x

Iklan

Luhur Pambudi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Hoax, Pancasilais, dan Silang-sengkarutnya (6)

Manusia yang Hidup di Alam Dongeng

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Manusia yang Hidup di Alam Dongeng

Kecanggihan teknologi, menghasilkan kekeliruan berfikir yang bentuknya penyalahgunaan. Pesimisme ini yang menjadi percakapan menarik, tentang digital culture yang tengah dibangun oleh masyarakat kita. Disamping mereka yang sedang gegap gempita membangun digital infrastruktur ancaman melalui digital security menjadi begitu nyata menyusul dibelakangnya, dan sama berbahayanya seperti seorang perampok membawa senjata tajam untuk ditodongkan pada korbannya. Informasi hoax bukan saja sebatas mereka yang tak sadar sedang melakukan kesalahan, dengan suatu bentuk pengharapan rasa maklum dan lumrah bagi mereka yang dirugikan. Kini hoax dimanfaatkan untuk bukan sebatas memanipulasi rasa bersalah publik atas informasi yang beredar. Hoax adalah senjata tajam baru di dunia yang tak pernah kita temui dimanapun kecuali cerita dongeng.

Silang-sengkarut itu, sepertinya menurut analisis dari para pakar masih berada jauh dari pikiran masyarakat Indonesia. Kalau di eropa, dinegara tetangga dan beberapa negara timur saja teknologi bukanlah barang baru, hidup berdampingan dengan dunia cyber adalah suatu keniscayaan lama yang menjadi kebutuhan dasar hidup manusia. Tentu pesatnya kemajuan peradaban negara barat dengan memanfaatkan teknologi, disusul pula dengan ancaman pada cyber security, lucunya hanya akan terjadi pada negara yang pemanfaatan teknologinya sama pentingnya dengan paru-paru untuk bernafas setiap hari. Bagimana dengan Indonesia, Indonesia masih aman dari ancaman-ancaman cyber yang kasat mata berbasis dunia maya. Saya tertawa cekikian bersama beberapa dosen Unair yang duduk disebelah kiri saya. Semua pakar IT yang menjadi pembicara mengiyakan itu dan menertawakannya. Nampak seakan diskusi-diskusi tentang kecanggihan teknologi yang berlangsung dua dekade belakangan hanya menyisahkan gelak tawa bagi masyarakat Indonesia. Ada sebuah praduga, masyarakat kita yang masih kolot akan teknologi, bukan teknologinya yang salah. Iya tapi kolot yang anda maksud, kolot dalam pengertian apa? Teknologi ditolak karena dianggap benda baru yang takkan berhasil menggantikan benda-benda yang telah lebih dulu ada, pandangan demikian juga bisa disebut kolot. Teknologi tak digubris lantaran menganggap terobosan teknologi tidak kompatibel dengan penyelenggaraan kekuasaan yang ada, pandangan demikian juga bisa disebut kolot. Mana pengertian kolot yang ingin kita gunakan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ada sebuah kisah dari seorang sahabat saya asal Bojonegoro, kendati sudah ada beberapa terobosan alat canggih IT yang telah dibakukan menjadi penunjang aktivitas birokrasi pemerintah daerah, belakangan di Bojonegoro sistem birokrasinya masih mempertahankan cara-cara manual. Sarjana Sosiologi itu ceritanya ingin mendaftarkan diri sebagai petugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk Pilgub Jawa Timur di kecamatannya, namun prosedur untuk mendaftarkan diri harus menyempatkan untuk datang langsung ke kantor KPU Bojonegoro. Saya bingung, apakah tidak ada sistem pendaftaran online sebagaimana yang dilakukan di Sidoarjo dan Gresik, ternyata Bojonegoro masih berbasis manual. “Bojonegoro masih manual, bro? Jangan khawatir.” Saya tertawa dan dia tertawa.

Tentang teknologi yang diasumsikan menggejala sebagai salah satu komponen penunjang kehidupan, sepertinya salah sangka pikiran tersebut untuk membaca masyarakat Indonesia. Sepertinya kita butuh riset yang terus menerus menggali bagaimana sosiologis masyarakat tentang pemanfaatan teknologi. Termasuk mendeteksi perubahan karakteristik psikis masyarakat dengan datangnya digital culture beberapa dekade yang akan datang. Kita hanya membaca, menafsirkan dan memutuskan.

Masuk kepada sebuah sub tema yang dibawakan oleh pembicara Herman Tolle, berjudul “Hoax, Sosial Media, dan Kepercayaan Publik” pembicara hanya beberapa menit saja diberi kesempatan untuk menyampaikan sub pembahasan dalam forum Rembuk Nasional 2017 ini. Hanya sub pembahasan dan ini yang menyita perhatian saya tentang silang-sengkarut perkembangan infrastruktur dan pemanfaatan suprastruktur teknologi di era digital culture. Sebuah poin penting yang baru saya dengar dan cukup segar, kendati ini poin lama dalam sejarah, yang bermacam macam istilah untuk menamainya, bahwa ditengah-tengah arus informasi yang begitu terbuka, mudah, dan beragam ada sebuah kemungkinan negatif dari teknologi informasi yang mencakup media-media yang berkembang cenderung menciptakan suatu bentuk pola fikir yang mempengaruhi dinamika psikologis individu untuk menjadi tidak lagi begitu percaya dan berorientasi untuk mencari kebenaran. Yang dimaksud tidak lagi mencari kebenaran, mungkin dapat dipahami sebagai bentuk kebenaran yang diinginkan oleh individu tidaklah sama dengan pengertian yang kita kenal, tentang kebenaran yang biasanya bersifat subjektif dan mengimbulkan nuansa positif dalam diri seperti kebahagiaan. Kini kebenaran memiliki ukuran-ukuran yang mengikuti bentuk perilaku dan kebiasaan masyarakat era teknologi. Dalam memanfaatakan media teknologi informasi, individu memiliki ukuran-ukuran tertentu yang sifatnya ultra subjektif yakni akan menganggap sebuah informasi menjadi suatu bentuk kebenaran jika diikuti dengan afirmasi, konfirmasi dan dukungan yang bersifat kuantitatif dibelakangnya. Artinya masyarakat akan menganggap kebenaran itu jika menampilkan jumlah yang banyak secara kuantitas. Kecenderungan semacam ini juga dipengaruhi psikologi budaya bahwa masyarakat kita gemar sekali dengan cara hidup komunalitas sebagai karakteristik hidup masyarakat budaya timur, yang berbeda dengan cara hidup masyarakat barat yang cenderung individu. Tentu tidak ada yang salah dengan karakteristik kebudayaan semacam ini, yang memang khas dari cara hidup kita. Namun perlu diketahui karakteristik hidup dengan budaya komunalitas itu, kini menakar menjadi karakteristik individu ketika memanfaatkan media komunikasi bahwa ukuran benar dan kebenaran adalah ketika yang mengafirmasi gagasan, ide dan pemikiran yang kita unggah dimedia, mendapat respon, like, jempol, dan disenangi banyak orang. Itulah yang disebut dengan era post-truth.

Herman Tolle menandaskan ini sebagai suatu bentuk kenicayaan baru bahwa masyarakat pengguna media yang telah terpapar dampak negatif darinya seperti berita hoax, hate speech dan provokasi isu Sara, mengalami perubahan mendasar pula dalam sistem pemaknaan tentang kebenaran. Di afirmasi oleh pembicara dari Kominfo pusat bahwa kecenderungan itu berbentuk pada kegemaran individu untuk meluapkan apa yang menjadi kegeraman batiniah kepada orang lain. Melalui media, kegeraman itu menjadi nyata bahwa ada suatu bentuk rasa butuh, kebutuhan yang bersifat pasti, untuk disepakati dan diafirmasi oleh orang lain. Herman Tolle menandaskan ini seakan masyarakat tidak lagi mempercayai kebenaran sebagai suatu kebutuhan untuk dihadirkan dalam hidup. Tentu ini rumit, kita menerangkan bahwa kebenaran itu apa, dan bagaimana bentuk kebenaran bagi masyarakat umum saat ini, jelas akan menjadi rumit. Tapi kebenaran betapapun itu rumit untuk dijabarkan, manusia tetap butuh akan kebenaran yang objektif sekaligus menenangkan benak batinnya.

Masyarakat betapun itu rumitnya, sebagaimana penjabaran Herman Tolle, diera teknologi dalam memaknai kebenaran. Bagi saya, tetap saja butuh kebenaran yang baginya bisa berarti objektif maupun yang berarti subjektif. Terlepas dari beberapa indikator tentang kebenaran seperti kebahagiaan, kesenangan, dan lain sebagainya. Bentuk kebenaran masyarakat di era post-truth adalah lain, yakni benar yang diyakini dan disepakati oleh banyak orang secara kuantitas. Tapi tetap esensinya kebenaran adalah apa yang pada akhirnya berbuah kebaikan dan terhindar dari kemudharatan. Kita dapat menyebut ini sebagai suatu bentuk kelumrahan, karakteristik untuk merumuskan kebenaran yang dilihat dari jumlah yang mengamini dan meyakni secara kuantitas, pun sama dengan bagaimana ilmu pengetahuan itu bisa muncul. Sejarah manusia berkisah jika ilmu pengetahuan itu bisa muncul dan diyakini menjadi ilmu pengetahuan, salah satunya, adalah dilegitimasi dan diyakini oleh jumlah orang yang begitu banyak. Ini yang disebut ilmu pengetahuan bisa saja bersifat otoritatif, atau berlaku bagi kalangan yang mengamininya. Jika pada suatu populasi masyarakat meyakini sebuah pikiran bahwa tanaman anggur adalah sumber keselamatan dan kesehatan bagi masyarakat. Entah tanaman itu bakal diapakan, yang jelas keyakinan itu tumbuh dan diamini oleh sebanyak orang di populasi masyarakat pemukiman tersebut, tanaman anggur akan dianggap sebagai tanaman obat yang mampu menyembuhkan dan menyelamatkan seseorang.

Era post-truth sebagai istilah yang menamai realitas masyarakat di tengah silang-sengkarut kebahagian hidup bersama teknologi dan kenestapaan yang ditimbulkannya, sangat membantu kita untuk menandai sebuah realitas yang sulit untuk ditangkap indera dan menjadi rumit jika hendak dipikirkan.

Tidak lepas dari percakapan kita tentang teknologi informasi yang membuahkan media-media apapun itu bentuknya, yang kini kasusnya, tengah berak dengan bentuk informasi hoax, hate speech, provokasi isu Sara dan lain sebagainya. Telah kita rumuskan diawal tentang apa itu hoax yang ternyata sebuah istilah yang tak pernah ada untuk benar-benar menamai realitas sosial yang bermasalah. Sebagai informasi yang keliru, istilah hoax terlalu naif untuk disematkan, tapi sebagai informasi bohong hoax adalah penghinaan terhadap pikiran. Kita, sepertinya harus menempatkan pengertian hoax sebagai informasi bohong karena hanya dengan cara itu kita bisa terlepas darinya, pikiran yang sadar bahwa hoax itu informasi bohong adalah cerminan pikiran kritis yang dibangun dalam suasana yang letih akan hegemoni kekuasan. Penghinaan pikiran itu ternyata dari dulu telah ada, namanya lain, namun tetap menjelaskan sifat yang sama. Hoax kini hidup di era post-truth dengan corak kepentingan yang sama, tak membedakan dari hoax yang pernah terjadi dalam sejarah peradaban manusia. Tentu disini kita ingin meyakinkan bahwa istilah post-truth yang hendak menamai dinamika dan kompleksitas kehidupan manusia yang berdampingan dengan teknologi, bukan hanya untuk yang hidup di hari ini. Istilah post-truth sebenarnya adalah gejala yang senantiasa ada di setiap zaman dalam bingkai sejarah kita tahu itu. Namun sejarah, beberapa mengisahkan, bagaimana era post-truth menghasilkan pertumpahan darah anak manusia dan pembumihangusan sejarah-sejarah umat manusia.

Kita sebut sebagai post-truth tengah tumbuh begitu baik dalam rahim fasis, ditahun 1930 hingga 1945, Nazi menganggap bahwa ras Aria sebagai ras unggul, yang oleh karenanya harus muncul tanpa tersaingi oleh ras lain, yakni Yahudi. Enam juta korban jiwa jatuh selama Nazi sebagai Reichtag ketiga berkuasa di Jerman. Di Banyuwangi tahun 1998 terjadi pembantaian orang-orang yang diklaim sebagai dukun santet, yang ternyata beberapa diantara ketika diidentifikasi adalah sebagai guru ngaji, ulama kampung dan para tabib penyembuh penyakit, dengan total jumlah 200 korban jiwa versi komnas HAM. Juni 2015 sebuah teror terhadap jemaah gereja kulit hitam Emanuel African Methodis Episcopal Chruch menelan korban sebanyak 9 orang. Era post-truth di tahun 2017 adalah garis tebal baru tentang era lama post-truth yang lebih dulu ada.

Herman Tolle mempercakapkan tentang era post-truth yang menjadi fenomena kekinian di tahun 2017 dengan menitikberatkan pada bagaimana media sosial bekerja memproduksi hoax yang dimanfaatkan oleh beberapa kelompok orang ataupun oknum, beserta bagaimana cara mendeteksi dan menangkalnya. Hoax ternyata menjadi begitu berbahaya untuk mempengaruhi opini seseorang untuk bertindak sebagaimana opini yang ia pahami berbicara. Menggunakan Social Network Analysis (SNA) Tolle menjelaskan bahwa pemetaan terhadap realitas antar orang, topik, lokasi dan entitas informasi dapat dilakukan. SNA berfungsi untuk melihat topik dan pembahasan percakapan publik pengguna media sosial. Twitter menjadi salah satu media sosial yang masih dapat ditangkap oleh SNA karena masih menyediakan fasilitas search ke seluruh status atau twit yang dimiliki pengguna akun. Yang artinya, berdasarkan pola virality dan resonansi antar platform media sosial, pengguna twitter dapat digunakan sebagai proxy untuk mengetahui apa yang sedang dipercakapkan dan apa yang sedang terjadi. Dan sangat berbeda dengan facebook atau instagram yang hanya menyediakan akses terhadap public page saja. Dan sangat sulit untuk WhatsApp dan aplikasi messaging yang ternyata benar-benar tidak dapat ditangkap percakapan didalamnya.

Tolle dalam diskusinya, memasukkan analisis dari salah seorang Direktur Penelitian National Security Agency (NSA), semacam badan intelijennya Amerika Serikat, bernama Deborah Frincke. Yang mengutarakan jika media sosial dapat merekayasa sebuah isu menjadi kenyataan bahkan dalam kondisi tertentu dapat berbuah kebijakan publik. Tentu diskusi ini yang menjadi percakapan inti kita diawal bahwa hoax sebagai informasi bohong yang diedarkan menggunakan teknologi informasi seperti media massa, media online dan media sosial, menjadi jelas sekarang. Hoax dan silang-sengkarut informasi bohong ternyata diproduksi oleh alat itu sendiri.

Media massa, media online, dan media sosial, bagi saya adalah cerminan lain dari kaum Sophis yang sempat hidup di abad ke-5 Sebelum Masehi (SM) tepatnya disebuah kabupaten kota bernama Athena. Ada sebuah kecamatan kecil bernama Khalsedonia, seorang Sophis bernama Thrasymakhos, mengedarkan sebuah tesis sederhana bahwa keadilan adalah keuntungan bagi orang-orang kuat. Tesis ini sebenarnya menjelaskan tentang karakteristik seorang Sophis yang diklaim sebagai guru intelektual sekaligus guru spiritual bagi masyarakat Athena yang digugu lan ditiru, hanya saja tidak berpihak pada kebijaksanaan. Jadi jelas jika kaum Sophis adalah mereka yang dianggap guru yang tak berpihak ada kebijaksanaan. Lantas berpihak pada apa? Yakni uang, kekuasaan dan kemenangan. Asalkan ketiga komponen dasar itu diraihnya kadar ke-sophis-an seorang guru Sophis makin memuncak. Rumus kebijaksanaan bagi guru Sophis sama dengan mereka yang tukang batu, tukang becak, tukang semir sepatu, dan tukang tambal ban, yakni sebuah pekerjaan yang menunggu pesanan dan panggilan. Kebijaksanaan tidak lebih rendah dari mereka yang sebatas menginginkan uang, dengan menghalalkan berbagai macam cara.

Kembali pada tesis Thrasymakhos, tentang keadilan adalah keuntungan bagi mereka yang kuat. Sebenarnya dilandasi oleh semangat pengetahuan yang dirumuskan kaum Sophis bahwa adil atau keadilan merupakan kepentingan dari mereka yang memiliki kekuatan. Konsep adil yang dirawat oleh mereka yang kuat, pada akhirnya dibakukan menjadi sebuah narasi hukum yang disepakati oleh banyak orang. Mereka yang kuat, setelah traktat hukum dibakukan untuk mengunci rumusan keadilan, maka mereka yang kuat bisa disebut sebagai penguasa. Mengapa keadilan harus dirumuskan menjadi begitu baku untuk ditulis menjadi hukum? Atas dasar keuntungan, mereka yang berkuasa tidak akan berhenti untuk memperolehnya. 

Sepertinya era post-truth yang menghasilkan hoax dengan berbagai macam kadar, yang muncul dari mulut media massa, media online dan media sosial adalah wajah baru dari kaum Sophis di zaman Yunani Kuno. Hari ini yang kita sebut sebagai Sophis adalah media (yang mendukung), dan mereka yang menjadi korporasi atau oknum yang memanfaatkan media adalah penguasa, bisa diartikan pemerintah, oknum pejabat atau korporasi (sebagai yang didukung). Media (apapun bentuknya) dalam lapangan politik kepentingan akan senantiasa mendukung mereka yang kuat, bagaimanapun caranya, selama menghasilkan uang, keuntungan dan kekuasaan, media akan mengupayakannya. Media menjelam bak seorang advokat, tanpa moralitas akan mengupayakan kliennya yang berhadapan dengan hukum selamat, menang dan terbebas dari tuntutan. Media menjelma bak juru bicara yang melegitimasi segala bentuk ucapan bagi siapa yang menjadi tuannya. Asalkan media memperoleh kemenangan, keuntungan materiil dan kekuasaan, dengan berbagai macam siasat akan dilakukannya. Tunggu dulu, lalu siapa yang sedang dibela dan diupayakan menang oleh The Sophis of Cyberspace, bernama media. Yakni pemodal, korporasi, penguasa dan elit politik. Keadilan dan hukum yang diedarkan dari pikiran penguasa modal dan elit politik pemerintah, melalui media (apapun bentuknya) bertujuan untuk kepentingan dan keuntungan dari dirinya sendiri. 

Segala tata kelola keadilan dikehidupan berpolitik dan bernegara kita, jika menggunakan paradigma yang Thrasymakhos kemukakan, sebenarnya tidak mengarah pada kebijaksanaan yang kita amieni bersama sebagai hal ikhwal untuk mencapai kebaikan bersama. Kebijaksaanaan yang ada dalam silang-sengkarut cyberspace kualitasnya sama seperti keadilan dimana kaum Sophis pernah hidup di Athena abad ke 5 SM. Keadilan didalam rumus kebijaksanaan adalah utopis dan profane, bagi mereka yang mengedarkan, akan menjadi suatu keniscayaan baru untuk meraup untung dan kemenangan, tapi bagi mereka yang berani menempatkan diri pada kemungkinan terburuk dari keadilan, yakni ketidakadilan, semacam ada selubung tebal yang tak nampak dari mereka yang kuat untuk tetap memelihara sumber kekuatannya itu. Kita tak akan pernah lupa bagaimana penguasa modal dan elit politik pemerintahan menggunakan media massa kepunyaannya untuk membela habis-habisan seorang mantan Menteri Badan Usaha Milik Negera (BUMN) di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Media massa terbesar di Jawa Timur, tak pernah berhenti mengedarkan ide bahwa persidangan yang menyeret nama Dahlan Iskan sebagai kekeliruan total terhadap seorang elit pemerintah yang berjasa membangun negara. Hal itu menunjukkan bahwa kaum Sophis baru adalah media. Dan, penguasa modal dan elit politik pemerintahan adalah yang memiliki kekuatan untuk kaum Sophis bela.

Bagaimana media akan mencitrakan seorang pemodalnya untuk mendapatkan identitas sosial yang diinginkan dari pikiran masyarakat. Media menyuntikkan sebuah ide agar tertanam sebuah bangunan persepsi tentang mereka yang menjadi objek pencitraan. Koran, majalah, media online, dan grub-grub meda sosial menggunakan kata-kata dan bahasa untuk menyampaikan, menciptakan, dan membongkar keadaan masyarakat, untuk berorientasi secara moril dan materiil mendukung kepentingan dari penguasa modal dan elit politik pemerintahan. Dan cara-cara demikianpun sama sebagaimana metode retoris dari kaum Sophis dulu sering menggunakannya. Tidak ada yang objektif, juga tidak ada yang disebut benar, dari sebuah kenampakkan realitas ketika bahasa dan kata-kata telah mengenainya. Kaum Sophis dulu, tak pernah peduli tentang objektifitasan yang bermuara pada kearifan hidup dan kebijaksanaan. Selama tak menghasilkan uang, kekuasaan, atau kemenangan, istilah objektif, kearifan hidup dan kebijaksanaan adalah nihil omong-kosong belaka. Di era post-truth; hoax, hate speech, provokasi isu-isu Sara adalah tema-tema besar retorika dari kaum Sophis Cyberspace di zaman sekarang, yakni media. Melalui kata-kata, kalimat-kalimat, riset-riset, gambar-gambar, foto-foto, video-video, slogan-slogan dan segala macamnya menyajikan realitas yang berbeda dari kenampakan realitas itu sendiri. Padahal sejarah ilmu pengetahuan selama ini telah menyadarkan kita bahwa realitas selamanya mustahil kita tangkap secara mirip sebagaimana realitas itu sendiri menampakkan diri. Artinya, kita sebenarnya menghadapi kesulitan yang sudah pasti hasil ada selama berupaya untuk memaknai realitas hidup. Justru menjadi keruh dengan keadaan era post-truth saat ini yang semakin membuyarkan ikhtiar kita yang sama sekali tak pernah pasti akan sampai mana ujungnya. Dan Problemnya tetap sama, kendati sekian ratus abad berjalan, kebijaksanaan dan keobjektifitasan menjadi relatif sifatnya.

Semacam ada sebuah sindrom pleonaktik, Thrasymakhos menyebut demikian, yang mempengaruhi mentalitas psikis penguasa modal dan elit politik, yang mengupayakan untuk mencari untung apapun itu, dalam ukuran subjektifnya, selama itu mengenakkan, dengan jumlahnya yang tak terbatas. Kegairahan itu menjadi beringas ketika media, alat pendulang keuntungan sekaligus pemuas hasrat pleonaktik.

Karakteristik penguasa modal dan elit politik pemerintahan yang sedemikian nyinyirnya menandakan jika percakapan kita tentang hoax di era post-truth ini menggarisbawahi bahwa pembuat hoax terbaik adalah pemerintah. Mengapa? Karena pemerintah memiliki badan intelijen, badan statistik, media, militer dan segala bentuk perangkat software dan hardware untuk berbohong. Kita memahami bahwa media (dengan asumsi dasar pendukung politik kepentingan) menggunakan istilah hoax untuk menghukum, memukul dan membungkam mereka yang berseberangan dengan negara. Jika kita sadur dalam konteks media sebagai sophisme di era cyberspace, pemerintah menggunakan segenap alat-alat negara untuk menghimpun informasi dalam rangka berbohong.

Bagaimana cara pemerintah berbohong? Gampang. Akan muncul data-data entah bersifat kuantitatif maupun kualitatif yang dimunculkan dengan legalitas khusus dan resmi dari pemeritah, kendati data itu tidak pernah ada. Informasi yang berisikan data, fakta, realitas tentu saja akan dikemas semenarik mungkin agar terkesan sebagai asli dan valid, bukan sebagai hoax karena buktinya ada, entah berupa angka statistik atau semacamnya. Dan kita sebagai masyarakat tidak boleh mengkritisi, karena memang data tersebut sengaja dibuat atas dasar politik kepentingan.

Kalau anda hanya memahami hoax sebagai sebuah informasi yang tanpa data, anda salah besar. Justru hoax itu tercipta melalui data. Mendeteksi hoax hanya sebatas bertanya apakah datanya ada?  Atau bertanya, apakah data itu valid dan realiabel sesuai dengan ketentuan yang dirumuskan pemerintah, maka anda keliru. Disinilah status ontologi sebenarnya tentang hoax sebagai informasi bohong. Jika memahami Hoax sebagai informasi yang bersumber dari data-data bohong yang tidak pernah ada dan hanya dibuat-buat, publik yang kritis akan menolak itu sebagai bentuk interpretasi data yang bersumber dari mereka yang berniat bohong. Kita hanya butuh sifat kritis untuk tak serta merta percaya. Karena sedikit saja kita mengiyakan ide yang mereka edarkan, sebenarnya disaat itulah kita telah tertipu olehnya. Bayangkan informasi hoax ternyata tidak perlu repot-repot melalui media teknologi informasi bisa terjadi. Pikiran kita saja, jika kita tak pernah waspada, kita telah menjadi korban kebodohan yang sistemik.

Jika anda pernah ketahuan berbohong, pada kesempatan yang lain orang punya hak untuk tidak mempercayai anda kendati itu bermuatan fakta dan kebenaran. Bagimana kalau logikanya kita balik, agar niat saya (yang sebenarnya berbohong) ini tidak diketahui oleh orang lain, mengingat saya masih punya kepentingan yang harus saya capai, dan saya tidak ingin orang lain tahu tentang kepentingan ini, maka saya akan membungkusnya dengan tampilan yang seolah-olah benar dan nampak asli, selama kepentingan saya tercapai. Melalui konsep dasar tentang kebohongan saja kita dapat menguji dan memprediksi hoax itu bersumber dari siapa.

Tertipu atau tidak, sebenarnya itu pilihan. Hanya dengan berfikir kritis kita akan terhindar dari kemungkinan terburuk yang tentunya sangat merugikan. Filsafat Thrasymakhos akan dipahami sebagai naturalisme bagi mereka yang berkuasa. Karena konsep keadilan hanya berlaku bagi yang yang berkuasa dan nampak lazim sebagaimana biasanya hidup sehari-hari. Bagaimana dengan yang lemah?

Glaukon menawarkan tesis yang berbeda dari Thrasymakhos tentang keadilan, sama-sama hidup di era sophisme, tapi ia menolak pandangan semula tentang keadilan yang berpihak pada yang kuat. Justru keadilan itu diselenggarakan untuk mereka yang lemah. Hanya dengan begitu si lemah menempati kedudukan yang setara dimata mereka yang menganggap kesetaraan tidak pernah ada. Si lemah dalam pandangan Thrasymakhos adalah mereka yang dizalimi atau mereka yang merasakan ketidakadilan. Karena berada dalam posisi tidak adil terasa begitu tidak menyenangkan dan membuat parameter kehidupan kacau. Si lemah butuh keadilan untuk menyelamatkan dirinya dari ketidakadilan yang menyebabkan ketertindasan hidup ditengah masyarakat.

Hoax yang berasal dari berita bohong adalah ketidakadilan yang sedang dilancarkan oleh mereka yang kuat. Mereka yang lemat butuh garis batas yang menentukan nasibnya untuk tidak melulu ditindas oleh mereka yang kuat yang lebih dahulu merumuskan keadilan. Si lemah butuh rumusan baru tentang keadilan agar hoax yang berisikan informasi bohong secara otoritatif dapat si lemah pilih untuk mau menerimanya atau menolaknya. Mereka yang digebuk oleh negara karena berbeda dalam pemakanaan Pancasila dan nasionalisme, merupakan bentuk lain dari ketidakadilan yang diciptakan oleh filsafat Thrasymakhos. Negara menganggap doktrinasi Pancasila dan nasionalisme menjadi logis untuk diterapkan pada masyarakat, yang pada akhirnya membuahkan perilaku memukul dan menghalangi mereka yang berbeda, itu semua merupakan kenyataan tentang pemerintah sebagai pembuat hoax terbaik yang pernah ada.

Ikuti tulisan menarik Luhur Pambudi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu