x

Ratusan bunga mawar berbentuk tulisan Save Ahok yang dibuat oleh relawan saat berlangsung sidang penistaan agama di Jakarta, 9 Mei 2017. TEMPO/Subekti.

Iklan

Hamidulloh Ibda

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menyemai Generasi Bunga

Generasi bunga selalu berinovasi, menjadi pijakan, dan memberi keharuman dalam kehidupan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di era milenial seperti ini kita defisit “generasi bunga” dan surplus “generasi perusak” yang perilakunya sangat tidak humanis. Sebab, orang sudah tidak peduli keindahan dan kemesraan karena dangkal memaknai toleransi. Apalagi, banyak penjajahan dari luar yang ingin mengusik kehidupan bernegara dan beragama di negeri ini.

Bunga yang dipersembahkan untuk Ahok-Djarot tidak sekadar urusan sosial politik, melainkan juga urusan peradaban manusia. Jumlah karangan bunga yang dikirimkan untuk Ahok-Djarot mencapai 5.016 (Tempo, 5/5/2017). Secara kuantitatif, ribuan bunga itu menjadi wujud kemesraan rohani meskipun Ahok-Djarot kalah Pilkada Jakarta. Namun, mengapa karangan bunga itu dibakar dan dikutuk-kutuk? Apakah bunga itu bersalah?

Di media sosial, ribuan karangan bunga yang dikirim pihak tertentu ke kantor Pemda DKI Jakarta, kantor PBNU dan Mabes Polri dinilai langkah “politisasi” mendukung Ahok-Djarot dengan tameng “melawan Islam radikal”. Asumsi Islam radikal adalah mereka yang anti-Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Mereka merupakan peserta Aksi 411, 212, 112, 313 termasuk aksi 505 kemarin.

Bahkan, cara ini dituduh seperti “cara PKI” untuk adu domba antarumat Islam dengan dikotomi Islam radikal dan non radikal dan menyelematkan Ahok dari jerat hukum. Pendapat ini justru paradoks, sebab, Ahok akhirnya divonis dua tahun penjara dan ini bukti hukum tetap berjalan. Bahkan, selain bunga, gerakan simpatik dengan penyalaan lilin juga berjalan di Indonesia dan luar negeri dipersembahkan pasca Ahok divonis.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bunga Toleransi

Secara simbolik, bunga identik dengan keindahan dan memiliki derajat estetik tinggi. Ia simpul peradaban dan penentu baik buruk kehidupan. Contohkan saja “bunga desa” menjadi simbol perawan cantik di sebuah kampung yang harus dijaga dan dihormati. Kemudian “bunga rampai” menjadi simbol intelektualitas dalam bentuk buku. Lalu “bunga tidur” yang merupakan mimpi dan menjadi spirit mencapai tujuan hidup. Semua kearifan itu harus disemai, dijaga, bukan dibakar.

Bunga dalam tumbuhan juga menjadi perekat untuk menghasilkan buah. Jika bunga itu bagus, maka buah akan bagus dan sebaliknya. Sementara kembang dan berkembang, adalah aspek produktivitas. Lalu, bagaimana dengan bunga untuk Ahok-Djarot?

Ribuan karangan bunga yang hadir di Jakarta, Surabaya, Semarang, Jogjakarta, dan kota-kota besar lainnya menandakan dukungan moral untuk bertoleransi. Namun, pembakaran bunga untuk Ahok-Djarot pada saat demo 1 Mei 2017 dalam perayaan Hari Buruh Internasional itu “tidak manusiawi” bahkan irasional.

Di tiap kegiatan ritual, masyarakat menggunakan bunga sebagai bentuk rasa persaudaraan, bukti cinta dan juga dukungan moral. Pemberian bunga tidak hanya saat kelahiran bayi, namun juga saat ulang tahun, pernikahan, pelantikan, sampai kematian dan ziarah kubur serta kegiatan sakral lainnya. Bahkan dalam tradisi Jawa, orang yang ingin mencapai derajat suci harus “mandi kembang”.  Betapa sakralnya bunga dalam kehidupan di Nusantara ini.

Dulu, Sunan Kalijaga dalam dakwahnya juga memberikan cucian tangan setelah tradisi kenduri. Cucian tangan itu berisi air dan tiga macam bunga, yaitu mawar, kenanga dan kantil (cempaka putih). Bunga mawar menandakan hidup “berwarna-warni” yang majemuk. Bunga kenanga menandakan pilihan hidup, “keno ngono, keno ngene” (bisa seperti itu dan seperti ini). Sementara bunga kantil, manusia harus tetap “kumantil” (melekat) dengan Tuhan (Muwafiq, 2015).

Falsafah bunga itu hadir di kehidupan yang majemuk, namun tetap rukun, damai serta tetap tidak melupakan Tuhan. Saat ini kita hanya bisa mencela, mengafirkan, menyalahkan pendapat para Walisongo yang adiluhung itu. Bahkan, keberagamaan kita saat ini seperti “mesin potong rumput” yang membabat habis semua ajaran-ajaran Islam produk Walisongo, ulama dan kiai.

Lantaran miskin pemahaman akan kemajemukan, banyak pemeluk agama lupa hakikat agama itu sendiri, yaitu menciptakan kegembiraan dan keselamatan bagi semua makhluk. Urusan politik, agama, negara, semua dicampur yang berakibat pada pertikaian.

Generasi Bunga

Bunga di era milenial tidak sekadar urusan biologi, namun erat dengan hal paling dasar dalam kehidupan manusia. Mulai dari cinta, kasih sayang, kelahiran hingga kematian. Kita sangat merindukan “generasi bunga” yang menebar bau harum, menjadi organ reproduksi yang akan melahirkan buah yang bermanfaat.

Generasi bunga memang langka, karena saat ini banyak sekali generasi “bangga” yang membangkang, besar hati dan tidak tawaduk. Toto Rahardjo (2015) menjelaskan di zaman global seperti ini hanya ada dua generasi, yaitu generasi “flowerdanfollower”, dan hanya generasi bunga yang bisa bertahan hidup dan menjadi pionir perdamaian.

Rumusnya, dalam hidup ini hanya ada dua generasi yang saling bertentangan. Yaitu generasi bunga dan bangga, pelopor dan pengekor, penemu dan peniru, kreator dan plagiator, damai dan bertikai, tabiin dan taklidin, kembang dan ambang, dan lainnya.

Generasi bunga (flower), selalu berinovasi, menjadi pijakan, dan memberi keharuman dalam kehidupan. Seban, ia akan menjadi “buah” yang siap dipetik untuk mengisi masa depan. Berbeda dengan follower, sebab ia meniru, plagiat, serta latah karena mudah dijajah dan tidak punya pedoman.

Bisa kita amati, di era milenial seperti ini, teknologi menggiring kita untuk menjadi generasi follower melalui akun media sosial. Mulai dari Facebook, Twitter, Instagram, Path dan lainnya. Meskipun menjadi pengikut, namun bukan berarti kita “follower” yang hanya bergantung pada orang lain.

Semoga usai Pilkada DKI Jakarta, pembubaran HTI dan vonis Ahok, masyarakat kita makin damai dan bisa memaknai hakikat bunga. Di zaman yang penuh fitnah dan intoleransi seperti ini, kita harus menyemai “generasi bunga” yang menebar kasih sayang.

Kita butuh agen yang membantu penyerbukan agar bunga mampu menjadi embrio buah yang bermanfaat. Pertanyaannya, lebih logis dan humanis mana membakar dengan menyemai bunga?

Oleh: Hamidulloh Ibda

Dosen Tarbiyah STAINU Temanggung

Ikuti tulisan menarik Hamidulloh Ibda lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler