x

Iklan

Agus Sutisna

Penulis Indonesiana | Dosen | Pegiat Sosial
Bergabung Sejak: 6 September 2023

Sabtu, 11 Mei 2024 15:56 WIB

Revivalisme Politik Dinasti, Roving Bandits, dan Gejala Shadow State; Sisi Gelap Pilkada Langsung (2)

Dalam tradisi politik kekerabatan, anggota keluarga yang sudah menjadi penguasa akan melakukan praktik nepotisme. Dia akan memberikan berbagai perlakuan istimewa kepada anggota keluarga atau kerabat. Untuk mensejahterakan rakyat dan memajukan daerah? Hehehe, bukan, tapi dalam rangka membangun dan memperkuat jejaring kekuasan. Dari sinilah munculnya embrio dinasti politik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada artikel bagian pertama telah diulas dua sisi gelap yang selalu muncul dalam perhelatan Pilkada Langsung, yakni Mahar Politik dan Politik Uang yang masif terjadi di sebagian besar, jika tidak di semua daerah.

Berikut ini akan dibahas tiga fenomena lain yang menggenapi praktik gelap Pilkada Langsung, yang hingga Pilkada serentak gelombang keempat tahun 2020 lalu masih terjadi di sejumlah daerah. Ketiga fenomena itu revivalisme Politik Dinasti, praktik Roving Bandits, dan gejala Shadow State. Pembahasan didasarkan pada hasil sejumlah riset para ilmuwan politik kotemporer.

Revivalisme Dinasti Politik

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dinasti politik, secara umum dimaknai sebagai model kekuasaan yang didominasi oleh satu keluarga dan atau kerabat, yang dibangun melalui mekanisme dan strategi tertentu yang memungkinkan terjadinya proses pewarisan kekuasaan berlangsung secara turun temurun atau berputar-putar di lingkungan keluarga atau kerabat.

Pablo Querubin (2010) mendefinisikan dinasti politik sebagai sejumlah kecil keluarga yang mendominasi distribusi kekuasaan dalam area geografis tertentu. Mark Thompson (2012) menjelaskan dinasti politik hanya sebagai jenis lain dari transisi (peralihan) kekuasaan politik, langsung maupun tidak langsung, yang melibatkan anggota keluarga.

Kedua definisi tersebut tidak jauh berbeda dengan yang dirumuskan Yasushi Asako dkk (2012), yang mendefinisikan dinasti politik secara sederhana sebagai sekelompok politisi yang mewarisi jabatan publik dari salah satu anggota keluarga mereka.

Kebangkitan (revivalisme) dinasti politik, sebagaimana ditunjukkan oleh banyak hasil studi yang dilakukan para ahli di berbagai negara memang memiliki hubungan sangat erat dengan kepentingan keluarga atau politik kekerabatan. Kepentingan keluarga kerap, jika tidak selalu, menjadi basis muasal pertumbuhan, perkembangan dan perluasan dinasti politik dalam suatu sistim politik demokrasi.

Dalam tradisi politik kekerabatan, anggota keluarga yang sudah menjadi penguasa atau menduduki jabatan publik pada umumnya akan melakukan praktik nepotisme dengan memberikan berbagai perlakuan istimewa kepada anggota keluarga atau kerabatnya. Bukan untuk mensejahterakan rakyat dan memajukan daerahnya, melainkan dalam rangka membangun dan memperkuat jejaring kekuasannya. Dari sinilah kemudian embrio dinasti politik itu muncul.

Dalam studi Eisenstadt dan Roniger (1984) dikemukakan, bahwa pemberian prioritas kepada anggota keluarga dan kerabat dalam kehidupan politik itu didasarkan pada 4 (empat) argumentasi subyektif.

Pertama Kepercayaan (trusty). Maksudnya bahwa keluarga atau kerabat lebih dapat dipercaya dan tidak mungkin berkhianat seperti yang lazim dilakukan politisi pemburu kekuasaan. Kedua Kesetiaan (loyality). Bahwa kerabat akan jauh memiliki loyalitas tinggi dalam konteks menjalankan semua tugas politik terutama dalam hal menjaga wibawa dan kehormatan kerabat besar ketimbang orang lain.

Ketiga Solidaritas (solidarity). Artinya kerabat dipastikan jauh memiliki tingkat solidaritas yang tangguh terutama dalam menolong klan keluarga besar dari kebangkrutan kekuasaan dan kekayaan ketimbang mereka yang bukan dari kalangan kerabat. Keempat Proteksi (protection). Hal ini terkait dengan kepentingan mempertahankan gengsi dan kehormatan keluarga besar. Mereka yang berasal dari klan yang sama akan cenderung mampu menjaga apa yang telah dimiliki keluarga ketimbang orang lain.

Secara teoritik praktik politik dinasti menimbulkan berbagai ancaman problematis dalam kehidupan politik di aras lokal. Dalam kerangka konsolidasi demokrasi lokal, praktik politik dinasti mempersempit ruang partisipasi publik sekaligus menegasikan salah satu prinsip dasar demokrasi, yakni kesetaraan politik.

Selain itu, politik dinasti juga hanya akan memperkokoh gejala oligarkis di daerah yang berpotensi melemahkan mekanisme check and balance karena jabatan-jabatan politik dikuasai oleh satu keluarga. Dalam pandangan Amich Alhumami (2016), peneliti sosial di University of Sussex Inggris, politik kekerabatan atau dinasti politik tidak sesuai dengan prinsip meritokrasi. Sebab, proses rekrutmen didasarkan pada sentimen kekeluargaan, bukan kompetensi.

Jika terus berlanjut, lanjut Alhumami, gejala ini bisa kontraproduktif bagi ikhtiar membangun sistem demokrasi modern. Dominasi kekuasaan oleh sekelompok elit lokal atau keluarga yang demikian itu pada akhirnya akan menimbulkan kerawanan terjadinya berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) baik di ranah politik maupun ekonomi.

Pada saat yang sama praktik dinasti politik juga memberi pengaruh buruk terutama pada konteks kebutuhan penguatan dan pengembangan demokrasi, khususnya di aras lokal. Merujuk pada kajian John T. Sidel (1999) tentang local bossism misalnya, disimpulkan bahwa kehadiran model-model oligarkis, personalisme dan klientilisme (yang kesemuanya menjadi ruh/esensi dari karakteristik dinasti politik) telah menghambat proses konsolidasi dan pembangunan demokrasi di tingkat lokal.

Dalam bukunya yang lain, John T. Sidel bahkan menuding praktik dinasti sebagai pihak paling bertanggung jawab atas maraknya gejala personalisasi politik dan lemahnya kapasitas negara dan institusi politik. Proses pengambilan keputusan tak lagi didasarkan pada proses rasionalitas instrumental, tetapi didasarkan pada keputusan individual dari aktor-aktor dinasti yang berkuasa. Pelembagaan partai politik juga tersumbat karena asas meritokrasi ditundukkan oleh hubungan darah dan hubungan keluarga.

Sementara itu, Leo Agustino (2014) melihat pengaruh buruk praktik politik dinasti pada aspek pembangunan sosial, politik dan ekonomi, yang telah mengakibatkan peluang politik dan ekonomi setiap warga negara menjadi amat terbatas. Bukan hanya amat terbatas, peluang-peluang itu juga diasumsikan akan dimonopoli oleh penguasa dan kelompok-kelompok (keluarga, saudara, dan kerabat) yang dekat dengan pemegang kekuasaan.

Selain itu, praktik ini juga bukan saja memastikan seseorang dapat memonopoli sumber ekonomi dan politik, tetapi juga memudahkan mereka mendapat tempat atau kedudukan dalam kekuasaan dan menggunakan sumber politik dan ekonomi pada tataran lebih luas. Situasi ini tentu saja tak adil dan diskriminatif dilihat dari perspektif kesetaraan sebagai salah satu nilai paling esensial dari demokrasi.

Gejala Roving Bandits

Isu lain yang menggenapi sisi gelap Pilkada Langsung adalah munculnya Roving Bandits. Isu ini muncul setelah perhelatan Pilkada dan merupakan implikasi dari dua praktik buruk yang biasa terjadi dalam pelaksanaan Pilkada Langsung, yakni Mahar Politik dan Politik Uang yang sudah diulas pada artikel sebelumnya.

Merujuk pada kajian Agustino (2014), istilah Roving Bandits pertama kali dipopulerkan antara lain oleh McGuire dan Olson (1996), yang digunakan untuk menyebut para aktor lokal (daerah, subnasional) yang menjadi penguasa di daerah, lalu dengan kekuasaannya mereka menjarah habis sumberdaya lokal untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.

Disebut Roving Bandits (bandit-bandit “kecil”) karena dalam konteks kepolitikan Indonesia kontemporer muasal mereka merupakan “kaki-tangan” Stationary Bandit (bandit “besar”) di era orde baru yang memainkan peran sebagai penjaga kepentingan ekonomi-politiknya di daerah.

Di era Orde Baru mereka merupakan orang-orang kuat lokal (local strongmen) dan bos-bos lokal (local bossis) yang memiliki posisi kuat karena relasi patron-client dengan Stationary Bandits itu. Ketika bandit besar itu rontok, mereka bermetamorfosa menjadi bandit-bandit yang mandiri di daerahnya masing-masing.

Kemudian dengan memanfaatkan mekanisme demokrasi elektoral (Pilkada Langsung) dan modalitas kapital sebagian besar dari mereka berhasil menguasai panggung politik di daerahnya, entah langsung atau dengan cara menempatkan sanak familinya dalam jabatan formal Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah.

Arena Pilkada Langsung yang secara de facto didominasi oleh para pemodal (local bossis, local strongme) itu, baik yang terjun langsung dalam kontestasi dengan menjadi kandidat atau yang bermain secara kolaboratif dengan kandidat yang dimodalinya (mengendors kandidat tertentu) sebagaimana telah disinggung dalam pembahasan mengenai mahar politik di atas telah memicu pula lahirnya aktor-aktor politik lokal yang menyerupai (jika tidak sama persis) bandit-bandit itu.

Di tangan kekuasaan formal yang mereka raih melalui proses demokrasi elektoral itu, kekuasaan pemerintahan daerah jadi mirip korporat keluarga. Diselenggarakan dengan cara-cara keluarga dan diproyeksikan lebih bagi kepentingan dan keuntungan keluarga. Dalam pandangan McGuire dan Olson, bandit-bandit lokal ini bukan hanya menjarah habis kawasan yang dikuasainya demi keuntungan dan kekayaan pribadi dan keluarganya. Melainkan juga berupaya mencari kawasan-kawasan baru untuk dijarah melalui kerjasama (kolaborasi, membangun relasi baru patron-client) dengan bandit-bandit sub-lokal lainnya.

Di tangan penguasa lokal bercorak dan bermental bandit inilah publik menyaksikan dengan mata kasat bagaimana penguasaan dan pengerjaan proyek-proyek, APBD maupun APBN bernilai milyaran rupiah berputar di dalam lingkaran keluarga dan kroni para Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah.

Kalau pun ada proyek-proyek tertentu yang dikerjakan oleh pelaku usaha di luar lingkaran keluarga dan kroni, biasanya hal ini disertai dengan pungutan potongan liar dalam jumlah prosentasi tertentu. Akibatnya bukan saja kesempatan usaha menjadi menyempit bagi para pelaku bisnis di daerah, tetapi juga kualitas dari setiap proyek menjadi rendah. Lagi-lagi, ujung paling hilir dari praktik bandit ini adalah nestapa bagi rakyat, sial bagi daerah.

Praktik Shadow State

Terakhir, namun tidak kalah menyeramkan yang lahir di era demokrasi elektoral bernama Pilkada Langsung ini adalah munculnya praktik shadow state (pemerintahan bayangan) di daerah. Gejala ini biasanya muncul pasca Pilkada, setelah Paslon terpilih dilantik.

Secara sederhana yang dimaksud shadow state ini adalah aktor-aktor lokal di luar pemerintahan daerah yang berhasil mengendalikan jalannya pemerintahan daerah. Bisa dalam bentuk aliansi dari sejumlah aktor (local strongmen, local bossis dan Kepala Daerah). Atau kolaborasi dua pihak antara local strongmen yang sekaligus menjadi pengusaha dan Kepala Daerah.

Dalam kasus tertentu, Shadow State ini benar-benar murni non-aktor pemerintah, yang berhasil mengontrol secara penuh Kepala Daerah maupun Wakil Kepala Daerahnya. Tetapi apapun bentuk aliansinya, mereka, sekali lagi: mengendalikan, bukan hanya memengaruhi.

Di bawah kontrol shadow state inilah perencanaan proyek diputuskan; jenis proyek, besaran anggaran, dan bahkan rekanan Pemda mana yang akan mengerjakan proyek ini; yang biasanya juga sudah diarahkan sedemikian rupa. Sehingga proses lelang proyek hanyalah sekedar memenuhi ketentuan legal-prosedural belaka.

Merujuk pada Reno (1992) seperti dikutip Agustino (2014), shadow state ini lahir dari situasi dimana terjadi pelapukan fungsi pada institusi pemerintah formal. Penyebab utama pelapukan ini diantaranya adalah ketidakmampuan atau ketidakberdayaan pemerintah formal menghadapi tekanan kekuatan-kekuatan yang berada di luar struktur pemerintahan.

Dalam konteks Pilkada Langsung jika dirunut terus ke hulu persoalan, gejala ketakmampuan aparatur pemerintahan ini, lagi-lagi muasalnya adalah transaksi-transaksi yang terjadi antara kandidat Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan para bandar pemodal pada tahapan proses kandidasi. Transaksi mana melahirkan kesepakatan di bawah tangan, bahwa jika sang kandidat kemudian terpilih maka, suka atau tidak suka, ia harus menyiapkan sejumlah konsesi (fasilitas kebijakan, proyek dll) kepada si penyandang dana alias bandar di belakang kontestasi Pilkada Langsung.

Masih mungkinkah ketiga gejala ini terulang kembali dalam Pilkada Serentak 2024 dan setelahnya? Potensi ke arah itu jelas sudah nampak di berbagai daerah. Satu hal yang tidak mudah dihindari adalah bahwa ketiga gejala ini sudah bersitemali kuat dengan sejumlah faktor tidak sehat dalam perhelatan demokrasi elektoral kita. Mulai dari dominasi partai politik dalam perhelatan elektoral, watak pragmatis para elit, kuatnya persekongkolan kekuasaan dan bisnis, serta rendahnya kesadaran kritis masyarakat.  

 

 

Ikuti tulisan menarik Agus Sutisna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan