x

Iklan

A.N. Satrio

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mie Instan dan Pajak

Upaya Produsen memikat Konsumen mengakibatkan pemborosan yang substansial. Sudah saatnya Pemerintah berperan agar pemborosan menurun.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tempo hari saya menyantap nikmatnya mie kuah instan rasa kari yang dibeli karena diskon.  Beli 1 dapat 3!  Obral heboh karena produk itu mau di-diskontinu, tarik dari pasar, buang.  Saya heran mie seenak itu tidak laku, padahal rasa dan tekstur mie-nya tidak ada yang salah.  Harganya juga tidak terpaut jauh dengan yang lain. 

Seingat saya di tahun 1970-an kita semua sudah cukup puas hanya dengan dua jenis rasa (sari ayam dan sari udang).  Kita tidak terus demo protes-protes di jalan karenanya.  Tapi sekarang tampaknya kita masih tidak juga puas dengan berjibun pilihan rasa yang tersedia.  Mie goreng kriuk, mie goreng rasa sate, mie goreng cakalang, mie kuah rasa soto ayam, rasa soto Banjar, rasa soto Betawi, rasa coto Makassar, rasa kari ayam, rasa kari ayam Medan dan seterusnya. 

“Eh, jangan salahkan Konsumen! Kan tersedianya beragam pilihan itu maunya Produsen.  Diberi pilihan, ya beli yang paling enak dan cocok di kantong.” 

Karena sikap Konsumen yang seperti itulah maka para Produsen berebut perhatian dengan terus meluncurkan produk-produk baru sampai menjejali rak-rak supermarket, dari ujung ke ujung.

Apakah produk-produk itu akan habis terjual dan terkonsumsi?  Tidak.  Sebagai gambaran di sebuah artikel di BBC, secara global, 30% makanan yang diproduksi untuk konsumsi manusia berakhir di tong sampah.   

Di tahun 2016 sebanyak 15 milyar bungkus mie instan dipasarkan di Indonesia.  Jika 5% dari jumlah itu tidak laku, artinya 60 ribu ton mie instan senilai satu setengah triliun rupiah akan terbuang percuma.  Jumlah itu cukup untuk memenuhi tiga kali makan seluruh penduduk Indonesia.

Ini baru soal mie instan.  Pemborosan yang sama juga terjadi di produk shampoo, sabun cuci, handphone, sepatu, mobil dst-nya.  Apakah semua pemborosan yang menguras sumber daya alam ini setimpal dengan manfaatnya? 

Kapitalis yang dilandasi kerakusan manusia adalah seperti virus yang terus menggeroti bumi.  Sudah saatnya kita lebih tegas dan mau menahan diri. 

Selayaknya Pemerintah mulai memecut agar sektor swasta terpacu untuk terus menekan tingkat pemborosan.  Misalnya: jangan biarkan kerugian yang diakibatkan karena pemborosan bisa dikategorikan seluruhnya sebagai faktor pengurang pajak penghasilan.  Tetapkanlah batas toleransi pemborosan yang bisa diterima untuk setiap industri.  Secara periodik batas toleransi ini terus diperkecil agar semua terpacu demi keselamatan hidup kita juga.

Ikuti tulisan menarik A.N. Satrio lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler