x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Cahaya yang Menuntun ke Mahacahaya

Tariq Ramadan menawarkan pendekatan spiritual untuk memahami setiap peristiwa yang dialami Sang Nabi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Muhammad: Rasul Zaman Kita, Tariq Ramadan, Serambi

Selalu ada yang dapat ditulis perihal hidup Nabi Muhammad SAW, sekalipun sudah banyak biografi tentang Sang Nabi. Sejak Ibn Ishaq mencatat kehidupan Sang Nabi, lalu Ibn Hisyam melahirkan kitab Al-Sirah al-Nabawiyyah (Kehidupan Nabi), yang dianggap sebagai karya klasik otoritatif yang sampai ke tangan kita di masa sekarang, buku-buku dengan beragam sudut pandang sudah ditulis.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di era kita di antaranya ada Karen Armstrong, Martin Lings, Muhammad Husayn Haykal, William Montgomery Watt, Maxime Rodinson, Seyyed Hossein Nasr, Annemarie Schimmel, dan juga Tariq Ramadan. Nama terakhir ini, cucu pendiri Ikhwanul Muslimin dan kini menjadi profesor di Swiss, menawarkan pendekatan menarik dalam memahami kehidupan Sang Nabi melalui bukunya, Muhammad: Rasul Zaman Kita (di Indonesia buku ini diterbitkan oleh Serambi dari judul berbahasa Inggris: In the Footsteps of the Prophet yang diterbitkan Oxford University Press).

Ramadan berusaha menyelami jantung kehidupan Sang Nabi dan memahaminya dalam sudut pandang spiritual. Kehidupan Sang Nabi adalah kehidupan spiritual, bahkan untuk hal-hal yang kasat mata dipandang orang banyak sebagai fisikal belaka. Sejak kelahiran hingga wafatnya, di mata Ramadan, kehidupan Nabi dipenuhi dengan beragam peristiwa, situasi, dan pernyataan yang mengandung pelajaran spiritual yang paling dalam.

Agaknya, Ramadan memang ingin ‘mengabadikan’ kedalaman spiritual Sang Nabi yang tak lapuk ditelan zaman. Bukan hanya di dalam keteguhan iman Sang Nabi, maupun dialognya dengan Sang Pencipta, pengamatannya terhadap alam, kedamaian batin yang ia rasakan, hingga berbagai tanda dan cobaan maupun keraguan diri, menurut Ramadan, merupakan tema yang menuturkan sekaligus mengingatkan kita bahwa pada dasarnya tidak ada yang berubah.

Namun Ramadan tidak berhenti kepada menemukan kandungan spiritual dari setiap sisi kehidupan Sang Nabi, melainkannya mentautkannya dengan perspektif masa kini. Ia mengajak kita untuk melihat tautan dan relevansi dari peristiwa yang dialami Sang Nabi, maupun ucapan dan tindakannya, dan kandungan spiritualnya dengan situasi kekinian.

Ramadan merujuk sumber-sumber klasik sejauh menyangkit berbagai fakta dan kronologi, untuk kemudian menghadirkan perenungannya sendiri. Ia menyimpulkan, kehidupan Sang Nabi merupakan ajakan menuju spiritualitas—sebuah pendakian menuju pertemuan yang dekat dengan Sang Pencipta, asal-muasal manusia. Sang Nabi, dalam penilaian Ramadan, mengajarkan kepada kita bahwa jawaban yang paling benar untuk persoalan eksistensial lebih sering dikatakan oleh hati, bukan oleh akal. Ramadan meringkasnya dalam kalimat ini: “Sederhana namun mendalam: mereka yang tidak mencintai tidak akan memahami.”

Mencintai hanya bisa dilakukan melalui dialog yang terus-menerus dengan Sang Pencipta, dan dari sanalah akan sampai pada pemahaman. Pengakuan akan kehadiran Sang Pencipta hanyalah awal dari perjalanan spiritualitas. Sang Nabi mengajarkan, diperlukan perjuangan spiritual yang tak kenal letih dengan tetap bersikap rendah hati dan menyadari kerentanan diri. Ketika manusia enggan atau jarang berdialog, ketika itulah kerentanan dapat maujud dalam kejatuhan. Kerendahan hati ditunjukkan dengan selalu berusaha menyerap nutrisi zikir dan meminta Sang Pencipta agar selalu menjaga keteguhan hati.

Membaca Rasul Zaman Kita membantu pemahaman ihwal perjuangan spiritual Sang Nabi yang tak pernah berhenti hingga wafatnya. Sang Nabi adalah cahaya yang menuntun ke Mahacahaya. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler