x

Ilustrasi vestal virgin. Historyweb.sk

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Memahami Manusia Lewat Sosiogenetika

Perpaduan genetika dan ilmu-ilmu sosial semakin menguat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Sekilas, genetika dan ilmu sosial terletak di ujung berlawanan dari suatu spektrum. Genetika berkiprah di wilayah genetik. Kita mewarisi perpaduan gen dari kedua orang tua dan gen ini menentukan keluaran dari potensi-potensi individual kita—secara fisik, medis, maupun perilaku. Di sisi lain, ilmu sosial menaruh perhatian pada interaksi manusia, di mana keluaran individual dapat dimodifikasi oleh intervensi dalam interaksi ini.

Seiring makin terhimpunnya data genetik manusia, yang dilakukan oleh berbagai institusi riset, perjumpaan genetika dan ilmu sosial semakin sukar dihindari. Sebagian ilmuwan sosial berusaha mencari penjelasan yang lebih memuaskan tentang, umpamanya, mengapa kelompok masyarakat tertentu begitu lekat dengan kekerasan. Apakah ada warisan genetik dalam kelompok ini yang sangat memengaruhi perilaku kekerasan mereka?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kecenderungan konvergensi berbagai ilmu memang kian terlihat. Upaya memadukan pendekatan sosiologi, antropologi, budaya, maupun genetika untuk memahami masyarakat cenderung semakin kuat, walaupun tidak semua orang setuju. Di Boston, 12 Februari 2011, menyusul pertemuan konsorsium CHARGE (Cohorts for Heart and Aging Research in Genomic Epidemiology), lebih dari 50 peneliti dari berbagai disiplin ilmu mendiskusikan pembentukan konsorsium untuk studi genetika atas hasil-hasil riset sosial.

Dari pertemuan ini lahirlah Social Science Genetic Association Consortium (SSGAC). Di dalamnya terlibat para peneliti medis dan ilmuwan sosial yang mengoordinasikan kajian genetika untuk ilmu sosial. Upaya untuk membangun platform bersama terus dilakukan, sebab mengintegrasikan genetika dan ilmu sosial tidaklah mudah. Namun, mereka yang terlibat meyakini bahwa upaya memadukan pendekatan interdisiplin ini akan berpotensi mentransformasi bidang sosiologi, ekonomi, maupun psikologi.

Gairah untuk mentautkan genetika dan ilmu-ilmu sosial menemukan momentumnya ketika jurnal sosiologi terkemuka, American Sociological Review, edisi Agustus 2008, menerbitkan artikel dengan perspektif genetika, dan tiga bulan kemudian American Journal of Sociology mengeluarkan edisi khusus yang mengangkat tema “Exploring Genetics and Social Structure”.

Penerbitan edisi khusus ini, menurut sosiolog Peter Bearman dari Columbia University yang menjadi editor edisi ini, termotivasi oleh apa yang tampak sebagai paradoks asing. Yang dimaksud Bearman, setiap pekan, Science Times—salah satu acara temu muka antara ilmuwan dan publik di AS—melaporkan temuan baru yang menyingkap basis genetik bagi kecerdasan, kegemukan, depresi, altruisme dan egoisme, dan seterusnya. Fenomena yang dilaporkan sebagai ‘genetik’ itu sebagian besar bernuansa sosiologis. Namun para sosiolog jarang mendiskusikannya. Bahkan, di saat yang sama, penekanan pada ekspresi genetik sebagai penjelasan bagi perilaku manusia dan interaksi sosial dianggap oleh sebagian sosiolog akan menggerogoti perspektif sosiologis murni.

Di luar paradoks tadi, publikasi di kedua jurnal tersebut merupakan pertanda bahwa sebagian sosiolog telah memperhitungkan revolusi genetika. Mereka tak bisa mengabaikan atau berpura-pura tidak tahu bahwa terjadi sesuatu di tetangga sebelah. “Kita akan rugi jika kita tidak terlibat dalam argumen-argumen itu,” kata Jason Schnittker, associate professor di University of Pennsylvania, yang juga menjadi kontributor edisi khusus American Journal of Sociology.

Bagi sebagian sosiolog, ‘sosiologi genetika’—istilah yang untuk sementara dipakai—adalah alternatif bagi ‘sosiologi tradisional’. Bahkan, bagi kelompok ‘garis keras’, perspektif sosiologis yang tidak melibatkan gen (see-no-gene perspective) kini dianggap sudah usang. Salah seorang pendukung arus ini ialah Guang Guo, ilmuwan yang bekerja di University of North Carolina, AS, yang melakukan kajian tentang gen dan kejahatan. Beberapa tahun yang lampau, di jurnal terkemuka Social Forces, Guo—pada mulanya ia seorang sosiolog—memaparkan pandangannya yang menghubungkan sosiologi dan biologi (“The Linking of Sociology and Biology”).

Jauh mendahului Guo, Edward O. Wilson telah menulis buku Sociobiology (1975). Wilson mendefinisikan sosiobiologi sebagai “studi sistematis mengenai basis biologis dari semua perilaku sosial.” Dengan menerapkan prinsip-prinsip evolusi untuk menjelaskan perilaku serangga sosial (dalam hal ini semut) untuk memahami perilaku sosial hewan lain, juga manusia, Wilson membangun sosiobiologi sebagai bidang ilmiah baru.

Wilson berpendapat, seluruh perilaku hewan, juga manusia, adalah produk hereditas dan stimuli lingkungan maupun pengalaman masa lampau. “Kehendak bebas itu ilusi,” kata Wilson. Ia merujuk basis biologis perilaku sebagai ‘genetic leash’ (pengendali genetis). Bagaimana gen membentuk hidup manusia, berinteraksi dengan daya lingkungan, atau dikuasai oleh kekuatan-kekuatan itu? Ini soal yang kompleks dan perdebatan di seputar nature (baca, faktor gen) atau nurture (baca, faktor lingkungan) yang lebih berpengaruh pada perkembangan seseorang tidak akan selesai dalam waktu dekat ini.

Di samping sosiolog yang mau menengok genetika, edisi khusus American Journal of Sociology juga memuat kritik terhadap pendekatan genetis tersebut. Sebuah artikel yang ditulis Allan Horwitz dan Sara Shostak, mengambil pendekatan yang disebut sosiologi tradisional, membahas konstruksi sosial dari depresi dan homoseksualitas. Apapun basis genetis kondisi-kondisi ini, menurut mereka, seseorang telah sangat “dimedikalisasi” (medicalized), meskipun yang lain—berkat perjuangan kaum aktivis—dianggap sebagai bagian dari variasi manusia normal.

Kelompok jalan tengah menawarkan pandangan yang lebih kompromistis, bahwa kemajuan dalam ilmu genetika memberikan landasan yang lebih kukuh bagi ilmuwan sosial, misalnya dalam mengaitkan gen dan kelompok gen dengan penyakit dan kekacauan perilaku (behavioral disorders). Sosiologi-genetika, menurut Bernice A. Pescosolido (Under the Influence of Genetics), akan menciptakan kesempatan bagi ilmu sosial untuk menunjukkan betapa digdayanya lingkungan.”

Hasil-hasil riset yang memetakan gen yang terkait dengan kesehatan, perilaku, dan sejenisnya memang tidak akan serta-merta mengubah seluruh pemahaman kita saat ini mengenai masyarakat. Apa yang kerap menjadi perhatian ilmuwan sosial, seperti tema-tema klasik ketidakadilan, ketertiban, kemiskinan, konflik etnis dan agama, masih belum tersentuh oleh wawasan baru yang diungkap oleh riset genetika. Namun, ini tidak berarti bahwa kemajuan di masa mendatang dalam genetika tak akan mampu menjamah tema-tema itu. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler