Merasa Merdeka dalam Perbudakan Kolektif

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam kehidupan modern, terutama di bidang ekonomi, banyak orang merasa merdeka secara individual, namun sesungguhnya dia hidup dalam perbudakan kolektif.

Kita sering lupa bahwa antonim (lawan kata) yang paling tepat untuk kata merdeka adalah budak. Jika ada poin atau bagian yang tidak merdeka dalam kehidupan seseorang, berarti dia secara otomatis menjadi budak di poin atau bagian yang tidak merdeka itu.

Dalam bahasa Arab, merdeka disebut hurr (???), yang juga bisa diartikan bebas. Sementara kata budak atau hamba sahaja dinamakan 'abdun (?????), yang juga bisa dimaknai hamba (baca: mengabdi).

Maka dalam beragama, posisi paling mulia di sisi Allah adakah ketika seseorang berhasil memposisikan dirinya sebagai hamba yang genuine. Sebab kata hamba-lah yang paling kontras dengan kemutlakan Tuhan.

Karena itu, ketika diterima di sidratul-muntaha, di langit lapis ketujuh, Muhammad memposisikan diri dan/atau diposisikan sebagai “hamba”, bukan sebagai Rasul atau Nabi. Seolah Tuhan berfirman, “kau bisa mendekati-Ku, hanya jika kau memposisikan diri sebagai hamba”.

Dalam kajian ilmu kalam dan fikhi. sebagian besar ulama berpandangan bahwa alasan utama pengharaman perbudakan – apapun bentuknya – terutama karena setiap perbudakan mengandung makna "penuhanan", dalam pengertian ketundukan yang nyaris mutlak pada seeorang atau sesuatu. Perbudakan mengandung makna syirik. Karenanya, ada ungkapan yang menyebutkan “kemiskinan nyaris mengakibatkan kesyirikan”.

Secara personal, kemerdekaan itu terbagi dua: fisik dan spiritual. Lahir batin. Contoh kongkret kemerdekaan fisik/lahir adalah membebaskan diri dari penjajahan. Atau membebaskan seorang budak dari majikannya.

Sementara contoh kongkret kemerdekaan batin adalah kemampuan mengendalikan hasrat dan keinginan secara independen. Tidak tunduk pada selera diri sendiri, apalagi selera orang lain.

Kita juga sering melupakan bahwa ada perbedaan tajam antara kemerdekaan personal dan kemerdekaan kolektif. Dalam kehidupan modern, dengan segala kompleksitasnya, terutama dalam polarisasi hubungan antar negara di bidang ekonomi, banyak orang merasa merdeka secara individual, namun sesungguhnya dia hidup dalam perbudakan kolektif. Banyak komunitas atau bangsa yang merasa merdeka, padahal sesungguhnya hidup dalam perbudakan kolektif.

Memang untuk mencapai kemerdekaan yang sempurna sangat sulit, seperti sulitnya mengakui bahwa kita kadang sedang menjadi budak kepada sesuatu atau seseorang.

Dan merawat kemerdekaan, melalui perayaan yang berulang-ulang, tentu sangat penting. Tapi kemerdekaan bukan sekedar slogan. Tidak bisa juga diukur dengan perayaan meriah, yang berulang-ulang diselenggarakan.

Syarifuddin Abdullah | 17 Agustus 2017 / 24 Dzul-qa'dah 1438H.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Filosofi Filsafat

Sabtu, 20 Juli 2024 14:58 WIB
img-content

Pertempuran dan Adu Drone di Langit Ukraina

Senin, 13 Februari 2023 05:57 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler