x

Iklan

Cristina Balqis

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sekali Lagi Tentang Orang-orang Kiri

Tan: Gerilya Bawah Tanah membawa rasa yang berbeda. Ini bukan lagi sebatas novel Tan Malaka. Ini potret kebatinan orang-orang kiri pada kurun 1927-1935

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Orang Kiri adalah mereka jang menghendaki perobahan kekuasaan kapitalis, imperialis jang ada sekarang. Kehendak untuk menjebarkan keadilan sosial adalah kiri. Ia tidak perlu Komunis. Orang kiri bahkan dapat bertjektjok dengan orang Komunis. Kiriphobi, penjakit takut akan tjita-tjita kiri, adalah penjakit jang kutentang habis-habisan seperti Islamophobi. Nasionalisme tanpa keadilan sosial mendjadi nihilisme.” (Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat,100)

Membaca novel Tan: Gerilya Bawah Tanah—sekuel Tan: Sebuah Novel—karangan Hendri Tejamenegasikan bahwa apa yang disampaikan Sukarno itu benar adanya. Dalam narasi novel ini, cekcok ini ditandai berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI).

Kegagalan Perlawanan Rakyat 1926-1927 adalah malapetaka bagi gerakan kemerdekaan Indonesia. Banyak aktivis pergerakan, kaum ulama, hingga orang-orang yang sekadar simpati atas gerakan menentang kolonialisme, diringkus dan dibuang ke Boven Digul. Organisasi perjuangan, baik parpol maupun serikat pekerja dibubarkan paksa. Gerakan kemerdekaan mencapai titik nadir, hingga berdirilah PARI di negeri Siam, dan sebulan kemudian PNI di Bandung.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

PARI dirikan oleh tiga eksil Hindia Belanda pasca Perlawanan Rakyat yang gagal itu. Mereka adalah Tan Malaka, Subakat dan Djamaluddin Tamin—dua nama terakhir saya pikir kurang familiar di telinga kids zaman now. Sebelumnya, mereka adalah penentang gigih Perlawanan Rakyat yang diinisiasi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) itu. Dan PARI adalah satu bentuk perlawanan mereka terhadap hegemoni Komunis Internasional (Komintren), perhimpunan parpol komunis di seluruh dunia.

PARI menilai semua organisasi penentang imperialism dan kolonialisme harus tegak sejajar. Metode perjuangan tidak boleh disetir dari Moskow, melainkan harus berdasarkan corak budaya masing-masing negara.

“Kami berpikir kesinambungan ini hanya dapat terjamin sebaik-baiknya dengan pertama-tama bersandar pada kekuatan sendiri; dan kedua dengan berbaris bebas tapi berhaluan sejajar dengan gerakan proletar internasional.” (Tan: Gerilya Bawah Tanah, 54)

Pendirian PARI ini kelak membawa lembar baru percekcokan antara Tan Malaka dengan kaki-tangan Komintern. Namun, di lain sisi, perubahan metode perjuangan PARI juga membuat pemerintah di negara-negara kolonial kalang kabut. Jika rumusan PARI sampai diadopsi oleh gerakan-gerakan antikolonialisme, alamat tak ada lagi metode tunggal. Artinya, butuh energi lebih untuk memberangus musuh-musuh para Tuan Besar kulit putih itu.

Semangat PARI ini menyebar ke seluruh Asia Tenggara melalui buletin Obor. Risalah-risalah ini pada akhirnya turut membakar semangat perjuangan Sukarno dan para aktivis PNI. Sampai akhirnya segenap gerakan itu hancur-lebur oleh tipu muslihat Senna van Delli, seorang agen intelejen kolonial yang membayang-bayangi para aktivis PARI dan PNI.

Duet antara PARI dan PNI inilah yang dipotret oleh Hendri Teja dalam novel sekuel dari Tan: Sebuah Novel ini. Namun, sebagaimanay novel sebelumnya, Tan: Gerilya Bawah Tanah tidak sebatas berkutat pada narasi sejarah. Pengarang cukup piawai mengupas suasana kebatinan para tokohnya.

Perbedaan mendasar dari novel sebelumnya adalah: Tan: Gerilya Bawah Tanah lebih keras dalam menyampaikan pesan-pesan perjuangan. Penokohannya disajikan secara proporsional, sehingga bukan hanya sepak-terjang Tan Malaka yang dikupas. Para aktivis kiri lainnya juga mendapat tempat terhormat dalam novel bersetting: Hindia Belanda, Semenanjung Malaya, Thailand, Filipina hingga daratan Tiongkok pada kurun waktu 1927-1935 ini.

Sukarno mendapat tempat khusus dalam novel ini, utamanya proses transformasi putera sang fajar. Mulai dari mahasiswa sekolah teknik, hingga menjadi pemimpin rakyat yang utama. Hubungan Sukarno dan Tan Malaka dipotret mesra secara intelektual, kendati mereka tidak pernah bertatap-muka.

Tentu saja, sebagaimana fiksi lainnya, terselip juga romansa. Kali ini mengambil bentuk Carmen, puteri Rektor Universitas Manila; serta Inggit Garnasih, isteri Sukarno.

Saya menolak membandingkan novel ini dengan novel-novel postkolonialism lainnya. Tetapi, saya pikir sebagai fiksi bergenre sejarah, Tan: Gerilya Bawah Tanah bisa jadi tabung oksigen yang lumayan buat  menyelami semangat Indonesia era kolonialisme dengan cara yang mengasyikan

Ikuti tulisan menarik Cristina Balqis lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu