x

Iklan

Damang SH MH

PENULIS DAN OWNER negarahukum.com
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

SYL, Calon Profesor…???

ermendikbud yang menjadi dasar hukum pengusulan dosen tidak tetap sebagai profesor ternyata bertentangan atau tidak harmonis (disharmonisasi) dengan ketent

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Rekomendasi Senat Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin untuk penganugerahan guru besar alias profesor bagi Gubernur Sul-Sel, Syahrul Yasin Limpo (SYL) menuai kisruh dan polemik berkepanjangan dari berbagai kalangan. Bahkan seorang guru besar dari Fakultas tekhnik Unhas telah menulis opini disalah satu harian lokal Makassar, tidak sepakat dengan pengusulan “guru besar tidak tetap” tersebut.

Tulisan ini akan mengulas dua isu pokok terkait dengan polemik pengusulan SYL dalam jabatan akademik profesor: Pertama, apakah dari segi kompetensi, SYL layak untuk diusulkan sebagai profesor?; Kedua, apakah dasar hukum pengusulan profesor dari seorang/pribadi yang berstatus sebagai dosen tidak tetap (seperti SYL) di sebuah perguruan tinggi tidak terjadi disharmonisasi dengan ketentuan utamanya?

Syarat Profesor

Pertama-tama saya ingin menekankan terlebih dahulu bahwa dengan dicabutnya Permendikbud Nomor 40 Tahun 2012 melalui Pasal 4 Permendikbud Nomor 88 Tahun 2013, tidak ada lagi istilah guru besar tidak tetap yang dapat diberikan kepada seseorang yang berstatus sebagai dosen tidak tetap.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Permendikbud Nomor 88 Tahun 2013 dengan tegas hanya menyebutkan terminologi profesor. Agar tidak bias saya mengutip ketentuan tersebut yang terdapat dalam Pasal 2 ayat 1: “Menteri dapat menetapkan dosen tidak tetap pada perguruan tinggi negeri yang memiliki kompetensi luar biasa untuk diangkat dalam “jabatan akademik profesor” berdasarkan usulan dari perguruan tinggi dan rekomendasi dari Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi.”

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka yang menjadi syarat utama terlebih dahulu agar seseorang dapat diusulkan sebagai profesor, harus berasal dari dosen tidak tetap yang telah ditetapkan oleh perguruan tinggi melalui persetujuan senat. Dalam konteks ini, SYL telah memenuhi syarat utamanya dan sangat layak untuk diusulkan sebagai profesor, sebab sejak tahun 2002 hingga sekarang masih tercatat sebagai dosen tidak tetap pada mata kuliah hukum pemerintahan daerah di S1, S2, dan S3 FH Unhas.

Satu-satunya yang bisa menjadi penghambat sehingga SYL tidak dapat ditetapkan sebagai profesor, adalah pada persyaratan harus memiliki karya yang bersifat pengetahuan tacit yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi pengetahuan eksplisit di perguruan tinggi dan bermanfaat untuk kesejahteraan umat manusia. Setumpuk penghargaan yang telah diperoleh oleh SYL, mulai dari penghargaan bintang maha putra, pemberian gelar Doktor Honoris Causa oleh dua perguruan tinggi luar negeri, hingga penghargaan lainnya seperti lurah terbaik, camat terbaik, bupati terbaik, gubernur 2 periode terbaik. Semuanya itu tidak dapat ditempatkan sebagai prasyarat, telah memiliki karya yang bisa dikembangkan menjadi pengetahuan nyata di perguruan tinggi. Mungkin dari 16 buku telah ditulisnya atau ada kemudian ide barunya yang lain bisa bermanfaaat untuk bidang yang ditekuninya selama ini, yaitu hukum pemerintahan daerah, dapat menjadi bahan pertimbangan menteri untuk ditetapkan sebagai profesor.

Disharmonisasi

Terlepas dari layak atau tidak layaknya SYL untuk diusulkan sebagai profesor oleh Universitas Hasanuddin, ada satu hal yang perlu untuk kita perhatikan bersama. Adalah Permendikbud yang menjadi dasar hukum pengusulan dosen tidak tetap sebagai profesor ternyata bertentangan atau tidak harmonis (disharmonisasi) dengan ketentuan utamanya.

Ketentuan utama tersebut, yaitu Pasal 72 ayat 1 UU Pendidikan Tinggi yang menegaskan bahwa: Jenjang jabatan akademik “Dosen tetap” terdiri atas asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan profesor. Pasal a quo dapat dimaknai bahwa jabatan akademik profesor merupakan jabatan akademik “dosen tetap,” bukan dosen tidak tetap. Dalam konteks itu nyatalah kalau Pasal 2 ayat 1 Permendikbud Nomor 88 Tahun 2013 bertentangan dengan UU Pendidikan Tinggi, sebab membolehkan penetapan profesor yang berasal dari “dosen tidak tetap.”

Disharmonisasi berbagai ketentuan terkait dengan syarat penetapan profesor yang berasal dari dosen tidak tetap, nyatanya tidak berhenti sampai di situ saja. Hal itu disebabkan oleh Pasal 1 angka 3 UU Guru dan Dosen yang masih kabur, tetap membuka pintu penafsiran bagi dosen tidak tetap untuk ditetapkan sebagai professor, mengingat pasal a quo hanya menyebutkan kalau profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang “masih mengajar” di lingkungan satuan pendidikan tinggi. Artinya, tidak perlu seseorang berstatus sebagai “dosen tetap” untuk ditetapkan sebagai profesor, cukup dosen yang masih mengajar saja.

Bagaimana selanjutnya menyikapi isu hukum tersebut? Jalan keluarnya adalah melalui pemahaman asas-asas hukum. Ingat, ada postulat yang berbunyi: actus repugnus non potest in esse produci,tindakan yang berlawanan dengan asas tidak menghasilkan tujuan yang hakiki.

Permendikbud tidak dapat dijadikan sebagai pedoman pengusulan jabatan akademik profesor dari seseorang yang berstatus sebagai dosen tidak tetap, karena bertentangan dengan UU Pendidikan Tinggi. Hal itu berdasarkan dari prinsip hukum utama bahwa jika ketentuan hukum yang lebih rendah bertentangan dengan ketentuan hukum yag lebih tinggi, maka ketentuan hukum yang lebih tinggi-lah yang wajib untuk dipedomani (lex superior derogate legi inferior).

Hal demikian juga seharusnya berlaku sama, kembali harus memperhatikan asas-asas hukum utama, mengenai UU Pendidikan Tinggi di satu sisi mempersyaratkan jabatan akademik profesor harus dari dosen tetap, lalu di sisi lain pada UU Guru dan Dosen mempersyaratkan jabatan akademik professor cukup “dosen yang masih mengajar.” Dalam konteks itu, UU Pendidikan Tinggi yang harus dijadikan sebagai pedoman hukum, mengingat UU Pendidikan Tinggi merupakan ketentuan yang baru (ditetapkan tahun 2012) dibandingkan UU Guru  dan Dosen yang ditetapkan pada tahun 2005, dengan pijakan asasnya yaitu lex posteriori derogate  legi priori.

Terakhir, melalui tulisan ini saya mengharapkan agar para guru besar yang terhimpun dalam senat Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin membatalkan pengusulan SYL sebagai profesor demi mengakhiri polemik yang berkepanjangan, “SYL sebagai calon profesor.” Kalian semua adalah guru besar yang maha hebat. Tidak elok rasanya jika kita merasa tahu UU, tahu hukum, berkecimpung di dunia hukum, hidup dan mati kita adalah “hukum,” lalu menerapkan “hukum” yang nyata-nyata sudah salah. Ali bin Abi Thalib pernah berkata: “Duhai orang-orang yang memiliki ilmu amalkanlah ilmu kalian. Orang yang berilmu secara hakiki hanyalah orang yang mengamalkan ilmu yang dia miliki sehingga amalnya selaras dengan ilmunya. Suatu saat nanti akan muncul banyak orang yang memiliki ilmu namun ilmu tersebut tidaklah melebihi kerongkongannya sampai-sampai ada seorang yang marah terhadap muridnya karena ngaji kepada guru yang lain (Al-Adab Asy-Syar’iyyah, 2/53).”

Ikuti tulisan menarik Damang SH MH lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler