu sudah merupakan bagian dari suka cita. Akan sedih jika ternyata tulisan-tulisan yang sudah susah-susah dibuat tidak mendapat respon dari pembaca. Saya sudah pernah menulis puisi, prosa, syair, bahkan novel(meskipun belum berani mempublikasikan) itu selalu akrab dengan kesunyian suasana pertentangan bathin, pertarungan rasa suka dan kemarahan, rasa kecewa, cinta, kesedihan serta suka cita.
…dari awal saya percaya bahwa mengarang adalah pekerjaan yang akan membuat orang dihantui oleh kesunyian…
Biarlah kesunyian itu menjadi milik saya, saya akan tetap menulis meskipun dalam perjalanan tulisan saya terasa sunyi oleh pembaca. Mengarang adalah berjuang, berjuang untuk lepas dari rasa kecewa, berjuang untuk menerima sebuah kenyataan pahit, belajar untuk dicaci,belajar untuk berani menerima kritikan demi kritikan. Belajar untuk mengagumi penulis pemula, belajar pada penulis muda yang sangat tangguh hasil dari produk milenial yang pandai mencari celah teknologi dan memanfaatkan perangkat IT untuk mengundang pembaca mampir di lapak tulisannya. Kesunyian itu adalah ide cemerlang dari sebuah puisi kehidupan. Mari berjuang tanpa lelah.
Judul di atas diambil dari Pengantar Putu Wijaya dalam Bukunya Stasiun.
Ikuti tulisan menarik Pakde Djoko lainnya di sini.