Mahkamah Konstitusi (MK), telah mengeluarkan keputusannya. Permohonan Judicial Review pasal perzinahan dan LGBT yang diajukan oleh AILA kandas sudah. Dari 9 orang hakim, 4 diantaranya menyetujui, dan 5 orang menolak dengan alasan membuat undang-undang adalah kewenangan DPR. Tentu saja keputusan tersebut membuat kecewa banyak pihak. Terutama pihak-pihak yang mempunyai kepedulian menjaga moral anak bangsa. Pasalnya undang-undang yang diharapkan menjadi penjaga gawang dari kerusakan tak bisa diwujudkan.
Tak dapat dipungkiri, bahwa dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara perlu adanya aturan yang dikukuhkan menjadi undang-undang atau peraturan perundangan lainnya yang mengikat bagi seluruh warganya tidak terkecuali. Undang-undang atau peraturan perundangan ini ibarat penjaga gawang dari terjadinya kejahatan, penyimpangan dan kerusakan. Oleh karenanya harus ada pijakan yang kuat dan mempunyai nilai kebenaran yang "mutlak" dalam perumusan dan penyusunannya agar tak mudah dibelokkan karena sebuah kepentingan. Undang-undang semacam ini tidak mungkin dihasilkan dari akal manusia apalagi yang didasarkan pada suara terbanyak. Karena suara terbanyak tidak menjamin sampainya pada kebenaran.
Dalam demokrasi, musyawarah adalah instrumen terpenting dalam mengambil keputusan untuk semua persoalan termasuk hukum. Jikalau tidak ada kata sepakat, maka proses dilanjutkan dengan pemungutan suara. Maka pendapat yang didukung suara terbanyak itulah yang menentukan untuk diterima atau ditolaknya suatu rancangan undang-undang tanpa mempertimbangkan baik-buruk, halal-haram ataupun dampak buruk yang akan terjadi bagi masyarakat.
Tentu cara seperti ini membahayakan hukum itu sendiri. Karena sangat mudah ditunggangi berbagai kepentingan misalnya melalui money politic.
Bila sudah demikian, kebenaran dan kebaikan seperti apa yang dapat dihasilkan dari sistem demokrasi? Tidakkah kita menginginkan kebenaran hakiki yang dapat mengayomi semua pihak?
Ikuti tulisan menarik Susilawati Nadya lainnya di sini.