x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Hangatnya Pilkada dan Pragmatisme Parpol

Dinamika Pilkada 2018 memperkuat kesan bahwa partai-partai politik cenderung bersikap pragmatis dalam berkompetisi memperebutkan posisi kepala daerah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Tahun Politik yang segera tiba sudah memperlihatkan tanda-tanda dinamikanya. Beberapa perwira tinggi TNI dan Polri yang masih dalam status aktif sudah menyatakan niatnya untuk terjun ke gelanggang Pilkada, dan bahkan sudah diusung oleh partai-partai. Tempo memberitakan, setidaknya ada lima orang jenderal yang siap berkompetisi.

Tentu saja, mereka bukan kader partai sebab sedari awal mereka berkarir di kemiliteran atau kepolisian. Fenomena ini mengundang pertanyaan: “Apakah partai politik tidak memiliki stok calon pemimpin yang siap berlaga di gelanggang Pilkada sehingga harus mengusung figur luar? Apakah partai politik lebih mengedepankan ‘politik kemenangan’ karena mempertimbangkan popularitas figur-figur luar ini untuk meraup suara terbanyak di wilayah tertentu ketimbang menunjuk kadernya sendiri?”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Salah satu tujuan pembentukan partai politik, pada umumnya, ialah sebagai wadah kaderisasi calon-calon pemimpin masyarakat. Sebagai organisasi yang niscaya didirikan dengan tujuan politik tertentu, para anggota partai bergabung karena merasa memiliki idea atau cita-cita dan landasan perjuangan yang sama. Organisasi menjadi tempat menggembleng kader-kader partai selama bertahun-tahun agar kader siap memimpin upaya perjuangan ini dengan terjun ke masyarakat. Dengan memegang kepemimpinan daerah, secara konkrit partai berpotensi mewujudkan tujuan dan cita-cita partai melalui kader sendiri yang sudah bertahun-tahun meniti karir politiknya.

Kenyataannya, partai malah mengusung figur luar. Apakah ini berarti para pemimpin partai meragukan kadernya sendiri? Apakah fenomena ini menegaskan kembali perihal lemahnya kaderisasi kepemimpinan dalam partai sehingga pemimpin partai sukar menemukan kader yang layak dan tepat untuk diturunkan ke gelanggang kompetisi Pilkada? Apakah pengusungan para perwira itu merupakan wujud pengakuan bahwa kaderisasi kepemimpinan di kemiliteran dan kepolisian berlangsung dengan lebih baik ketimbang di partai politik?

Dengan mengusung figur-figur luar partai (bukan hanya para perwira tinggi, tapi juga artis maupun selebritas di bidang lain), apakah berarti partai politik lebih mengedepankan politik ‘kemenangan’—bahwa yang penting calon kami menang dalam Pilkada tak peduli mereka bukan kader partai yang orisinal. Bila calonnya menang di wilayah X, maka partai punya waktu lima tahun untuk memegang kendali pemerintahan eksekutif di wilayah ini. Pemilihan legislatif dan presiden pada 2019 agaknya juga jadi pertimbangan partai untuk mengusung calon yang populer.

Dengan demikian, kesan pragmatis partai politik menjadi sukar dihindari, terlebih lagi ketika akhir-akhir ini partai politik begitu mudah berubah haluan. Misalnya saja Golkar. Begitu berganti ketua umum, Golkar mencabut dukungan kepada Kamil Ridwan untuk maju ke gelanggang Pilkada Jawa Barat dan mengalihkan dukungan kepada Dedi Mulyadi, kader Golkar sendiri. Pengalihan dukungan ini memang tidak lepas dari bagian dari pertarungan internal Golkar dan relasi Golkar di bawah Airlangga dengan pemerintahan. Begitu pula nasib Deddy Mizwar. Wagub Jabar ini ditinggalkan PKS yang sebelumnya menyatakan akan mengusungnya ke Pilkada Jabar bersama Ahmad Syaikhu. Oleh PKS, Syaikhu kemudian dipasangkan dengan Sudrajat yang ditawarkan Gerindra. Dengan dukungan Demokrat, Deddy lantas berpaling kepada Golkar. Lahirlah Duo-D.

Perubahan-perubahan dukungan dan pencalonan tampaknya masih mungkin terus terjadi sepanjang para calon itu belum didaftarkan secara resmi ke Panitia Pilkada. Dinamika Pilkada 2018 yang sudah terasa ini semakin memperkuat kesan bahwa partai-partai politik cenderung bersikap pragmatis dalam berkompetisi memperebutkan posisi-posisi kepala daerah. Tidak ada calon yang abadi (apa lagi bila calonnya bukan kader partai sendiri), yang abadi hanyalah kepentingan. Kemenangan dalam pilkada dipandang lebih penting dibandingkan pertimbangan lain, barangkali karena kemenangan ini dianggap sebagai cara terbaik untuk melapangkan jalan menuju kemenangan di pemilihan legislatif dan pemilihan presiden, 17 April 2019. Wallahu a’lam bish-shawabi.

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu