Belum lama ini, nama apartemen Green Pramuka mencuat. Penyebabnya, karena terjadi pelaporan terhadap salah seorang konsumen yang juga penghuni Green Pramuka, yaitu Mudhakly Acho. Buntut dari pelaporan tersebut, Acho ditetapkan sebagai tersangka. Ia dijerat UU ITE.
Publik, terutama netizen bereaksi dan memberikan dukungan. Yang jadi perhatian tentu saja pasal karet UU ITE yang ditengarai membungkam suara netizen. UU itu memang sudah memakan ratusan korban. Menurut data Safenet, 80% yang terjerat UU ITE karena pencemaran nama baik.
Di luar perdebatan soal pasal karet di UU ITE, yang menarik kita telaah dari kasus Acho ini adalah kuatnya pengaruh netizen. Ketika Acho akan diperiksa sebagai tersangka, netizen kompak memberikan dukungan. Terutama mencari jalan damai agar kasus tersebut tidak dilanjutkan.
Green Pramuka dengan cekatan mendengar dan merespons suara netizen. Difasilitasi pihak kepolisian, Green Pramuka dan Acho sepakat membawa kasus yang bermula dari tulisan di blog dan media sosial itu diselesaikan di jalur damai. Acho mengakui keteledoran, terburu-buru menulis dan menghakimi dengan opini diblog. Dalam tulisan itu, Acho memang tidak meneyebut nama Green Pramuka, namun tanpa penyebutan pun, publik bisa langsung menebak kemana arah telunjuk Acho.
Terlepas dari benar atau tidaknya isi unek-unek Acho, selaku konsumen sebetulnya dia berhak bersuara. Entah memuji atau mengeluhkan dan bahkan mengeritik barang atau jasa yang telah ia beli. Apalagi Acho merupakan tipikal konsumen digital. Kritis, connected dan bebas bercuap-cuap di berbagai saluran media yang bisa diakses secara gratis.
Kritik maupun pujian konsumen sudah lumrah di era internet. Bahkan dibuatkan kanal atau difasilitasi. Hampir semua perusahaan memiliki akun resmi di media sosial. Bukan cuma untuk menyampaikan informasi, tapi juga menerima feedback dari konsumen. Termasuk melokalisir potensi-potensi krisis dari komplain yang mungkin dialami banyak konsumen.
Ketika Green Pramuka membuka opsi damai kepada Acho, hal itu membuktikan bahwa media sosial dan berbagai jenis saluran komunikasi memainkan peran penting dalam menjembatani suara konsumen digital. Entah Acho sudah pernah menyampaikan komplain langsung atau tidak, yang pasti, unek-uneknya di media sosial tampak lebih bertaji.
Polemik antara Acho dan Green Pramuka hanya bagian kecil dari fenomena dampak digitalisasi di berbagai lini. Fenomena itu membuktikan bahwa digitalisasi di dunia bisnis memang tidak bisa dihindari. Digital harus diadopsi. Ketika pelaku usaha masuk ke kanal digital, maka sesungguhnya ia sedang berinvestasi. Menanam modal yang suatu saat akan dituai.
Ikuti tulisan menarik Jusman Dalle lainnya di sini.