x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Hari Kebangkitan yang Sunyi

Hari Kebangkitan Nasional kali ini terasa begitu sunyi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Hari Kebangkitan Nasional kali ini terasa begitu sunyi. Barangkali kita sama-sama merasa bahwa kegaduhan belum lagi berakhir hingga kita merasa jengah untuk bergandeng tangan serta mengingat kembali perjuangan para perintis kemerdekaan. Atau kita merasa malu?

Riak-riak kegaduhan masih menjalar dan mungkin akan terus menjalar tidak terkendali kecuali kita bersama punya kehendak kuat untuk menghentikan penjalarannya. Bangkit dari perselisihan dan bahu-membahu kembali. Diperlukan kelapangan dada dari setiap pihak untuk tidak mengklaim kebenaran dan bersedia mengkaji dengan kepala jernih dan hati tenang mengenai apa sebenarnya yang membuat keadaan jadi demikian keruh.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kita perlu sama-sama merenung, apakah memang ada perbedaan yang sangat mendasar ataukah kegaduhan ini lebih disebabkan oleh perbenturan kepentingan yang semestinya dapat dicarikan jalan keluarnya. Sudah terlampau banyak energi kita tumpahkan untuk menyalurkan kemarahan, kecurigaan, prasangka, juga memuaskan keinginan masing-masing. Tidak selayaknya kita memperkokoh tembok pemisah yang sempat menciptakan dikotomi ‘kami’ dan ‘kalian’.

Bila kita berpaling kepada sejarah, apakah Indonesia semacam ini yang diinginkan oleh para perintis dan pendiri Republik ini? Tiap-tiap pihak niscaya akan mengajukan argumen dan tafsir untuk mendukung posisi yang dipilihnya. Sayangnya, dalam setiap argumen dan tafsir terkandung masalahnya sendiri—ada titik tolak yang berbeda, ukuran yang berbeda, cara yang berbeda, yang sering kali membuat perbedaan pendirian sukar dijembatani.

Jadi, diperlukan kesediaan diri untuk membuka ruang dialog dengan mula-mula membebaskan diri dari prasangka yang membayangi. Dibutuhkan kerendahan hati untuk melihat kemungkinan adanya unsur kebenaran di pihak lain. Diperlukan kemauan untuk saling mendengarkan pikiran masing-masing.

Mendengarkan dengan berempati selalu disarankan oleh para ahli sebagai cara menjembatani perbedaan. Alasan-alasan pihak lain penting untuk dipertimbangkan saat mengevaluasi sikap diri sendiri, termasuk klaim-klaim kebenaran. Banyak perselisihan terjadi karena perbedaan persepsi, dan perbedaan ini sukar dijembatani manakala masing-masing pihak merasa benar sendiri dan tak mau mendengar suara pihak lain.

Zaman memang sudah berganti dan kita dihadapkan pada tantangan yang tidak kalah rumit dibandingkan Indonesia masa lampau. Pergolakan besar bahkan beberapa kali terjadi dan menimbulkan korban, tapi kita selalu dapat bangkit kembali dari keterpurukan. Sebagian sejarah memang masih menyisakan kepahitan karena tidak tuntas terselesaikan. Betapapun begitu, kita tetap perlu membaca ulang sejarah pembentukan Republik ini—karena alasan apa dan untuk tujuan apa negeri ini dibentuk?

Barangkali pula kini waktunya bagi kita untuk merekonstruksi Indonesia masa depan seperti apa yang kita inginkan bersama? Anak cucu kita mungkin saja punya kehendak berbeda, tapi setidaknya kita memberi landasan yang menyambungkan masa depan dengan sejarah pendirian Republik ini, sebuah jembatan yang kokoh, sebuah fundamen yang kuat bagi kelangsungan negeri ini. Inilah momen bagi kita untuk bangkit dari perselisihan dan menjadikan Indonesia negeri yang lebih keren. (Foto: peserta sidang Sumpah Pemuda II 1928) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Penumbra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Penumbra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu