x

Iklan

Imron Supriyadi

Jurnalis www.kabarsumatera.com
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bola plastik dari langit

Bola di sore itu membuat kami banyak mendapat pelajaran untuk selalu memperbaiki diri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Siang menjelang sore, tujuh santri di tempat saya nginap dan berlindung bersama keluarga saya, seketika berlari masuk. Saya dan Warman teman saya masih asyik dengan obrolan  sore di gazebo yang letaknya 10 meter dari kerumunan santri.

Beberapa detik saya menatap geliat santri yang agak aneh sore itu. Ada wajah takut yang terkesiap di rona mereka. Tapi saya tak begitu jelas gerangan apa yang baru saja terjadi.

Seingat saya, habis shalat ashar beberapa santri membawa bola plastik dan main bola di halaman depan. Tapi hanya beberapa menit, para santri berlari ke dalam tanpa membawa bola.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya lihat, diantara santri matanya masih melihat keluar. Tak jelas apa penyebabnya. Saya mencoba mencari informasi.

“Hei! Kamu tu ngapo, macam dikejar anjing?!” sergah saya.

“Bolanya masuk ke pagar orang,” cetus Franky, santri asal Sekayu Kabupaten Musi Banyuasin.

“Terus, tuan rumahnya marah?!” saya menerka.

“Iya, Pak. Yang laki-laki marah-marah. Berteriak-teriak : mati kau! mati kau!” ujar santri lain menirukan kemarahan tuan rumah yang berada di seberang pagar tempat kami bermukim.

Apapun yang terjadi, santri di rumah kami adalah anak kami. Semua menjadi tanggungjawab kami. Belum sempat saya beranjak, Istri saya sudah keluar pagar dan mendatangi gedung berlantai dua berwarna putih itu.

Isteri saya hendak meminta maaf atas perilaku santri yang sudah salah menendang bola hingga masuk ke halaman orang. Saya tak langsung mendampingi. Sebab, isteri saya sudah lebih kenal dengan pemilik rumah gedung itu.

“Assalamualaikum, Ibu!” ujar isteri saya mencoba meredam amarah tuan rumah yang masih berujar dengan nada tinggi.

Ucapan salam tak juga mendorong pemilik rumah membuka pintu gerbang utama. Tapi isteri saya tetap bertahan di depan pagar.

“Nak ngapo kau kesini!” bentak pemilik rumah dari balik pagar.

“Saya mau minta maaf atas kelakuan santri kami, Bu!” isteri saya masih mencoba membuka hati pemilik rumah agar mau membuka pintu gerbang.

“Sudahlah, ndak usah minta-minta maaf. Ini sudah berkali-kali. Kalau ada masalah minta maaf, nanti terulang lagi!” ujar pemilik rumah dari balik pagar.

“Kami tidak tahu, Bu. Kami disini baru. Lagi pula ini kan santri-santri baru. Jadi kami mohon maaf, Bu!” ujar isteri saya dengan detak jantung yang tertahan.

Sayup-sayup saya mendengar suara ancaman. “Berhetilah, ya! Berhetilah, ya! matilah kau! matilah kau!” suara itu nadanya tinggi. Tak juga saya bertahan. Saya lomta dari gazebo meninggalkan Warman. Perlahan saya mendekati lokasi dimana suara itu datang.  Saya tak ingin terjadi sesuatu terhadap isteri  saya.

Belum sempat saya mendekat, pintu pagar dibuka. Saya kian dekati isteri saya. Dari balik tembok, tampak kemudian sosok ibu bergaun putih. Parasnya sebanding ibu saya. Diperkirakan berumur 60-an. Rambutnya tersirap putih. Sebagian lagi masih kehitaman.

Tak lama dari itu, muncul pula sosok laki-laki bongsor. Postur tubuhnya gendut. Menatap saya dan isteri dengan nanar. Ada kemaran di sana. Tapi di balik ronanya, si laki-laki itu tersirat wajah idiot. Kata orang Palembang : segelas kurang penuh. Beberapa kali laki-laki memaki-maki kami. Tangannya menunjuk-nunjuk ke wajah saya.

Rumusnya menhgadapi orang segelas kurang penuh hanya satu ; Yang waras ngalah. Itu yang kemudian kami lakukan.

“Jadilah, ya! Jadilah! ini yang terakhir, ya! coba kamu jinguk (lihat). Tembok ini kotor oleh santri kamu! Main bola ngotori tembok! Nah, ini ado beklas tangan kotor memegang tembok. Berapo lagi biaya kami untuk mengecat tembok ini. Jadilah, ya! Ini yang terakhir!” ujar laki-laki bongsor itu sembari memperlihatkan beberapa bercak tembok bekas bola.

Laki-laki itu kemudian menghentakkna tangannya ke pagar besi. Sore itu, mungkin dia ingin menampar muka saya dan isteri saya sejadi-jadinya. Tapi tidak ia lakukan. Tak jelas apa penghalangnya, sehingga laki-laki bongsor itu hanya berteriak-teriak dari dalam pagar dengan kalimat ancaman.

“Setahu kami, santri kami tidak pernah nongkrong disini, Bu. Ini kan jalan umum. Kadang ada beberapa orang yang tidak kami kenal. Ada anak-anak luar juga sering main di depan pagar rumah, Ibu,” ujar isteri saya.

“Tapi kemarin ado yang duduk-duduk disini. Ado dua budak yang agak gendut. Sikok lagi agak tinggi. Sudah ku panggil dank u asih tahu, panggil ibu kesini. Tapi dak jugo dipanggil,” ujar ibu si pemilik rumah dengan kata yang tak teratur. Ada kekesalan yang masih tertahan pada kami.

Laki-laki bongsor itu seketika hendak keluar lagi. Tapi tangan ibu si pemilik rumah mencegahnya. Tak jelas, mengapa tiba-tiba langkah itu dihentikan dengan setengah memaksa. Mungkin, si pemilik rumah tidak ingin ada peristiwa yang lebih mengerikan ketimbang sekadar perang urat syaraf diantara kami.

“Disini tinggal ibu aku inilah!  Kalau jantungan, gek mati! Kamu tulah yang bertanggungjawab!” ujar laki-laki bongsor dengan sorot mata yang tajam.

Sore itu, ternyata kami juga diminta pertanggungjawaban terhadap kemungkinan adanya kematian mendadak.  Kali itu, kami hanya bermohon pada Allah Swt : Ya, Allah, jangan cabut nyawa ibu ini hanya gara-gara terkejut oleh bola plastik yang masuk ke  halaman. Sebab kalau itu yang jadi penyebab kematian, agaknya terlalu sederhana bagi sosok tetangga yang yang sebaik ini. Ya, Allah Swt, carilah sebab lain untuk kematinnya. Engkau lebih mengetahui penyebab lain yang lebih dramatik. Amiin.

Di tengah dialog panas antara isteri saya dan ibu si pemilik rumah, saya sesekali menoleh ke belakang. Darin jarak 30 meter, belasan santri kami masih berada di balik pintu pagar tempat kami tinggal. Mereka masih menatap kami. Mereka seperti siaga penuh untuk segera menyerang balik, di seberang jalan jika kemudian laki-laki bongsor itu menyerang kami secara fisik.

“Kami sekadar mengingatkan, kalau sampai lampu taman rumah ini pecah, kami tidak bisa mengganti. Kami ini miskin, Bu. Kami ini cuma pensiunan,” ujar ibu si pemilik rumah dua lantai.

Kata “miskin” dalam lontaran kalimat si pemilik rumah itu, menjadi catatan bagi kami. Sore itu, kata “miskin” menjadi bahasan kami dan para santri di rumah tahfidz.  

“Rumah dua lantai yang mewah, dengan mobil di halaman, si pemilik rumah masih juga mengaku miskin. Hmmm..! ternyata dia benar-benar miskin. Dan kitalah yang kaya!” kata saya berseloroh dengan santri.

“Besryukur, Nak. Karena kita tak pernah menyebut diri kita miskin. Kalau sampai tersebut diri kita miskin, stempal di lauhil mahfudz akan ditepkan oleh Allah : kita orang miskin. Ini penghiaan terbuka pada  Allah yang Maha Kaya,” kata saya.

“Maksud ibu tadi, kalau dia sebut dirinya miskin, sebenarnya sedang menuduh kita ini yang miskin. Dia itu ingin mengatakan : kamu itu miskin, nanti tidak bisa mengganti lampu hias kalau sampai pecah. Itu maksudnya,” ujar isteri saya mencoba menterjemahkan kalimat ibu si pemilik rumah di sebarang rumah kami.

Hmm...! ya, apapun maknanya, sore itu saya, isteri dan para santri di rumah tahfidz banyak mendapat pelajaran. Pertama, ujian kesabaran pada kami, harus menahan amarah dengan senyum meski orang memaki-maki. Kali itu, kami sedang diajari menutup peluang syetan untuk mengendalikan kami membalas dengan makian.

Kedua, para santri kian mengerti tentang wajah-wajah dan pergaulan di sebuah komplek Bukit Lama Palembang. Allah Swt mempertontonkan secuil perilaku tetangga, yang bukan tidak hal itu juga cerminan perilaku kita yang sebenarnya.

Sore itu, kami merasa beterima kasih karena sudah mendapat makian dan cercaan. Baik kepada kami berdua, atau juga pada santri binaan kami. Lontaran kata jelek, menjadi peluang kami untuk terus belajar memperbaiki diri, lahir dan batin.

Sungguh, sore itu  Allah Swt sedang mengutus bola dari langit lewat kaki Umar, salah satu santri kami, untuk melambungkan ke pagar tetangga, hingga kami dan para santri mendapat banyak ilmu terapan, tentang siapa kami dan siapa tetanga kami.

Untung, yang kami dapatkan sore itu, makian dan cercaan. Seandainya pujian, sungguh itu akan membuat hati kami tertutup untuk selalu memperbaiki diri.*

Imron Supriyadi | foto : google image

Bukit Lama – Palembang, 14 September 2017

 

Ikuti tulisan menarik Imron Supriyadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu