Ada sensasi tersendiri tatkala kita berhasil menemukan buku yang kita cari dengan susah payah: “Wow, akhirnya dapat juga.” Sensasinya lebih hebat lagi manakala kita mendapatkan sebuah buku secara tidak terduga, yang tidak terpikirkan, dan kita merasakan seketika ‘tautan kimiawi’ dengan buku itu: “Buku ini yang saya cari!” Begitulah sensasi yang saya rasakan ketika menemukan A Splendor of Letters: The Permanence of Books in an Impermanent World.
Sesudah memegang buku itu, barulah saya menyusuri ruang maya dan mendapati A Splendor of Letters adalah bagian dari serial yang mengeksplorasi orang-orang, tempat-tempat, dan budaya-budaya yang bertautan dengan buku. Sebelumnya telah terbit A Gentle Madness (1995) yang memperoleh penghargaan National Book Critics Circle Award dan Patience & Fortitude (2001), yang membuat sejarawan David McCullough menjulukinya ‘otoritas terkemuka tentang buku mengenai buku’. Basbanes memang menulis banyak buku tentang tema ini.
Sensasi ketidakterdugaan adalah bagian yang saya rasakan: “Bagaimana mungkin, buku ini seolah-olah mendatangi saya.” Sebagian buku yang saya peroleh bahkan belum pernah saya dengar sebelumnya. Contohnya Lima Belas Tahun Digul, Kamp Konsentrasi di Nieuw Guinea. Bersampul sederhana dengan dua warna, merah dan hitam, buku ini ditulis oleh Chalid Salim. Saya mengetahui kemudian bahwa Chalid adalah adik kandung Haji Agus Salim, tokoh pergerakan nasional yang penampilannya sangat mudah dikenali: berpeci, berkumis dan berjanggut putih, berkacamata, dan berkemeja-pantalon gombrang.
Chalid menulis pengalamannya di Bovel Digul dalam pengasingan kolonial tanpa rasa dendam kepada penguasa yang mengasingkannya. “Apakah dendam itu telah padam karena ia hidup di Eropa sudah lebih dari 25 tahun?” tanya Schermerhorn, pernah menjabat perdana menteri Belanda dan mengenal dekat Chalid, yang menulis pengantar buku ini. Edisi bahasa Indonesia dari buku yang ditulis Chalid dalam bahasa Belanda ini diterbitkan oleh Bulan Bintang pada tahun 1977. Buku ini membukakan jalan untuk mengenal bahwa ada Salim lain di samping Agus yang jago diplomasi itu.
Pertautan emosional semacam itu, yang datang dan dirasakan secara tiba-tiba, dalam hemat saya, hanya mungkin bila kita punya kecondongan minat pada topik tertentu. Buku Sains Leonardo menarik minat saya sebab saya sudah membaca beberapa buku karya Fritjof Capra, yang mengekspresikan ide-ide menarik seperti dalam bukunya yang lain, The Tao of Physics , The Turning Point, dan The Web of Life. Saya belum punya The Science of Leonardo, terlebih dalam edisi Indonesia. Buku yang mengungkapkan kehebatan bakat Leonardo da Vinci itu ditulis dengan cara yang khas Capra, yang semula melulu seorang fisikawan teoritis. Capra menyingkapkan perpaduan bakat seni dan bakat sains dalam diri da Vinci.
Saya mendapati Sains Leonardo di sebuah toko, terimpit di antara judul-judul lain, tinggal satu-satunya eksemplar yang tersedia, dan berada di rak yang paling tinggi. Jika tak menyusuri satu per satu, dengan maksud mencari buku yang layak baca—bukan untuk menemukan judul tertentu, saya mungkin tidak menemukan Sains Leonardo. Barangkali ada sejenis gravitasi yang menarik saya untuk mendatangi rak itu, entahlah. Mungkin juga kebetulan belaka (Kebetulan sesungguhnya peristiwa yang berpotensi terjadi tapi dengan tingkat probabilitas yang sangat rendah).
Pengalaman serupa saya rasakan ketika seorang kawan memberi saya karya Willem Frederik Hermans. Buku berjudul Multatuli yang penuh teka-teki ini diterbitkan oleh Penerbit Djambatan pada 1988. Begitu pula, saya cukup terkejut ketika seorang kawan menyerahkan buku biografi ilmuwan Marie Curie. Saya belum pernah mengetahui ada biografi Marie dalam bahasa Indonesia. Buku ini berukuran saku tapi lumayan tebal, dalam keadaan lusuh, dengan beberapa halaman awal sudah hilang. Identitas penerbit dan tahun terbit sudah tidak ada.
Memperoleh buku baru selalu jadi pengalaman mengejutkan, terlebih jika buku itu sedang kita ingin baca—karena temanya, penulisnya, ataupun gagasannya. Buku itu seolah datang kepada kita dan menyapa: “Ayolah, kita bersenang-senang.” **
Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.