x

Iklan

Damang SH MH

PENULIS DAN OWNER negarahukum.com
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sara(cen) A-Cyber Hate

Sara(cen) and cyber hate ibarat dua sisi koin yang tidak dapat dipisahkan. Saracen ialah subjek pelaku tindak pidana yang bergerak dalam pendulum “criminal

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saracen bukanlah nama orang, akan tetapi nama dari sebuah grup yang saat ini diduga bekerja secara terorganisir dalam menyebarkan sindikat kebencian berlatar SARA melalui dunia cyber (maya). Jika diperhatikan nama dari grup ini, pada sesungguhnya memang sengaja didirikan untuk menjadikan “SARA” sebagai “objek” dalam mewujudkan tindak pidana penghinaan sekaligus tindak pidana ujaran kebencian (hate space).

Sara(cen) and cyber hate ibarat dua sisi koin yang tidak dapat dipisahkan. Saracen ialah subjek pelaku tindak pidana yang bergerak dalam pendulum “criminal corporations” perihal siapa yang bertanggung jawab secara pidana. Sedangkan cyber hate merupakan perbuatan yang diwujudkan oleh sipelaku karena secara expressis verbis terdapat elemen “wederrechtelijkheid.”

Berdasarkan rilis kepolisian, saat ini sudah tertangkap tiga orang yang diduga sebagai tim dan anggota Saracen, yaitu JAS sebagai ketua grup, MFC sebagai pengurus di bidang media informasi, dan SRN sebagai pengurus Saracen dengan peran koordinator grup wilayah.

Jika dilihat dari modus operandi kejahatan ini, ada kecenderungan dari perbuatan oleh masing-masing pelaku sebagai hasil “pemufakatan jahat” yang melibatkan banyak pihak.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Berdasarkan fakta yang terkuak, ialah sindikat yang dipimpin oleh JAS ini, dalam operasinya bak mesin yang memproduksi konten-konten ujaran kebencian berdasarkan pesanan, sebenarnya telah memenuhi peristiwa pidana apa yang disebut “turut campur dalam peristiwa pidana (Tresna:1959).” Baik yang memesan maupun yang mewujudkan pesanan itu, semuanya dapat dikenakan ancaman pidana.

Delik Terkualifikasi

Dari tiga pelaku yang terduga sebagai kelompok Saracen dalam hubungannya dengan pertanggungjawaban pidana, maka ketiga pelaku tersebut dapat dijerat pidana dalam suatu perbuatan penyertaan penghinaan dan ujaran kebencian (Pasal 27 ayat 3 UU ITE junto Pasal 28 ayat 2 UU ITE Junto Pasal 55 KUHPidana).

Hanya saja jika ditilik-tilik dari perbuatan ketiga pelaku tersebut, belumlah proporsional dengan mengenakan ancaman pidana delapan tahun berdasarkan sistem kumulasi verscherpingsstelsel semata.

Ketiga pelaku, jika hanya dihukum dengan tindak pidana penghinaan dan ujaran kebencian melalui ITE sebagaimana yang digariskan dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 yang telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, kiranya belum setimpal antara mens rea dan actus reus yang dilakukan para pelaku dalam hubungannya dengan unsur kesalahan dan pertanggungjawaban pelaku.

JAS, MFC, dan SRN diduga tidak hanya menyebarkan informasi yang bernuansa penghinaan dan ujaran kebencian, namun mereka diduga pula dalam mewujudkan perbuatannya itu untuk mencari keuntungan. Ini terbukti, berdasarkan hasil pengembangan lebih lanjut oleh kepolisian, bahwa telah ditemukan beberapa proporsal dengan jumlah nominal pembuatan ujaran kebencian puluhan juta.

Baik Pasal 27 ayat 3 maupun Pasal 28 ayat 2 UUITE adalah delik yang hanya dirumuskan dalam bentuk pokok atau sederhana (eenvoudige delic). Tidak sama sekali dirumuskan sebagai delik terkualifikasi (gequalificeerde delic) yang memungkinkan pemberatan ancaman pidana karena keadaan-keadaan tertentu.

Dalam kasus Saracen yang mewujudkan kejahatan sekaligus untuk mencari keuntungan, pada hakikatnya terdapat keadaan tertentu yang meniscayakan perbuatannya itu mendapat pencelaan lebih berat. Hal yang berbeda misalnya, seandainya perbuatan itu semata-mata melakukan penghinaan dan ujaran kebencian.

Oleh karena itu dalam hemat penulis, jika pada akhirnya masing-masing keanggotan dari kelompok Saracen yang sudah tertangkap itu, dapat dibuktikan bahwa memang benar dari tujuan pendirian grupnya ialah untuk mencari keuntungan pula dalam mewujudkan kejahatan yang bernuansa hate space. Dari peristiwa inilah, harus dipikirkan bahwa tindak pidana ujaran kebencian harus mengalami dua formulasi.

Pertama, jika Pasal 28 ayat 2 ditujukan untuk menjerat para pelaku hate space, hal mana akibat perbuatannya sangat tidak diinginkan karena mengganggu destabilitas nasional. Seharusnya ketentuan  a quo tidak dirumuskan dalam kesengajaan yang bercorak opzet als oogmerk saja; “…ditujukan untuk menimbukan kebencian…” Akan tetapi ada baiknya harus mencakup tiga corak kesengajaan (maksud, kepastian, dan kemungkinan). Sehingganya kalau ada peristiwa pidana ujaran kebencian, cukup dibuktikan suatu keadaan menghendaki dan mengetahui dari si pelaku (willen and weeten).

Kedua, jikalau perbuatan dari sipelaku ujaran kebencian ialah juga serangkai dengan motif untuk mencari kenuntungan, maka ancaman pidananya harus lebih diperberat lagi. Minimal dengan pemberatan 1/3 dari ancaman pidana maksimumnya. Dasar argumentasi pemberatan tersebut, yaitu: karena terdapat keadaan-keadaan tertentu, seperti sifatnya yang terorganisir, sifatnya yang membahayakan atas kesatuan negara, dan tujuan mencari keuntungan (memperkaya diri) atas kejahatan yang dilakukan.

TPPU

Ada hal yang menarik dari perbuatan ujaran kebencian melalui dunia maya (cyber hate), yaitu: bagaimana jika dalam menyebarkan ujaran kebencian mendapatkan keuntungan, kemudian dari keuntungan itu disembunyikan atau disamarkan sehingga seolah-olah sebagai kekayaan yang tidak diperoleh karena kejahatan?

Dapatkah kemudian dari perbuatan menyamarkan “keuntungan” itu sebagai perbuatan yang memenuhi atau terkualifikasi sebagai Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)? Jika diperhatikan kemudian Pasal 2 ayat 1 huruf (z) UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU yang menegaskan : “Hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana lain yang diancam pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih,” maka keuntungan yang disamarkan karena diperoleh dari perbuatan ujaran kebencian telah memenuhi sebagai tindak pidana pencucian uang, sebab ancaman pidana penjaranya paling lama 6 (enam) tahun.

Tindak pidana ujaran kebencian merupakan kejahatan asal yang menghasilkan keuntungan (predicate offense). Sementara keuntungannya yang kemudian disamarkan merupakan kejahatan lanjutan (follow up crime) yang memenuhi sebagai TPPU (money laundry).

Jika kelompok Saracen saat ini tidak dapat dijerat dengan pidana pemberatan dalam delik terkualifikasi. Minimal pengembangan atas kasus tersebut yang diduga mencari keuntungan dalam mewujudkan perbuatan jahatnya, tidak menutup kemungkinan satu dintara pelaku atau ketiga-tiganya telah menyamarkan “kekayaan” yang diperolehnya dalam tahap-tahap: placement, layering, and integration.*

Ikuti tulisan menarik Damang SH MH lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler