SDGs: Menyisipkan Agenda Liberalisasi Sektor Pangan dengan Isu Kelaparan

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sikap kritis terhadap kebijakan-kebijakan dan agenda-agenda dunia penting dilakukan, terutama menyangkut kepentingan dan keberpihakan terhadap petani kecil. Jangan sampai kita kecolongan terkait kebijakan kontra-produktif yang disisipkan. Terutama SDGs

Tahun 2015 menjadi akhir dan awal dari babak baru agenda pembangunan dunia, dengan datangnya tahun 2015 menjadi akhir dari Tujuan Milennium Development Goals (MDGs) ‘Pembangunan Milenium’  dan September 2015 juga menjadi awal baru agenda pembangunan dunia oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yaitu Suistanable Development Goals (SDGs) ‘Tujuan Pembangunan Berkelanjutan’. Walaupun, lebih tepatnya menyempurnakan bukan menggantikan. Dalam SDGs, Isu kelaparan merupakan salah satu dari 17 tujuan yang ingin dicapai oleh negara-negara di PBB, yaitu No Hunger  ‘Tanpa Kelaparan’. Jika berbicara tentang kelaparan pasti banyak juga berbicara masalah kedaulatan pangan dan pertanian. Namun, alih-alih menghilangkan kelaparan di dunia sangat dimungkinkan negara-negara kaya yang mempunyai kepentingan disalah satu badan di PBB, yaitu World Trade Organization (WTO) menyisipkan agenda liberalisasi sektor pangan dunia. Hal ini bisa terlihat dari beberapa target yang dipasang oleh PBB dalam  Tujuan ke-2 SDGs No Hunger salah satunya “Memperbaiki dan mencegah pembatasan dan distorsi dalam pasar pertanian dunia, termasuk melalui penghapusan secara bersamaan segala bentuk subsidi ekspor pertanian dan semua tindakan ekspor dengan efek setara, sesuai dengan amanat The Doha Development Round”.

Alih-alih memperbaiki dan mencegah pembatasan dan distorsi pasar pertanian dunia dengan mendorong pembukaan perdagangan melalui penghapusan  yang mereka ‘WTO’ sebut sebagai hambatan perdagangan,  justru bisa merugikan petani di negara-negara miskin dan negara-negara berkembang khususnya Indonesia. Dengan tidak adanya batas yang jelas, hal ini justru menyebabkan Indonesia akan dibanjiri produk-produk impor kalau tidak dibatasi. hal akan mencekik petani Indonesia yang sudah berada di ambang garis kemiskinan, dan menyebabkan Nilai Tukar Petani (NTP) terus menurun. Berdasarkan Statistik Nilai Tukar Petani, BPS tahun 2016. Dari 105.24 (2013) menurun menjadi 101.59 (2016),  jika NTP terus menurun sangat dimungkinkan untuk petani malas bertani dan memilih menjual lahannya untuk modal usaha lain yang lebih menjanjikan, jika petani malas bertani bahkan memutuskan berhenti serta menjual lahannya untuk beralih ke usaha lain, apakah mungkin akan terciptanya ketahanan pangan untuk mendorong pemberantasan kelaparan sesuai dengan tujuan SDGs ke-2. Justru yang dibentuk oleh negara-negara maju, yang mempunyai kepentingan di WTO melalui agenda SDGs, yaitu dengan menciptakan bebas kelaparan dengan membeli produk-produk pertanian yang dijual negara-negara maju kepada negara-negara miskin dan berkembang degan dalih pemenuhan kebutuhan pangan nasional, yang justru berefek pada ketergantungan impor produk pertanian. Dengan tujuan utama membuat lesu bahkan mematikan usaha tani di negara-negara miskin dan berkembang khususnya Indonesia. Dan justru PBB 'WTO' itu sendirilah yang menciptakan dan memperburuk distorsi pasar, bukan memperbaiki. Apalagi berbicara jauh tentang amanat The Doha Development Round  ‘Putaran Pembangunan Doha’, justru semenjak diluncurkan pada tahun 2001 di Doha, Qatar, Banyak berbagai perjanjian di dalam negosiasi WTO selalu tidak menemui titik temu.  Pertemuan-pertemuan tingkat Menteri pun terus dilakukan, pertemuan berikutnya berlangsung di Cancun Mexico (2003),  dan Hongkong (2005) dan pada tahun 2006, perundingan WTO terhenti karena Amerika Serikat menolak untuk memotong subsidi ke tingkat dimana ekspor non-subsidi negara lain akan kompetitif, dimana subsidi akan mengakibatkan proses yang dikenal sebagai “Pembuangan Internasional” dimana petani bersubsidi dapat “membuang” barang pertanian berbiaya rendah ke pasar luar negeri dengan biaya yang tidak dapat disaingi oleh petani yang tidak bersubsidi. Dan ini lah yang selalu menjadi sandungan dalam negosiasi perdagangan di WTO. Dari subsidi pertanian ini dapat mendorong harga pangan lebih murah. Jelas, konsumen akan membeli barang yang lebih murah dan ini manfaat bagi konsumen, tetapi petani di negara-negara miskin dan berkembang yang tidak bersubsidi akan sulit bersaing dipasar dunia dan dampaknya terhadap kemiskinan sangat negatif apabila subsidi diberikan untuk tanaman pangan yang juga ditanam di negara-negara miskin dan berkembang. Pada akhirnya petani di negara-negara miskin dan berkembang harus bersaing keras dengan petani di negara-negara maju yang disubsidi. Hal ini bisa dilihat dari kasus impor beras antara Haiti dan Amerika Serikat. Haiti adalah negara swasembada beras dengan kapasitas tinggi menghasilkan beras yang mampu memenuhi kebutuhan negaranya. Namun, Saat ini Haiti tidak dapat menghasilkan cukup untuk memberi makan penduduknya. Bayangkan, 60 persen makanan yang dikonsumsi di Haiti merupakan impor. Hal ini dampak dari Haiti mengikuti saran untuk meliberalisasi ekonomi negaranya dengan menurunkan tarif, beras hasil produksi di dalam negeri digantikan oleh beras bersubsidi lebih murah dari Amerika Serikat. Hal ini yang lebih ditakutkan daripada hanya sekedar subsidi ekspor. Namun Pada akhirnya perundingan terkait pembangunan Doha terhenti setelah pecahnya perundingan juli 2008 di Jenewa tentang ketidaksepemahaman mengenai pertanian tarif industri dan hambatan layanan, dan pemulihan non-tarif, dan menyebabkan ketidak pastian terhadap masa depan pembangunan Doha.

Lalu, apakah Indonesia mau seperti Haiti, seperti halnya Indonesia yang memiliki garis pantai terpanjang dunia tetapi melakukan impor garam, itu sangat lucu. Ibaratnya, jika mau sebagian besar daerah Indonesia yang berupa laut bisa diubah jadi garam. SDGs, alih-alih menghilangkan kelaparan di dunia malah lebih mendorong  negara-negara berkembang seperti Indonesia dan negara-negara miskin untuk menjadi pembeli makanan yang bergantung dari negara-negara kaya yang punya kepentingan kuat dalam WTO. Jika Amerika Serikat saja bisa menolak dalam negosiasi-negoasiasi putaran Doha di WTO, mengapa Indonesia tidak bisa, demi melindungi kepentingan petani di Indonesia. Pastinya banyak negara-negara miskin dan berkembang yang juga keberatan. Kita harus ingat sejarah Konferensi Asia Afrika (KAA) bahwa Indonesia mempunyai peran penting di dunia Internasional. Oleh karena itu Indonesia harus bisa jadi inisiator dan wadah untuk mengumpulkan suara untuk menentang kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada kepentingan petani. Sebab kelaparan tidak akan hilang jika sektor pangan masih diliberalisasi dan petani masih terjajah.

 

 

 

Sumber:

Presiden Republik Indonesia (2017). Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 Tentang Pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. Jakarta. Diunduh pada 30 Oktober 2017

Tim Penyusun TPB (2017). Pedoman Penyusunan Rencana Aksi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB)/Suistanable Developmen Goals (SDGs). Kementerian Perencanaan Pembangunan; ISBN:978-602-1154-77-9. Jakarta. Diunduh pada 30 Oktober 2017

Tim Penyusun TPB (2017). Ringkasan Metadata Indikator Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB)/Suistanable Developmen Goals (SDGs). Kementerian Perencanaan Pembangunan; ISBN:978-602-1154-79-3. Jakarta. Diunduh pada 30 Oktober 2017

Indonesia for Global Justice. Kalah di WTO Lawan AS Dan Selandia Baru Petani Indonesia Terancam Semakin Miskin (Artikel). IGJ Official Website. Diakses pada 26 November 2017.

Indonesia for Global Justice. Fokus Pemantauan | WTO (Laman). IGJ Official Website. Diakses pada 26 November 2017.

Badan Pusat Statistik. 2016. Statistik Nila Tukar Petani 2016 (PDF). Katalog: 7102019; ISSN: 1829-8834. Diunduh pada 26 November 2017.

Cassel, Andrew (6 Mei 2002). Why U.S. Farm Subsidies Are Bad for the World (Arsip). The Philadelpia Inquirer. Diakses pada 27 November 2017.

Patel, Raj (2007). Stuffed and Starfed (Laman). UK: Potobello Books, p. 57.

La Vina, Antonio, et al (Januari 2007). Agricultural Subsidies, Poverty and the Environment: Supporting A Domestic Reform Agenda in Development Countries (PDF). World Resource Institute Policy Note. Diunduh pada 27 November 2017

Agriculture Subsidies in the WTO Green Box: Ensuring Coherence with Sustainable Development Goals (PDF). Information note Number 16, September 2019 - Wayback Machine., ICTSD

E. Hanrahan, Charles. (3 Mei 2005). Agriculture in the WTO Doha Round: The Frame Work Agreement and Next Steps (PDF). Congressional Research Services. Diunduh pada 26 November 2017.

E. Hanrahan, Charles; Randy Schnepf (22 Januari 2007). WTO Doha Round: The Agricultural Negotiations (PDF). Congressional Research Service. Diunduh pada 26 November 2017.

BBC News (29 Juli 2008). World TradeTalkes end in Collapes (Laman). BBC News. Diakses pada 27 November 2017.

World Trade Organization. Document from the Negotiating Chairs, 21 April 2011 (Laman). World Trade Organization Official Website. Diakses pada 27 November 2017.

Panangariya, Arvin (Desember 2005). Liberalizing Agriculture (Print). Foreign Affairs. Diakses pada 27 November 2017.

Weisbrot, Maerk (22 November 2005). World Bank Claims on WTO Doha Round Clarified Banks Research Shows Little At Stake in Hong Kong Ministerial Eliminating Rich Countries Agricultural Subsidies Would Be A Net Loss for Developing Countries (Arsip). Press Release; Center for Economic and Policy Research. Diakses pada 27 November 2017.

Alan Beattie, Frances Williams (24 Juli 2006). US Blamed as Trade Talks end in Acrimony (Laman). Finacial Times. Diakses pada 27 November 2017.

 Foto : Dari berbagai sumber

 

Catatan:

Dokumen Terkait SDGs dapat diunduh melalui http://sdgsindonesia.or.id/ jika kesulitan bisa hubungi saya melalui [email protected]

#LokalAtauImpor

Bagikan Artikel Ini
img-content
Muhamad Firmansyah

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler