x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Polusi Visual Reklame Politik

Masa kampanye secara resmi baru akan dimulai satu bulan lagi, tapi polusi visual reklame politik sudah mulai terlihat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Tahun Politik mulai berjalan, aroma musim Pilkada sudah merebak di mana-mana. Jika Anda membuka situs-situs media, Anda menemukan laman web mulai sesak oleh berita-berita tentang pilkada: partai X mengusung Y sebagau cagub, partai Z menarik dukungan, dan banyak lagi. Situs-situs media juga mulai ramai oleh pernyataan tokoh-tokoh politik.

Keriuhan itu bukan hanya dapat dijumpai di jagat virtual, tapi juga mulai terasa di jalanan. Kendati musim kampanye belum lagi dimulai, wajah-wajah politikus mulai nampang di tepi jalan, bendera-bendera partai mulai berkibar berjajar, dan baliho terpasang di jembatan penyeberangan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Polusi visual tampaknya segera menguar di kota-kota. Padahal kota-kota sudah sesak oleh papan-papan iklan komersial—spanduk, banner, baliho. Siapa berani menolak, sekalipun bila reklame politik itu kurang sedap dipandang mata. Warga kota harus bersedia menerimanya: berjalan setiap hari dan berkendara di jalan-jalan dengan pemandangan reklame politik. Sayangnya, sering terjadi, tikungan yang mestinya bebas hambatan agar penglihatan pengguna jalan aman, malah tertutup oleh reklame politik.

Sebuah baliho berukuran raksasa, mungkin berukuran 10 meter kali 3 meter, sudah membentang di sebuah jembatan penyebarangan di Bandung. Sebuah gambar headshot terpampang di situ—tersenyum optimistis. Mendampingi wajah itu, tertulis jargon politik ataupun sejenis rayuan untuk meyakinkan publik, umpamanya ‘sosok yang menjaga amanah’.

Ini iklan, bung! Iklan untuk merebut suara warga pemilih agar dapat menjadi walikota, bupati, atau gubernur. Dalam politik, mempromosikan diri secara terus terang bukanlah hal tabu, terlebih bila Anda kurang dikenal masyarakat. Salah satu caranya ialah dengan memasang foto bersama figur yang jauh lebih dikenal, misalnya ketua partai politik pengusungnya.

Keberanian mereklamekan diri di jalan-jalan agar terlihat oleh khalayak ramai memang mengundang pertanyaan. Bayangkan, seluruh gelar akademis dijejer, mulai dari yang di depan nama sampai ke belakang nama. Saya tak tahu, apakah gelar-gelar akademis itu akan membuat masyarakat tertarik atau mendecakkagumi mereka, sehingga bila tiba saatnya, masyarakat akan memilih mereka. Saya tidak paham korelasinya.

Tapi itulah kenyataan yang kita saksikan kini sebagai wujud dari ‘pesta demokrasi’—ketika figur-figur memperebutkan kepercayaan masyarakat untuk dapat memimpin. Melihat baliho-baliho yang sudah dipasang di tepi-tepi jalan, kita dapat mengamati pola serupa pada baliho itu: foto wajah tersenyum penuh optimisme, mendampingi sosok yang lebih terkenal, dan jargon politik yang lebih kerap mengundang senyum ketimbang yakin.

Masa kampanye secara resmi baru akan dimulai satu bulan lagi, tapi polusi visual reklame politik sudah mulai terlihat. Bendera-bendera partai yang dipasang berjajar di tepi jalan, spanduk dan baliho berukuran besar, yang semuanya membuat pemandangan cenderung jadi kurang sedap dilihat. Tapi, barangkali inilah harga yang harus dibayar oleh warga masyarakat demi ‘pesta demokrasi’ dan demi menyediakan panggung bagi aktor-aktor politik. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Fotosintesis

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Kamis, 9 Mei 2024 17:19 WIB

Terpopuler

Fotosintesis

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Kamis, 9 Mei 2024 17:19 WIB