x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ada Kecemasan di Balik Penghancuran Buku

Berbagai kajian menunjukkan bahwa pembakaran buku dan penghancuran perpustakaan dilandasi oleh prasangka dan kecemasan para penguasa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Untuk menghancurkan suatu budaya engkau tak perlu membakar buku-buku, kata penulis Ray Bradbury (Fahrenheit 451), cukup membiarkan orang-orangnya tidak membaca. Namun secara historis, yang terjadi adalah pembakaran buku dan penghancuran perpustakaan. Sejak lama, di berbagai belahan dunia, kebanyakan penguasa percaya bahwa inilah cara menghapus jejak sejarah suatu masyarakat dan menjauhkan mereka dari pengetahuan.

Ketika jumlah buku yang mampu diproduksi masih sangat sedikit, karena harus disalin dengan tangan, pembakaran buku mungkin saja mampu melenyapkan semua pengetahuan yang tersimpan di dalamnya. Tapi, sejak Johannes Gutenberg menemukan mesin cetak yang sanggup memproduksi buku dalam jumlah banyak, upaya melenyapkan semua buku menjadi lebih sukar. Pembakaran buku kemudian lebih merupakan tindakan simbolis.

Dalam On the Burning of Books, yang baru saja terbit, 2016, Kenneth Baker mengeksplorasi momen-momen mashur dalam sejarah ketika buku dibakar karena alasan-alasan politik, keagamaan, budaya, hingga alasan pribadi—prasangka, ketidaksukaan, kebencian. Pembakaran boleh saja menghancurkan buku dan manuskrip jadi abu, tapi Baker menunjukkan, kata-kata, pikiran, gagasan, dan perasaan yang ingin dihancurkan oleh pelakunya bahkan menjadi semakin kuat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagaimana sensor yang dilakukan oleh berbagai rezim penguasa di negara manapun, buku atau manuskrip yang dilarang diterbitkan dan diedarkan justru memancing rasa ingin tahu banyak orang. Ketika karya David Jenkins, Suharto and His Generals, dilarang beredar, masyarakat justru berusaha dengan beragam cara untuk dapat membaca buku ini. Ketika itu, pada tahun 1980an, komputer belum secanggih sekarang, belum tersedia naskah dalam format PDF atau epub, maka memfotokopi buku ini merupakan cara yang memungkinkan karya Jenkins beredar dari tangan ke tangan.

Dalam karya yang menarik, Libricide, terbit 2006, Rebecca Knuth memusatkan perhatiannya pada penghancuran buku maupun perpustakaan pada abad ke-20 yang disponsori oleh rezim penguasa, didorong oleh ideologi, serta berlangsung secara sistemik. Knuth memelajari peristiwa penghancuran perpustakaan (libricide) yang dilakukan Nazi, bangsa Serbia di Bosnia, Irak, para Maois di masa Revolusi Budaya maupun Cina Komunis di Tibet. Knuth menyimpulkan, penghancuran buku dan perpustakaan oleh rezim otoriter dipicu oleh impuls yang sama yang telah memprovokasi genosida maupun etnosida. Seperti kata penyair Jerman Heinrich Heine, “Di manapun mereka membakar buku, pada akhirnya mereka akan membakar manusia.”

Kajian Baker dan Knuth melengkapi kajian serupa yang dilakukan oleh Fernando Baez dan dituangkan dalam Historia universal de la destruccion de libros, terbit 2004. Karya yang sudah diterbitkan dalam bahasa Indonesia (Penghancuran Buku dari Masa ke Masa, 2013) ini disusun dengan berawal dari pertanyaan yang menggangu Baez: “Mengapa manusia menghancurkan buku?”

Baez mengungkapkan dengan gamblang bahwa penghancuran buku dan perpustakaan terjadi di sepanjang sejarah peradaban manusia dan berlangsung di hampir semua tempat di muka Bumi. Bahkan, tindakan librisida dilakukan oleh orang-orang yang berlatar pendidikan sangat tinggi. Di Sarajevo, ibukota Bosnis, perpustakaan nasional dihancurkan atas perintah Dr. Radovan Karadzic, seorang psikiater dan penyair yang mengajarkan karya-karya William Shakespeare. Karadzic membenarkan penghancuran warisan budaya yang tak tergantikan itu—kitab, manuskrip, surat, foto, dan bahkan karya penyair Kroasia Silvije Stahimir Kranjcevic dan penyair Serbia Aleksa Simic.

Karadzic adalah potret intelektual yang memahami benar mengapa sebuah buku bisa jauh lebih berbahaya ketimbang peluru. Sebuah buku sanggup menghubungkan kesadaran akan masa lampau dengan masa depan, dan penghancuran buku dan perpustakaan adalah cara paling ampuh untuk menghentikan pertautan itu. Penghancuran buku adalah jalan untuk memusnahkan ingatan dan memutus sejarah sebuah masyarakat oleh orang-orang yang selalu diliputi prasangka dan kecemasan. (Foto: pembakaran buku-buku oleh Nazi Jerman) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler