x

Sejumlah Relawan mengamati buku yang dijajakan pada perayaan HUT mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Kalijodo, Jakarta Barat, 29 Juni 2017. TEMPO/Dhemas Reviyanto

Iklan

Yugha Erlangga

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Politisi Bukan Santo, Kawan!

Politisi bukanlah manusia suci atau santo. Hidupnya dalam kekuasaan, politik, dan mengurus kepentingan publik tak selamanya linear dengan ruang privatnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

John Fitzgerald Kennedy adalah ikon pembaharuan bagi publik Amerika. Tampan, karismatik, dan sudah tentu, cerdas. Semua itu adalah modal paripurna Kennedy meraih popularitas bahkan di bidang politik. Saat memasuki usia tiga dekade, Kennedy menjadi ikon politisi muda yang cemerlang. Gagasannya tentang integrasi ras dan hak asasi manusia begitu populer ketika itu. Pada usia 30 tahun, Kennedy berhasil menduduki jabatan sebagai  anggota House of Representatives, parlemen Amerika Serikat, dari distrik Massachusetts. Selang enam tahun, ia terpilih menjadi senator dari distrik yang sama.

Kita pun tahu, Kennedy  berhasil menduduki kursi kepresidenan pada usia 44 tahun. Jagoan Partai Demokrat terpilih sebagai presiden ke-35 negara adidaya itu setelah mengalahkan Richard Nixon yang dijagokan Republikan. Selama menduduki jabatan presiden, Kennedy melalui masa-masa kritis Perang Dingin dengan Uni Soviet. Ia beberapa kali bersitegang dengan rivalnya dari Negeri Beruang Merah, Nikita Kruschev. Peristiwa Teluk Babi, Kuba, selama tiga belas hari nyaris memicu Perang Dunia Ketiga. Namun, negosisasi politisi tua Nikita Kruschev dengan presiden muda Kennedy membuahkan titik temu yang berujung gencatan senjata. Sikap keduanya yang “mengalah” dianggap mencegah dunia jatuh pada perang besar selanjutnya dan dipuji banyak kalangan. Tak hanya piawai memainkan peran internasional di tengah Perang Dingin, Kennedy juga dianggap getol menyuarakan kesetaraan ras dan perjuangan hak asasi manusia di negerinya.

Presiden pertama Republik Indonesia, Sukarno, juga memiliki kesan yang baik pada presiden muda Amerika itu. Ketika Bung Karno melakukan kunjungan ke Amerika pada April 1961, Kennedy sendiri yang menjemputnya di bandara. Buku Kennedy & Sukarno yang dirilis Penerbit Buku Kompas dan Majalah Historia melukiskan betapa hangatnya hubungan kedua pemimpin negara tersebut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Dia (Kennedy) mendekatiku dengan langsung dan ramah sekali," Bung Karno. "Aku sangat merasakan kebahagiaan, bahwa Presiden Amerika Serikat dan Presiden Indonesia terbang berkeliling bersama-sama," lanjutnya. Kesan baik itulah yang membuat Bung Karno ingin mengundang Kennedy ke tanah air. Kunjungan balasan itu direncanakan pada 1964. Demi menyambut sang tamu istimewa, Bung Karno sampai membuat wisma khusus rancangan Darsono.

Bala tak dapat ditolak. Kennedy meregang nyawa pada 1963 setelah ditembak saat melakukan kunjungan ke Dallas, Texas. Kematian yang masih menyisakan misteri hingga rasa sedih yang mendalam bagi Bung Karno. "Ia (Kennedy) memahami saya. Saya merancang dan membangun paviliun khusus di Istana untuk John F Kennedy. Sekarang ia tidak akan pernah datang. Katakan pada saya, kenapa mereka membunuh Kennedy," kata Sukarno seperti dikutip dari Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams.

Kennedy memang pesona. Ia dianggap ikon penyetaraan hak asasi manusia di Amerika Serikat –mengikuti jejak pendahulunya yang juga dibunuh Abraham Lincoln. Semuanya tampak baik-baik saja. Keluarga bahagia, istri cantik. Tapi lelaki setampan Kennedy tak lepas dari gosip. Mulai dari hubungan saat lajangnya dengan sejumlah perempuan seperti aktris Gene Tierney dan jurnalis Denmark Inga Arvad. Skandal perselingkuhan Kennedy berhembus lagi setelah ia menjadi presiden. Salah satu yang terkenal adalah hubungannya dengan aktris seksi yang berjuluk Bombshell, Marilyn Monroe. Foto-foto yang mirip keduanya sedang pun bermesraan tersebar. Media menyorotnya. Kematian Marylin Monroe bahkan sempat dikait-kaitkan dengan hubungan gelapnya dengan Kennedy.  

Geger sesungguhnya terjadi ketika penerus Kennedy, Bill Clinton, yang juga presiden AS ke-42, yang menghadapi tuduhan pelecehan terhadap beberapa perempuan, seperti Paula Jones, Gennifer Flowers, dan Monica Lewinsky. Berbeda dengan Kennedy yang  Skandal ini memicu rencana pemakzulan, meski akhirnya Clinton lolos dan menyelesaikan masa jabatan keduanya hingga 2001.

Kehidupan politisi sejatinya tak pernah lepas dari harta, tahta, dan wanita –begitu publik kerap mengulang-ulang. Negara sebesar Amerika Serikat pernah melaluinya. Begitu juga dengan Indonesia. Aktivis cum pemikir muda Soe Hok Gie pernah mengkritik keras Bung Karno karena dikelilingi banyak istri dan perempuan. Bagi Gie, Sukarno adalah orang baik yang kehidupannya tragis. "Dalam suasana seperti ini, ada suatu otak yang secara sistematis berupaya 'mendekadensikannya'. Dia terus menerus disupply dengan wanita cantik yang lihai. Hartini muncul (siapa yang mempertemukannya?) dan membuat Bung Karno dihancurkan. Sejak saat itu wanita-wanita cantik keluar masuk istana: Baby Huawe, Ariati, Sanger, Dewi dan yang lainnya. Seolah-olah Bung Karno mau dialihkan hidupnya dari insan yang cinta tanah air menjadi kaisar-kaisar yang punya harem,” kritik Hok Gie.

 Pada 2000-an, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sempat diisukan dekat seorang perempuan bernama Aryanti –Aryanti binti Arsyad boru Sitepu. Nama itu begitu disorot media pada masa-masa awal Gus Due menjadi presiden. Foto Gus Dur memangku Aryanti tersebar. Dokumen berisi pengakuan perempuan bernama Aryanti itu diterima oleh pimpinan dan sebagian anggota parleman, juga beberapa bekas menteri. Menurut Aryanti, hubungan itu terjadi sejak lima tahun sebelumnya saat Gus Dur menjadi Ketua Nahdlatul Ulama. Terang saja isu itu ditampik dan dianggap sebagai serangan politik kepada Gus Dur. Seperti isu lainnya, kabar perselingkuhan ini pun menghilang begitu saja.

Hikayat pengkhianatan seperti menjadi kisah yang beriringan dalam kehidupan mereka yang berkuasa. Di satu sisi, publik selalu memiliki standar tinggi kepada individu yang duduk di atas tahta. Mereka dianggap sebagai “manusia setengah dewa” atau santo yang relatif jauh dari ‘dosa-dosa besar’ termasuk perzinaan. Seorang penguasa yang memiliki istri cantik, anak pintar, dan keluarga bahagia, ibarat nilai tambah di mata publik. Sebaliknya, meski persoalan pengkhianatan, perselingkuhan, dan perzinaan masuk dalam ranah privat, tetap saja dianggap cacat yang bisa membunuh karakter penguasa.

Pada masa lalu, putra mahkota Troya, Pangeran Hector memiliki prinsip hidup yang mulia: takut kepada Tuhan, membela tanah air, dan mencintai sepenuh hati istri. Tapi sudah waktunya publik menyadari bahwa mereka yang berkuasa hari ini tidak semulia Hector. Penguasa apalagi politisi bukanlah manusia suci atau santo. Hidupnya dalam dunia kekuasaan, politik, dan mengurus kepentingan publik tak selamanya linear dengan perilakunya di ruang privat (baca: rumah tangga). Jadi, jangan hanyutkan perasaan kita untuk mengidolakan seseorang (apalagi politisi) secara berlebihan. ***

 

Ikuti tulisan menarik Yugha Erlangga lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB