x

Pemilu tanpa Presidential Threshold

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pemilu tanpa Presidential Threshold ~ Andrian Habibi

Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Pemilu harus jelas menolak presidential threshold.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Andrian Habibi

Deputi Kajian KIPP Indonesia

Pemilihan umum memberikan kesempatan kepada semua warga negara Indonesia untuk turut berpartisipasi, termasuk menjadi calon presiden. Konstitusi Indonesia memberikan izin bagi siapa pun untuk menjadi calon presiden sepanjang dia didaftarkan dan didukung oleh partai politik peserta pemilihan umum.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam pemahaman yang sederhana, jika sudah dinyatakan oleh Komisi Pemilihan Umum sebagai peserta pemilu, partai politik diizinkan mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Namun, setelah reformasi, pencalonan ini harus memenuhi syarat presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden, yang pada Pemilihan Umum 2014 berdasarkan perolehan kursi partai di parlemen sebesar 20-25 persen.

Pengaturan presidential threshold ini berlaku untuk Pemilihan Umum 2004, 2009, dan 2014. Masalah muncul akibat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 yang mengabulkan permohonan penyelenggaraan pemilu serentak. Bagaimana cara mengusulkan pasangan calon presiden dan wakilnya oleh peserta pemilu dengan presidential threshold?

Presidential threshold hanya berlaku jika pemilu tidak serentak. Tiga pemilu sebelumnya mendahulukan pemilihan umum legislatif. Setelah itu, para partai berbagi kursi parlemen sesuai dengan suara pemilih yang diperoleh. Kemudian, partai pemilik kursi parlemen berkoalisi untuk mengusung calon presiden. Dari sini baru bisa dihitung presidential threshold.

Jika pemungutan dan penghitungan suara antara pemilu legislatif dan presiden diselenggarakan pada hari yang sama, tentu saja presidential threshold langsung hilang. Semua partai yang terdaftar dan dinyatakan sebagai peserta pemilu langsung berhak mengusung calon presiden.

Karena itu, pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (RUU Pemilu) harus jelas menolak presidential threshold. Penolakan ini berdasarkan putusan MK tanpa harus mencari tafsir dan rumusan politis. Cukup dengan membaca kata "pemilu serentak", maka keserentakan itu telah membuyarkan perhitungan matematika jumlah minimal kursi parlemen untuk mengusung calon presiden.

Elite politik mungkin khawatir akan bermunculan calon presiden dadakan. Partai berhak memunculkan sedikit pasangan calon presiden dengan alasan berkoalisi untuk mencari kandidat yang berkualitas dan berintegritas. Namun tidak mudah bagi setiap partai untuk mengusung calon presiden bila harus berhadapan dengan partai besar atau gabungan partai besar.

Secara alamiah, banyak pengamat dan pegiat pemilu menyatakan bahwa partai akan berkoalisi untuk merebut kursi utama pemerintah (presiden). Ini dengan mempertimbangkan jumlah suara partai di pemilu sebelumnya lalu dikalikan dengan prediksi perolehan suara dalam Pemilu 2019 untuk merebut kursi parlemen. Barulah partai menyusun siapa yang akan didukung sebagai calon presiden.

Bayangkan saja, partai baru seperti Beringin Karya (Berkarya), partai Solidaritas Indonesia (PSI), Perindo, dan Idaman. Apabila partai baru ini masuk bursa peserta pemilu, tentu mereka harus mengupayakan untuk beradaptasi dengan suasana pemilu. Melawan pemain lama bukan hanya konyol, tapi sia-sia.

Ada pengecualian apabila tokoh sentral partai baru dijadikan sebagai salah satu calon, apakah calon presiden atau wakilnya, oleh partai lama. Namun saya hanya bisa melihat kemungkinan bahwa partai baru mendapat jatah calon wakil presiden. Ini melihat perkembangan politik setelah pemilihan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta.

Proses pemilihan Gubernur DKI telah memunculkan tiga muara politik perebutan kursi presiden. Tidak jauh berbeda dengan pemilu sebelumnya, muara pertama akan mengusung Presiden Joko Widodo dengan PDIP sebagai motor penggerak. Kemudian ada Prabowo yang bakalan didukung Gerindra dan PKS. Selanjutnya, ada koalisi kekeluargaan yang dimotori oleh Demokrat dengan kemungkinan mendukung Agus Harimurti Yudhoyono.

Jika ada partai lama dan baru yang berniat ikutan merebut kekuasaan, posisi mereka hanya menjadi pengusung calon wakil presiden, bukan calon presiden. Apalagi, bagi partai baru, mengusung calon presiden dan wakilnya sendiri akan menyusahkan dalam meraup suara pemilih karena pemilih kemungkinan memilih partai yang sudah jelas pasangan calon presiden dan wakilnya. Dengan demikian, menghilangkan presidential threshold bukan berarti semua partai mampu atau berani mengusung calon presiden sendiri.

Para elite partai harus memberikan contoh yang baik bagi rakyat. Bila sudah memilih jalan politik, jangan pernah takut untuk bersaing. Hapuskan syarat presidential threshold dan mulailah memainkan permainan baru. Kita harus menerapkan pepatah "jika takut ombak, jangan membangun rumah di tepian laut".

2

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler