x

Iklan

Esmasari Widyaningtyas

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ibu yang Bahagia, Memutus Generasi

Penguatan peran keluarga dalam pendidikan rasanya mustahil dilakukan bila kita masih tetap mengeyampingkan peran ibu dalam keluarga.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kita semua mungkin akan dengan mudah sepakat bahwa keluarga memiliki peran besar dalam pendidikan anak. Tentang bagaimana pembentukan karakter seorang anak, nilai-nilai apa yang lalu diyakini dan mewarnai perilaku sosialnya. Semua berawal dari lingkungan terkecilnya, keluarga. Oleh siapa dia dibesarkan, bagaimana cara dia dibesarkan dan nilai-nilai apa yang ditanamkan oleh orang tua atau walinya.

Kita, para orangtua masa kini, mungkin geram sekaligus tak habis pikir dengan maraknya kasus perundungan yang dilakukan oleh generasi muda bangsa ini. Sebagian dari kita, boleh jadi, agak sulit memahami bagaimana mungkin aksi perundungan yang tidak manusiawi begitu bisa dilakukan oleh anak-anak kita. Apa yang salah dengan pendidikan kita? Hal apa yang lupa kita ajarkan sehingga muncul generasi-generasi “baper” yang menganggap penyelesaian setiap masalah harus dengan kekerasan dan konflik?

Sebelum terlalu melebar kemana-mana, mari kita renungkan ulang siapa saja yang memiliki pengaruh dalam pembentukan karakter anak. Yang pertama adalah keluarga, lalu ada institusi pendidikan formal seperti sekolah, dan terakhir masyakarat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Faktor kedua dan ketiga yaitu institusi pendidikan rasanya agak sulit kita kendalikan. Tentu saja karena kita tidak punya kewenangan untuk mengatur seperti apa institusi pendidikan berjalan, kecuali kalau Anda seorang Menteri Pendidikan. Begitu pula dengan masyarakat, apalah kuasa kita untuk mengatur dan mengendalikan hal-hal yang terjadi dalam lingkungan seluas itu. Jadi, untuk sementara mari kita kesampingkan sejenak kedua hal itu.

Mari kita coba fokus pada institusi pendidikan yang pertama dan yang utama, keluarga. Satu-satunya insititusi pendidikan anak, dimana kita, para orang tua, masih bisa menggunakan kewenangan dan kuasa untuk mengaturnya.

Keluarga, lingkungan terkecil dalam masyarakat sekaligus lingkungan pertama bagi anak. Dari keluarga, anak belajar cara berbicara, bagaimana intonasi bicara, kata-kata yang biasa diucapkan. Dari keluarga pula, anak belajar tentang rasa sayang, rasa takut, sedih, bahagia, dan berbagai emosi lainnya. Anak-anak belajar pertama kali dalam keluarga.

Begitu pentingnya peran keluarga dalam pendidikan karakter anak, demikian juga begitu abainya kita terhadap peran keluarga ini.

Kenapa saya bilang begitu? Karena secara sadar kita semua bisa berpendapat bahwa keluarga harus mendidik anak dengan nilai-nilai yang baik. Tapi secara tidak sadar dan tidak sengaja, kita juga sekaligus telah membuat keluarga sebagai lingkungan yang tidak nyaman buat anak.

Saat orang tua membentak dan marah dengan dalih untuk menegakkan kedisipilinan, pada saat yang sama pula anak belajar bahwa masalah bisa selesai dengan bentakan dan amarah. Begitupula saat orang tua memanjakan anak dengan alasan kasih sayang, pada saat yang sama pula kita menjerumuskan mereka, sehingga menjadi manusia dengan karakter lemah, malas, mudah mengeluh.

Lalu bagaimana langkah konkrit penguatan peran keluarga dalam pendidikan anak? Tentu saja dengan menciptakan lingkungan keluarga yang sehat, harmonis dan bahagia.

Dan bicara tentang keluarga yang sehat, harmonis dan bahagia, mau tidak mau rasanya saya perlu juga menyoroti peran ibu dalam keluarga. Ya, harus diakui bahwa ibu adalah tokoh sentral dalam keluarga, bahkan dalam lingkungan keluarga yang sangat patriarki sekalipun.

Ibu, meski kadang kiprahnya dalam keluarga sering dianggap angin lalu, namun di tangan ibulah roda kehidupan keluarga berjalan. Ibu adalah sosok yang menentukan makanan apa yang bakal mengisi perut setiap hari. Ibu pula yang memastikan bahwa lingkungan di rumah cukup sehat dan nyaman untuk ditinggali. Semua hal penting yang kelihatan remeh, ibulah yang menanganinya.

Peran sentral ibu inilah yang kelihatannya sering abai dicermati oleh masyarakat kita yang patriarki ini. Sadarkah Anda, bahwa penghargaan dan penghormatan kita terhadap peran perempuan, khususnya ibu, dalam keluarga amat sangat rendah?

Ibu, harus menangani semua urusan domestik dalam rumah tangga, bahkan sekarang tidak jarang para ibu ini juga harus menanggung urusan mencari nafkah. Sudah begitupun, masih juga kesalahan ditimpakan kepadanya. Anak jatuh , ibu yang disalahkan. Jemuran hilang, ibu yang salah. Tempe gosong, ibu salah. Bahkan saat Ayah berselingkuh pun, masih juga kesalahan ditimpakan kepada ibu. Anda bayangkanlah sendiri bagaimana stresnya menjadi ibu.

Padahal, ibu seharusnya tidak boleh stress. Ibu harus bahagia, harus senang. Ibu juga harus berkarakter kuat karena ibu punya peran besar dalam mendidik anak-anaknya. Iya, karena ibu adalah guru pertama bagi anak-anak Indonesia.

Bayangkanlah ibu yang stress dan tidak bahagia dengan kehidupannya, kemana ia akan melampiaskan amarah dan kesedihannya? Kemungkinan besar kepada anak-anaknya. Kalau sudah begitu, bagaimana kita bisa berharap anak-anak ini bakal tumbuh menjadi manusia Indonesia yang berkualitas.

Saya pikir, kesadaran ini pulalah yang menggugah Kartini, sehingga ia menuangkan ide-idenya tentang emansipasi dalam korespondensi dengan Abendanon. Karena perempuan punya peran besar dalam pembentukan generasi penerus bangsa, maka perempuan terlebih dahulu harus pandai, harus berkarakter, berkesadaran, berdaya dan akhirnya berbahagia.

Maka, emansipasi yang harus diperjuangkan adalah kesetaraan. Kita tidak sekedar bicara masalah kesempatan dalam jenjang pendidikan atau pekerjaan, namun lebih pada kesetaraan peran perempuan dan laki-laki dalam berbagai lini kehidupan. Terutama dalam berumah tangga.

Di Indonesia, sangat jamak kita jumpai para Ayah yang lepas tangan urusan anak-anak mereka. “Ah, tugas Ayah kan mencari nafkah. Yang penting uang belanja tiap bulan dikasih, maka tuntaslah tugasku!”

Sementara para ibu, harus pontang-panting membagi waktu, energi dan perhatian untuk mengurus sekolah anak-anak, mengurus rumah, menyiasati uang belanja agar cukup untuk membeli bahan makanan untuk semua anggota keluarga. Yang beginikah yang kita sebut emansipasi? Tidak heran banyak ibu-ibu di Indonesia stress.

Apa Anda kira dengan beban tugas sebegitu banyaknya, ibu-ibu ini masih bisa fokus memantau anak-anaknya?  Jadi tolong sesekali maklumilah para ibu bila ia membiarkan anak-anaknya bermain gadget hanya supaya ia bisa sedikit tenang bekerja. Oh, maaf. Hal itu seharusnya tidak perlu, bila Ayah juga berperan aktif dalam mendidik anak-anak. Contoh sederhana saja, bila Ibu terlalu sibuk dengan urusan dapur, cobalah Ayah yang berinisiatif mengajak anak-anak bermain.

Selain partner berumah tangga yang pengertian, ibu akan bahagia saat punya kesempatan untuk mengaktualisasikan diri. Jadi, jangan mudah menghakimi bila ada ibu rumah tangga yang masih memilih bekerja dan berkarir meski kehidupan ekonominya diatas rata-rata. Ketahuilah, bahwa bekerja sesungguhnya adalah salah satu cara seseorang untuk mengaktualisasikan dirinya. Jadi motivasinya tidak melulu masalah financial. Ibu-ibu seperti ini, memang harus bekerja untuk menjaga otaknya tetap waras, dengan begitu ia bisa tetap bahagia. Dan hanya ibu yang bahagia, yang mampu mendidik anaknya dengan baik.

Namun dalam beberapa kasus, ada juga ibu-ibu yang tidak bahagia karena ia memang tidak siap menjadi ibu. Kasus begini rasanya makin marak di Indonesia. Perempuan-perempuan yang entah karena dipaksa kondisi atau dipaksa lingkungan hingga akhirnya memutuskan untuk menikah di usia muda. Tanpa bermaksud mengeneralisir, sebagian ibu-ibu yang memiliki anak di usia muda ini, masih sangat labil. Hasrat mudanya masih terlalu menggebu, dan belum siap terbebani dengan berbagai tanggung jawab rumah tangga, termasuk mengurus dan mendidik anak.

Pasangan yang terlalu muda menikah, besar kemungkinan belum cukup siap secara financial memenuhi kebutuhan anak-anak mereka. Ditambah ketidakstabilan emosi, sangat mungkinlah bila akhirnya memicu konflik dalam keluarga. Dan kalau sudah begini, siapa lagi yang menjadi korban? Lagi-lagi anak-anak.

Jadi, dari sekian banyak hal kompleks yang berkaitan dalam penguatan peran keluarga dalam pendidikan anak, menurut saya, hal yang utama dan mendesak untuk segera ditangani adalah membahagiakan para ibu. Mengurangi beban ibu dengan mendorong peran aktif ayah dalam urusan domestik rumah tangga dan mengurus anak-anak merupakan langkah konkrit pertama yang bisa dilakukan. Berikutnya adalah dengan mendorong para ibu agar lebih cerdas, terdidik dan berdaya sehingga ia punya bekal yang cukup untuk mendidik dan menanamkan nilai moral yang baik kepada anak-anak. Ketiga, dengan member ruang cukup bagi para ibu untuk mengaktualisasikan diri tanpa harus takut dihakimi dan dicap buruk. Ibu harus diberi kesempatan untuk mengembangkan kemampuan dan potensinya agar ia lebih bahagia. Langkah keempat adalah dengan mempersiapkan ibu-ibu yang matang dan benar-benar siap menjadi ibu. Itu artinya harus ada sosialisasi yang massif, benar dan terstruktur tentang seks pra nikah dan penikahan usia muda. Dengan begitu, setiap perempuan punya otoritas sendiri dalam hidupnya. Ia bisa menjadi ibu, saat ia telah siap menjadi ibu.

Setiap perempuan, yang bakal menjadi ibu, harus diberi pengetahuan dan kesadaran tentang beban tugas, tanggung jawab dan peran sebagai ibu yang sesungguhnya. Harus ada pemahaman yang mendalam bahwa menjadi ibu tidak sekedar melahirkan anak tetapi juga berkewajiban untuk mendidik anak dengan cara yang menyenangkan. Karena hanya ibu yang bahagia, yang dapat mendidik anak-anak menjadi generasi berkualitas.

 

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Esmasari Widyaningtyas lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler