x

Iklan

Luhur Pambudi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Hoax, Pancasilais, dan Silang-sengkarutnya (4)

Hoax sebagai Cacat Informasi, atau Sebagai Upaya Labelisasi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Hoax sebagai Cacat Informasi, atau Sebagai Upaya Labelisasi

Hoax itu diartikan sebagai, jika meminjam laporan dari data Survey Mastel Tentang Wabah Hoaks Nasional Februari 2017 adalah berita bohong yang disengaja sejumlah 90%, berita yang menghasut sejumlah 61%, berita yang tidak akurat sejumlah 59%, berita ramalan fiksi ilmiah sejumlah 14%, berita yang menyudutkan pemerintah sejumlah 13%, berita yang tidak disukai sejumlah 3 %. Yang jelas salah satu hasil dari survei tersebut menempatkan pengertian bahwa berita hoax itu adalah berita yang menyudutkan pemerintah. Saya mencurigai, jika ini merupakan data survei yang sifatnya grounded theory yang mungkin butuh ratusan bahkan ribuan partisipan yang bersumber dari segenap lapisan masyarakat. Kita patut mencurigai dari mana pikiran masyarakat bersifat mendukung ke arah pemerintah dengan anggapan bahwa hoax itu berbentuk berita yang menyudutkan pemerintah. Kecurigaan ini, memantik pertanyaan; yang disebut menyudutkan pemerintah itu apa?

Disebuah diskusi, bertemakan “Selamatkan Indonesia”, yang membedah buku karangan Amien Rais beberapa tahun yang lalu, bertempat di UGM. Beberapa akademisi turut menafsirkan isi pembacaan data ketimpangan yang dilansir dan diijtihadkan oleh Amien Rais dalam bukunya, kemudian pada sesi terakhir seorang budayawan sekaligus Rektor Universitas Maiyah Nusantara, Emha Ainun Nadjib, turut urun pemikiran secara filosofis kebudayaan masyarakat nusantara untuk membaca keseluruhan pokok pikiran buku Amien Rais. Dan menghasilkan suatu pemahaman bahwa problemnya bukan karena rakyat Indonesia yang sumber daya manusianya tak mumpuni untuk mengentaskan dari kronik peradaban, disamping sumber daya alam yang melimpahruwah tapi karena pemerintah yang sistem birokrasinya yang berorientasi pada pemiskinan mental masyarakat dengan cara memelihara ketimpangan sosial antara nasib mereka yang menjadi penguasa diatas mereka yang bernasib dikuasai, atau nasib mereka yang menjadi si kaya dan melumat mereka yang bertindak sebagai si miskin. Dari sini jelas menunjukkan bahwa yang merasa direpotkan bukannya pemerintah atau negara, tapi rakyatnya. Artinya negara itu cuma  ngrepotin rakyatnya saja, disuruh bayar umpeti yang disebut mereka pajak, padahal pemerintah tidak pernah serius memfasilitasi kehidupan mereka sehari-hari. Kesimpulan dari budayawan itu menggelitik, adalah masyarakat indonesia itu keliru jika diartikan sebagai masyarakat dan bangsa yang sengsara, justru sebaliknya bahwa masyarakat dan bangsa Indonesia merupakan cerminan dan contoh real tentang sebuah bangsa yang kuatnya bukan main, dan tidak akan pernah memiliki istilah kata sedih kendati keadaan yang sedemikian menyiksa harus merampas kehidupan mereka. Oleh karena itu buku dari Amien Rais sebenarnya hasil dari diskusi panjang itu sebenarnya membuktikan suatu hal pentingan bahwa ada suatu mekanisme global yang tidak membolehkan negara dan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Secara terang kita menggarisbawahi atas dasar apa masyarakat menyimpulkan jika pemerintah itu harus dilindung dan tidak boleh dikritik.

Andaikan ada seorang tukang jual Dawet dipertigaan jalan HR. Muhammad berkeluh kesah tentang negara yang tak kunjung menurunkan harga garam yang disusul ancaman naiknya harga bensin jenis pertalite dan menghilangkan premium, apakah ungkapan tukang dawet itu dapat disebut sebagai mengancam atau menyudutkan pemerintah. Ketika sebuah koran nasional memberitakannya dihalaman pertama rubrik berita utama. Tentu, akan ada yang menginterupsi, “itu kan masih sebuah kritik dari tukang es dawet biasa di pinggir jalan?” Iya kita tahu, tapi dari realitas itu, apakah kita mungkin bisa membedakan secara jernih mana yg disebut kritik mana yang disebut menyudutkan. Kritik itu dalam etika bernegara demokrasi harus diselenggarakan seterbuka mungkin dan setajam mungkin. Demokrasi menghendaki demikian, lantaran demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan yang secara sadar atas kelemahan yang dimiliki menghendaki adanya konsensus dari segenap warga negara untuk menentukan dan merumuskan apa yang baik bagi nasib bersama di masa yang akan datang. Demokrasi status ontologinya memang dianggap sebagai sistem yang cacat dan tak sempurna. Oleh karena itu ketidaksempurnaan dari sistem demokrasi itu merupakan kelebihan dari demokrasi itu sendiri. Dan harusnya pemerintah paham logika dasar demokrasi semacam ini, sehingga mereka tahu bahwa tidaklah etis dan tidak logis bilamana negara memunuculkan diksi “menyudutkan pemerintah” sebagai suatu cara untuk menghalau, menghalangi, menghindari kritik yang mengarah kepadanya. Jika pada kenyataannya demikian, pemerintah sebenarnya tidak demokratis.

Pertama, kita berbicara tentang apa itu kritik terhadap pemerintah, dan apa yang dimaksud dengan menyudutkan pemerintah. Kedua, terminologi sebenarnya adalah upaya yang dipaksakan akibat pikiran yang tak mau dianggap negatif oleh orang lain yang membacanya. Pemahaman kita atas kritik adalah sebuah pikiran telanjang yang muncul dari subjek pertama, yang bercakap-cakap dengan subjek kedua. Yang kemunculannya dalam upaya untuk membuktikan salah sebuah argumen, sebagai itikad untuk menguji gagasan yang akan membawa kita pada kebenaran. Subjek yang mengkritik adalah subjek yang berupaya untuk mencapai suatu bentuk taraf atau fase baru yang tentunya lebih matang jauh dari awal mula dirinya mulai mengkritik. Lantas apa hubungannya dengan menyudutkan pemerintah.

Istilah menyudutkan sebenarnya muncul dari mereka yang berada dalam posisi subjek ke dua atau mereka yang menjadi objek percakapan. Kata tersebut bisa diartikan sebagai salah satu respon terhadap suatu bentuk tekanan, pernyataan, pertanyaan atau hal ikhwal yang membutuhkan suatu jawaban. Artinya istilah itu digunakan karena hasil interpretatif pikirannya terhadap argumen yang mengarah kepadanya. Dapat pula diartikan bahwa menyudutkan sebagai salah satu penilaian terhadap self dari individu yang dijadikan bahan percakapan. Semiotik pada kata sudut atau menyudutkan mengartikan sebagai “yang diancam oleh”, dan pengertian ini sifatnya otoritatif, yang bisa dilakukan oleh siapa saja, sebagai hak, tanpa ukuran baku, cukup sebatas munculnya rasa tersinggung, seseorang layak menggunakan istilah menyudutkan. Contoh, “saya disudutkan oleh pihak lain karena laporan kasus ini,” kita pahami kalimat itu yang ternyata sangat subjektif sekali seseorang bisa menggunakannya. Lantas bagaimana jika kalimat ini muncul dari negara. Dengan diksi, “mereka menyudutkan pemerintah.”

Tentu pemerintah, disini dengan sekehendak hati menutup etika demokratis yang dijunjung tinggi oleh mekanisme politik yang terlebih dulu ada. Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang paling buruk dalam blue print concept kita tahu itu, karena kita mengumpulkan orang-orang bodoh dalam suatu lingkungan sosial yang tanpa tata krama tanpa hukum dan tanpa nilai aturan, demokrasi hanya cukup menunggu konsensus, maka dengan layak demokrasi disebut sebagai baik untuk politik. Filsafat kebebasan menjadi inti dasar terselenggaranya demokrasi kata Ulil Abshar Abdalah, kemudian Romo Setyo Wibowo menjelaskan bahwa kebebasannya tentu kebebasan yang positif karena hanya itu yang baik bagi kehidupan bersama. Kritik dalam demokrasi yang bebas, hendaknya dilselenggarakan setajam mungkin dan sekeras mungkin oktaf tinggi nadanya. Karena tidak mungkin kita menghaluskan kalimat dan merendahkan nada hanya untuk sopan santun dalam politik demokrasi, yang sarat akan kecacatan. Andaikata pemerintah dan negaranya menyeleweng, apakah lantas kita harus bersopan-santun menggunakan kalimat untuk menegur mereka. Oh, mungkin akan ada yang menyangkal, ”menggunakan etika publik melalui audiensi, lobby dan musyawarahkan bisa?” Kita menerima itu, tapi dalam kadar yang seberapa upaya menahan marah itu bisa kita lakukan ketika melihat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) versus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan e-KTP megaproyek korupsi semua faksi, kita cukup lelah melihat mereka, apakah tidak boleh rasa lelah itu kita luapkan dalam bentuk kritik yang sekeras-kerasnya. Apakah anda menghendaki kita menjadi seorang fatalis yang membakar diri di depan istana, atau menenggak racun di atap gedung nusantara, sebagai bentuk protes dari kritik yang tak pernah diidengar. “Negara ini hancur aku ora patek’en,” tandas Rektor Universitas Maiyah Nusantara, sebagai bentuk respon bahwa negara kendati tak mendengar kritik hingga kejatuhannya dilumat negara-negara asing, masyarakat Indonesia tetap berpegang teguh pada apa yang semula mereka miliki tentang pedesaannya, sawahnya, hewan ternaknya, anak-anak yang masih duduk dibangku sekolah dan segala bentuk kehidupan sehari-hari yang tak ada sangkutpautnya sama birokrasi pemerintah.

Oleh karena itu, kritik dan menyudutkan pemerintah, adalah dua istilah yang tak logis untuk sampaikan secara berseberangan, apakah memiliki keterkaitan. Mustahil ada kritik yang tidak menyudutkan pemerintah. Semua kritik handaknya berorientasi pada upaya menyudutkan pemerintah, karena hanya dengan cara itu IQ  nasional negara kita terukur dan tensi darahnya menjadi stabil. Karena fungsi saling evaluatif yang dirawat oleh demokrasi menjamin itu. Apakah masih bergeming dengan pandangan demikian.

Bagaimana dengan hoax yang menyudutkan pemerintah. Bagi saya menyudutkan pemerintah identik dengan kritik, dan jika hoax dianggap menyudutkan pemerintah artinya ada suatu kritik yang disimulasikan kedalam bentuk hoax. Kita terlalu naif memandang hoax sebagai hal yang menjijikkan tabu dan dilarang untuk dilakukan. Padahal hoax itu filsafat dasarnya menghendaki sebuah negasi terhadap argumen, absolutisme, dalil yang disajikan. Hoax itu menyehatkan pikiran, untuk menyajikan kemungkinan lain dari informasi atau gagasan yang sedang berkembang. Sama halnya dengan kritik, hoax menjelma sebagai katalisator terhadap senyawa kimia yang dominan. “Hoax itu baik dan menyehatkan karena berfungsi untuk menjaga keseimbangan,” kata Rocky Gerung, melalui kritik dalam bentuk hoax keseimbangan akhirnya tercipta karena pengertian dasar kritis adalah kita menjadi sadar tentang apa yang tengah terjadi sesungguhnya.

Ilustrasinya semacam ini, ketika sebuah informasi muncul ditengah ruang publik dan membuat gaduh karena kontennya menyudutkan birokrasi pemerintah. Kemudian, pemerintah tentu akan memberi identitas informasi itu sebagai hoax, yang pantas untuk digagalkan, dicari dan diburu siapa yang mengedarkannya. Cukup disini kita pahami sejenak, jika kembali kepada pemahaman yang telah kita rumuskan diawal, pemerintah akan menganggap itu sebagi hoax ketika informasi itu mengarah secara negatif kepada pemerintah, disini akhirnya kita bertanya tentang motif. Kiranya motif apa yang membuat pemerintah menganggap berita itu disebut bohong dan hoax, artinya disini pemerintah mempunyai alasan mengapa memberi label hoax pada informasi tersebut, yang sekaligus menunjukkan bahwa pemerintah mengalami suatu bentuk kecemasan dan krisis yang ditengarai akibat adanya suatu hal yang sedang disembunyikan. Panama Papers, Cornell Papers, Wikileaks dan Jokowi Undercover merupakan informasi yang disebut sebagai hoax oleh pemerintah, yang oleh karenanya dilarang tersebut luas di masyarakat. Muncul pertanyaan. Mengapa informasi itu disebut bohong hoax dan tidak boleh menyebar? Jikalau pada akhirnya menyebar apa dampaknya? Andaikata informasi itu benar-benar bohong, bukankah pemerintah tak perlu gaduh untuk sekedar menangkalnya agar tak sampai menyebar ke publik. Tapi bagaimana jika informasi yang pemerintah sebut itu sebagai hoax adalah sautu bentuk kebenaran lain, yang sedang disembunyikan (secara sengaja). Perlahan asumsi kita mentengarai ada suatu hal yang kita sebut tentang kebenaran lain yang pemerintah tidak ingin masyarakat ketahui. Keseimbangan itu pada akhirnya muncul sebenarnya, akibat informasi yang disebut hoax itu hadir. Yang sebenarnya hanya ingin mengedarkan infromasi lain yang lebih benar. Namun entah karena ada persekongkolan iblis yang menginginkan agar tetap aman dan tak diketahui akal bulusnya oleh masyarakat, informasi itu cukup diberi label hoax yang bernilai negatif agar tidak boleh sedikitpun dikonsumsi oleh Civil Society

Dari sini apakah kita, secara ortodoks masih meyakini bahwa hoax itu benar-benar suatu bentuk istilah kata yang menjijikkan.

Sekali lagi kita memahami kritik sebagai keberanian untuk membongkar habis apa yang diklaim sebagai absolut. “Mengapa harus menggunakan hoax? Dengan cara lain apakah mustahil.” Hoax juga mengalami bias, entah sebagai salah satu komponen masalah, atau menjadi satu pengetian yang utuh dari provokasi, hate speech, fake news, propaganda, kempanye negatif, kepecayaan publik, paham radikal dan disintegrasi sebagai mana yang tertera pada power point Herman Tolle, seorang pakar Sistem Informasi Unibraw. Jikalau memang merupakan salah satu komponen masalah yang pantas untuk dituntaskan karena menimbulkan keresahan, berarti tidak dapat dipukul rata pengertiannya dengan istilah informasi palsu lainnya misalkan provokasi, hate speech, fake news, propaganda, kampanye negatif, kepercayaan publik paham radikal dan disintegrasi, karena variannya berbeda. Tapi satu hal yang membuat komponen-komponen itu dikatakan sama, yakni menimbulkan keresahan. Keresahan yang dimaksud juga makin bias lagi, siapa yang diresahkan? Pemerintah atau warga negara. Hal ini tak pernah jelas bagaimana memaknainya.

Setelah kita memahami konsep besar ini, tentu kita malu jika bersikap reaksioner terhadap segala bentuk informasi yang dikemukan oleh negara tentang mana informasi yang disebut hoax dan mana yang tidak. Beberapa waktu yang lalu, muncul buku Jokowi Undercover ditulis oleh salah seorang budayawan asal Jawa Tengah yang berisikan tentang pembuktian bahwa ada simpul-simpul komunisme yang berada dibalik sosok Presiden Jokowi. Buku ini sontak tanpa diskusi, langsung dicekal, dianggap haram, dan penulis termasuk penyebar data softfile-nya diburu sampai ketemu. Pikiran publik, melalui pernyataan negara, dipersempit bahwa buku Jokowi Undercover adalah buku yang dilarang untuk dibaca. Kita sebut sebagai hoax, lantaran mereka yang menyebut buku itu dilarang karena tidak ilmiah adalah pihak Polisi yang diselipkan kepada dalam draft pidato Presiden Jokowi agar menjadi salah satu bahan pidato kenegaraan. Hoax atau bukan, ilmiah atau fiksi status ontologinya haruslah diputuskan oleh mereka institusi atau pihak yang memiliki kapabilitas dibidangnya. Sebuah buku dikatakan dilarang, akan lebih percaya dan dipahami oleh publik jika itu muncul dari pikiran para akademisi di dalam kampus. Karena kampus tempat dimana segala bentuk gagasan, pikiran dan ideologi ditelanjang secara habis-habisan hingga menemukan titik terangnya. Tentu titik terang itu yang kita butuhkan bukan hanya untuk melihat buku Jokowi Undercover semata, tapi semua hal yang tengah masuk di dalam kampus, entah itu ideologi, dalil kitab suci, ide dan gagasan para pakar yang terkenal, semua hal tanpa terkecuali ketika telah masuk didalam kampus harus bisa dibuktikan salah (Falibilis) sebagai bentuk proses belajar menemukan benar yang disepakati bersama.

Beberapa waktu yang lalu saya bertemu dengan seorang aktivis agraria yang bergerak pada pemikiran ideologi nasionalis, dengan rambut gondrongnya ia menandaskan, “silahkan saja mendiskusikan komunisme dan marxisme di dalam kampus, kalau tidak takut ditangkap Polisi dan dipenjara.” Sontak pikiran tersebut membuat saya nyinyir, bagaimana mungkin seorang fundamentalis pemikiran nasionalis ala proletariat, berfikir tentang ideologi komunisme dan marxisme itu dilarang dipercakapkan di dalam kampus. Saya sebut pikiran tersebut sebagai pikiran kacau dan naif, oleh karenanya patut untuk ditertawakan karena dirinya tak sadar sedang terkontaminasi oleh grand narative kepentingan politik yang terjadi di luar kampus. Tentu pikiran semacam ini yang menolak keras dan melarang dengan tegas mendiskusikan ideologi terlarang di dalam kampus bukan baru-baru ini saja muncul tapi, beberapa institusi kenegaraanpun menghendaki dan menyarankan hal ini. Lumah saja jika Pak’de Karwo melarang membedah buku Tan Malaka di sebuah kecamatan di Kota Surabaya karena ditakutkan akan mempengaruhi pikiran masyarakat yang awam dan sulit memahami pikiran komunisme dari tokoh nasional berpikiran kiri yang tak diakui oleh negara sebagai pahlawan. Tentu lumrah jika Pak Tito menghalangi dan mempersulit ijin mengadakan diskusi marxisme di sebuah warung kopi gaya Jogloan di tengah tengah rimba gedung bertingat Kota Surabaya dengan asumsi forum tersebut harus diawasi ketat oleh pemerintah agar tidak macam-macam setelah agendanya selesai. Panglima besar TNI juga demikian tak akan segan untuk membubarkan paksa jika ada diskusi ideologi yang dianggap terlarang ditengah pemukiman penduduk kota besar dengan alasan keamanan masyarakat dari bahaya yang ditimbulkan. Tapi di dalam kampus pikiran-pikirian yang dianggap tabu harus dilarang untuk dipercakapkan secara akademis, menunjukan bahwa perguruan tinggi bodoh, karena berhenti menyuplai pikiran yang merubah masyarakat. Ini paradoksnya. Harusnya pikiran, ideologi, gagasan dan produk politik, apapun itu bentuknya, harus dipercakapkan secara telanjang di dalam kampus, untuk menguji secara kontestatif, apakah layak untuk diedarkan kepada publik atau  tidak. Jika tidak demikian, maka pendangkalan besar-besaran secara akademis dan etika ilmiah yang terjadi di perguran tinggi menandakan status negara hendak menuju totaliter.

Kasus Jokowi Undercover mungkin terlalu jauh. Belakangan muncul perdebatan tentang apakah baik menayangkan kembali film Gerakan 30 September PKI (G30S/PKI), yang sempat dilarang tayang paska orde baru runtuh. Justru menjadi paradoks, ada yang mendukung, belakangan kita tahu militer berargumen secara positif untuk tetap menayangkan film tersebut kendati dengan adanya pengawasan. Namun anehnya, sebelum film tersebut begitu masif untuk diintruksikan layak ditayangkan oleh masyarakat, ada sebuah peristiwa yang cukup miris tentang pembubaran kelompok diskusi di sebuah kecamatan di Jakarta, entah saya lupa apa nama kelompoknya, yang mendiskusikan tentang pemikiran marxisme dan komunisme. Perihal ijin penayangan yang secara terbuka di sampaikan oleh pihak militer, bahwa film G30S/PKI yang sempat dilarang tayang, kini diperbolehkan kembali oleh negara, satu hal yang menjadi pertanyaan kita apakah tidak ada ekses negatif dari penayangan film tersebut terhadap pengetahuan masyarakat tentang sejarah G30S/PKI. Bukankah yang akan berpotensi muncul adalah pikiran publik yang menganggap PKI dan komunisme itu semakin dianggap haram, apapun bentuknya. Kemudian, sebuah kabar mengejutkan menghiasi momentum gegap gempita pro kontra penayangan film tersebut menyeruak datangnya dari sebuah kelompok diskusi idologi komunisme dan marxisme mendadak dibubarkan oleh, entah oknum aparat pemerintah, atau oleh kelompok masyarakat lainnya yang sentimen, hal tersebut menandakan sebenarnya disamping terbukanya kebijakan negara memperbolehkan menonton film tersebut, sebenarnya ada sebuah penyakit kolot yang didera masyarakat kita bahwa kita tak mampu membedakan mana ideologi yang berbentuk mobilisasi politik massa, dan mana yang ideologi murni dalam pemahaman ilmu pengetahuan.

Ketika lampu hijau dari pemerintah yang memperbolehkan menonton film G30S/PKI, tentunya menjadi lebih baik jika dibarengi pula untuk diperbolehkan mempelajari buku-buku ideologi kiri, agar publik memahami secara utuh dan mendasar mengapa ideologi-ideologi tersebut bisa dianggap haram oleh suatu negara. Artinya TAP MPR yang isinya melarang memperlajari ideologi pemikiran leninis, komunis dan marxisme hendaknya dicabut. Agar kita paham secara sadar dan kritis tentang apa kelemahannya, apa kelebihannya, dan bagaimana sejarah dunia menceritakan awal mula ideologi tersebut bisa muncul hingga pada akhirnya runtuh. Hal ini sebenarnya menjadi ciri berfikir yang mendasar dan kritis yang kita idam-idamkan untuk menyelamatkan dari pikiran politik akal miring yang saat ini dipelihara oleh birokrasi, karena menepatkan upaya membongkar kesadaran kolektif dan menghindari proses indoktrinasi pada masyarakat. Karena, proses pembelajaran bernegara dengan cara doktrinasi yang sebatas memperbolehkan nonton film G30S/PKI semata, tanpa mengupgrade pemahaman tentang apa itu ideologi kiri dan silang sengkarut pemikirannya, maka sangat mungkin atas dasar seseorang membawa buku komunisme, berpakaian warna merah, simbolisme menggunakan tangan kiri, seseorang bisa dibunuh dan digebuk oleh negara.

Entah apa yang ada dipikiran TNI misalnya, membiarkan publik menonton sebuah film yang entah apakah pernah kita uji benar tidaknya sejarah yang dijadikan inspirasi pembuatan film ini dulu. Menjadi semakin paradoks kiranya, bahwa sejarah ditulis oleh mereka yang memenangkan peperangan. Artinya militer tengah menayangkan produk sejarah dari mereka si pemenang. Yang tentu benar-salahnya tak lagi penting, karena yang terpenting adalah doktrinasi yang mengukuhkan kekuatan posisi yang sedang dikuasai. Jikalau demikian jadinya, apakah salah kita sebut bahwa militer sedang menyebar hoax. Karena menyebarkan informasi dengan cara yang tidak kritis.

Kita tengah berada dalam suasana peradaban yang isinya adalah pengendalian pikiran, salah satu komponennya adalah informasi hoax. Dan negara adalah mereka yang berupaya mengendalikan pikiran kita. Melalui istilah kata hoax, negara patut melarang menayangkan, mempublis sebuah informasi hanya karena dianggap tidak pro-pemerintah. Pada saat yang sama negara menjadi seenaknya sendiri menjejali informasi dengan cara doktriner kepada masyarakat. Kini semakin jelas apa itu hoax, yang ternyata hanya sebatas istilah kosong, yang akan digunakan oleh mereka yang berkepentingan.

Alan Sokal misalnya, seorang profesor New York University, kini disebut sebagai Alan Hoaks lantaran sebuah paper hasil penelitiannya yang diterbitkan di sebuah jurnal yang diasuh para guru besar universitas tersebut, mendadak dibuka tabirnya. Alan Sokal mengatakan paper itu sebenarnya paper dengan kualitas penelitian dan hasil analisis yang buruk, mengapa publik termasuk para guru besar pengasuh jurnal tak mendeteksi itu, bahkan justru mengapresiasi secara berlebihan. Ternyata satu hal yang dapat kita ambil dari apa yang dikatakan Alan Sokal, bahwa mereka tak pernah kritis terhadap informasi.

Melihat fakta sosial tentang merebaknya berita hoax, hendaknya begitu. Nalar kita harusnya tumbuh lebih besar dari masalah yang sedang dihadapi. Sebenarnya menjadi keliru ketika kita terjebak pada anggapan; apakah hoax itu penting untuk digunakan, atau sebaliknya, yakni harusnya dihindari karena meresahkan. Karena, hoax sebenarnaya sebuah istilah kata yang bukan apa-apa dan tidak pernah ada sebagai kata yang menamai realitas. Inti dasar percakapan tentang hoax sebenarnya adalah bagaimana kita senantiasa mengaktifkan nalar kritis dalam keseharian hidup, apapun dimensinya. Karena hanya dengan cara ini, pikiran masyarakat kita tumbuh menjadi matang, berani menguji apa yang dianggap absolut, dan membongkar apa yang semula terselubung dituduh jahat.

Ikuti tulisan menarik Luhur Pambudi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler