x

Iklan

Dudi Saputra

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengevaluasi Paradigma Diplomasi Ekonomi-Politik Indonesia

Opini ini mencoba menganalisis orientasi kebijakan luar negeri ekonomi-politik Indonesia dan mengevaluasi dampak nya, serta menawarkan solusinya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Penulis: Muhammad Dudi Hari Saputra, MA. (Tenaga Ahli Staf Khusus Kementerian Perindustrian Republik Indonesia)

Strategi kebijakan diplomasi ekonomi-politik Indonesia

Kebijakan luar negeri Indonesia perlu dilakukan transformasi dalam misi penguatan kinerja ekonomi nasional dalam menghadapi perkembangan rezim investasi dan perdagangan internasional yang semakin terbuka dan kompetitif, kondisi perubahan substansi dalam praktik hubungan internasional menuntut redefinisi teori-teori diplomasi. Jika dulu terkait perang dingin (politik), saat ini tema diplomasi berbeda karena adanya perkembangan ke arah ekonomi, yang disebut sebagai multi-track diplomacy, jika dalam bentuk praktiknya dulu yang dikirim adalah militer, sekarang adalah perusahaan-perusahaan asing (MNC’s), jika dulu dalam keadaan fisik, sekarang dalam bentuk pemikiran dan ekonomi (Erwan Agus Purwanto, 2015). 

Adanya perkembangan teknologi komunikasi juga telah merekonstruksi bentuk diplomasi, serta merubah bentuk pembagian jaringan global yang meliputi sektor jasa, perdagangan dan investasi. Perdagangan abad 21 saat ini memiliki karakter yang kompleks, terfragmentasi, namun sekaligus terintegrasi.

Bentuk komprehensif integrasi perdagangan dimulai pada tahun 1995, pasca perjanjian Uruguay dan juga pasca perjanjian Doha-Qatar, mekanisme perdagangan menuntut inovasi dan kemajuan produksi dan pengelolaan SDA untuk pertumbuhan ekonomi dan pengentasan efek buruk ekonomi (kerusakan lingkungan, krisis ekonomi dan kemiskinan) yang tidak bisa terjadi secara natural, melainkan melalui kebijakan perdagangan nasional; yang salah satunya melalui intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi produk dan investasi di sektor-sektor yang berpotensi meningkatkan nilai tambah perdagangan.

Ekonomi global telah berevolusi dengan menjadi lebih interdependensi dan fokus kepada TRIPS plusreward standard, dan competition policy. Yang tujuan normatifnya adalah berdikari secara ekonomi, untuk memenuhi kebutuhan mendasar masyarakat dan dalam nawacita Indonesia juga berharap mampu mendorong keterlibatan dunia di pentas global. Yang jika dalam bentuk aksinya akan berupa penekanan komprehensif di bidang perdagangan, UKM, maritim, kerjasama regional-multilateral, serta evaluasi ulang perdagangan bebas untuk lebih pro kepada kepentingan Indonesia dan peningkatan hak kekayaan intelektual Indonesia dan menciptakan tatanan dunia yang lebih adil. 

Agar dapat memenuhi komitmen tersebut, Indonesia seharusnya mencipakan kebijakan yang jelas terkait perdagangan, baik pada level regional, multilateral dan global. Yang berkomitmen pada ekonomi kerakyatan (people centred economy) yang ditujukan kepada hajat hidup rakyat banyak, berdasarkan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila dan UUD 1945 (Darmansjah Djumala, 2015).

 

Realitas dan tantangan diplomasi ekonomi-politik Indonesia

Kondisi perekonomian Indonesia yang telah lama memasuki rezim perdagangan internasional dan era globalisasi, ditandai dengan berbagai mekanisme kebijakan nasional dan perjanjian internasional untuk menjamin berjalannya proses perdagangan antar negara. Namun dibuatnya aturan yang diharapkan mampu mengangkat perekonomian dan pertumbuhan pembangunan di Indonesia malah tidak berjalan sesuai harapan. 

Antara lain bentuk mekanisme yang kontra-produktif adalah diterapkannya aturan perlindungan investasi asing (bilateral investmen treaties/BIT), yang harapannya bisa meningkatkan jumlah investasi asing ke Indonesia. Dan BIT ini berkembang menjadi lebih luas ke dalam mekanisme perdagangan bebas (FTA) dan aturan HAKI (hak kekayaan intelektual) yang masuk di dalam aturan WTO.

Dampak buruk dari kebijakan yang pro asing tersebut, antara lain menyebabkan semakin lemahnya kedaulatan nasional Indonesia, posisi setara antara pelaku ekonom nasional dan asing menyebabkan negara tidak lagi bisa melindungi pebisnis Indonesia, semakin meningkatnya dominasi negara maju, perlakuan yang setara padahal kondisi dan kebutuhan yang berbeda sehingga menyebabkan kondisi tidak adil, negara penerima investasi asing tidak bisa menerapkan syarat-syarat tertentu yang berkaitan dengan kinerja perusahaan, kebebasan penarikan investasi asing tanpa kontrol (mempermudah capital flight) dan investor asing dapat mengajukan tuntutan kepada negara yang menerima investasi mereka.

Dan fakta empiris menunjukkan bahwa penerapan aturan BIT yang diharapkan mampu memberikan perlindungan investasi asing, malah Keberadaan BIT tidak mendorong investasi dan Brazil tidak punya BIT, tapi investasi nya lebih tinggi daripada Indonesia (jadi BIT tidak memiliki korelasi dengan peningkatan investasi), misal AS dan Jepang melakukan investasi di Indonesia tanpa BIT dan investasi mereka tetap tinggi, malahan dalam kasus Jepang ketika ada BIT angka investasinya malah turun. Selain itu, aturan BIT menghilangkan adanya “Policy Space” pemerintah Indonesia, sehingga dalam kasus tertentu Indonesia tidak bisa memberikan kebijakan yang tegas kepada pelaku investasi asing yang malah memberikan dampak buruk bagi kondisi ekonomi Indonesia (Abdul Kadir Jailani, 2015)

Dan posisi diplomasi ekonomi Indonesia terhadap negara-negara mega traders (pelaku perdagangan besar) sangatlah lemah, mega traders sendiri adalah pelaku ekonomi yang dianggap memenuhi 2 hal: 1. Rasio antara sumbangan ekspor terhadap GDP sebuah negara/peran dalam perdagangan Global, 2. Kontribusi Ekspor dalam GDP (Nasional). Dan untuk saat ini the real mega traders adalah Tiongkok karena memiliki 11% sharing dari perdagangan global, dan Tiongkok memiliki pertumbuhan perdagangan paling kuat, di saat AS dan Uni Eropa mengalami krisis ekonomi. 

Dan fakta kondisi hubungan perdagangan Indonesia-Tiongkok saat ini: a. Hanya sekedar pemasok sumber energi, b. Pemasok bahan mentah, c. Sekedar menjadi tujuan investasi (Indonesia menjadi Periphery dari Tiongkok sebagai Core). Dan neraca perdagangan Indonesia malah menurun pasca kesepakatan perdagangan bebas antara Indonesia dan Tiongkok berlaku, padahal pada 2007 angka perdagangan kita cukup besar dengan Tiongkok, dan malah sebaliknya pasca perdagangan bebas di tahun 2011 terus mengalami defisit hingga sekarang. Dan Tiongkok ketika melakukan investasi di Indonesia, malah banyak mengambil impor dari negara asal mereka sendiri, bukan dari produk Indonesia yang pada awalnya diharapkan mampu memberikan kontribusi positif bagi perekonomian nasional (Poppy S. Winanti, 2015).

Beberapa kondisi negatif diatas, disebabkan oleh problem utama dan tantangan kinerja diplomasi ekonomi Indonesia yang antara lain tidak memiliki satu strategi yang jelas dan tanpa dukungan infrastruktur dan kebijakan sebagai penopang, serta lemahnya kesiapan dalam negeri dalam menghadapi tantangan dan tuntutan dari dinamika ekonomi-politik internasional (Dinar Henrika Sinurat, 2015).

 

Trisakti sebagai dasar falsafah diplomasi Indonesia

Lemahnya kondisi Indonesia terkait percaturan diplomasi ekonomi-politik internasional memiliki akar yang dalam dan tak semata hanya karena metode serta manajemen diplomasi yang tidak mencerminkan kepentingan nasional, melainkan juga terkait paradigma berfikir dan jalan hidup bangsa yang sudah tidak berpegang lagi dengan karakter bangsa Indonesia.

Kuatnya arus globalisasi yang ditandai dengan dunia yang saling terhubung dan terintegrasi telah membuat batas kedaulatan antar negara semakin kabur, proses ini mempermudah masuknya arus modal keberbagai wilayah yang mempercepat proses liberalisasi dan kapitalisasi bidang politik-ekonomi-sosial-budaya (Manfred Stegger, 2003). Dan terutama dibidang ekonomi hanya membuat Indonesia menjadi sekedar pemasok kebutuhan barang mentah dan tujuan pasar, bentuk yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kondisi Indonesia ketika masih berada di dalam cengkraman kolonialisme.

Indonesia sekarang tidak bisa lepas dari kolonialisme yang pernah bertahan selama 350 tahun dan kolonialisme adalah soal jajahan terkait rugi atau untung, kolonialisme bukanlah soal kesopanan atau soal kewajiban, soal ini ialah soal mencari hidup, soal bisnis atau korporasi yang mencari kehidupan (Sukarno, 1928).

Menurut Sukarno, Indonesia memasuki sistem ekonomi kolonial jika perekonomian Indonesia; Pertama, sekedar diposisikan sebagai pemasok bahan mentah bagi negara-negara industri maju. Kedua, perekonomian Indonesia dijadikan sebagai pasar produk negara-negara industri maju. Dan ketiga, perekonomian Indonesia dijadikan sebagai tempat untuk memutar kelebihan kapital yang terdapat di negara-negara industri maju tersebut. Dan kondisi seperti gambaran Sukarno itulah yang sedang dihadapi oleh Indonesia saat ini. 

Untuk mengatasi ini, perlu solusi komprehensif, yang berkarakter struktural (top-down) dan kultural (bottom-up), agar proses perbaikan terjadi melalui dua arah. Pertama dengan melakukan koreksi struktural terhadap ekonomi kolonial yang ternyata masih ada di Indonesia melalui amandemen pasal UUD 1945 dan UU yang masih pro kepada tindakan kolonialisme/kapitalisme, serta perubahan struktural yang mengarahkan sistem ekonomi-politik Indonesia kembali kepada kedaulatan rakyat, yang dipahami sebagai ekonomi-kerakyatan (Revrisond Baswir, 2015).

Ekonomi kerakyatan sendiri adalah demokrasi-ekonomi, dimana pelibatan ekonomi tidak hanya dikuasai pemilik modal (kapital), namun seluruh elemen masyarakat. Perekonomian kerakyatan disusun berdasar azas kekeluargaan, dan azas kekeluargaan itu ialah koperasi, sehingga Indonesia di dalam hubungan internasional tidak hanya berbicara free-trade, melainkan seharusnya juga berbicara terkait cooperation/kerjasama, bukan competition/persaingan (Muhammad Hatta, 1977). Yang harapannya akan berpengaruh pada cara pandang kebijakan luar negeri yang bergeser kepada people interest, bukan lagi national interest atau commodity interest, karena di dalam kepentingan komoditas dan nasional itu sendiri sudah dikuasai oleh mafia/cukong atau oligarki.

Sedangkan solusi kultural adalah solusi yang memerlukan proses yang panjang, karena lebih kepada penyadaran masyarakat secara mandiri bahwa Indonesia perlu memiliki karakter budaya yang kuat agar tidak tergerus pengaruh globalisasi. Kesadaran kultural masyarakat sendiri sebenarnya lebih utama dan mendasar (basis struktur), karena menjadi pijakan pola pikir dan tindakan masyarakat secara langsung. Hal ini sebenarnya sudah lama didengungkan melalui Trisakti, yakni berdaulat secara politik, mandiri dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan (Sukarno, 1963).

Ikuti tulisan menarik Dudi Saputra lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler