x

Ketua MPR RI, Zulkifli Hasan

Iklan

Putra Batubara

staf pengajar di Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT) Seneng Nulis
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Zulkifli Hasan, Soekarno Dan The Power Of Emak-Emak

"Ibu adalah mata air kasih sayang, yang tak pernah habis. Kekuatan ibu ada pada doa dan kesabaran serta keikhlasan pada anak-anaknya"

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pengorbanan, kasih sayang, kekuatan, dan juga pengaruh para ibu hampir dirasakan semua orang. Bahkan keberhasilan dan kesukesan dalam berkarier tak lepas dari peran para ibu, yang dalam istilah belakangan ini disebut dengan The Power Of Emak-Emak.

Ketua MPR Zulkifli Hasan salah satu tokoh yang mengakui bagaimana kedahsyatan pengorbanan dan doa seorang ibu. Dia mengakui ridha Allah dan ridha ibu yang membuatnya bisa sukses hingga menjadi menteri dan saat ini menjadi Ketua MPR.

"Ibu adalah mata air kasih sayang, yang tak pernah habis. Kekuatan ibu ada pada doa dan kesabaran serta keikhlasan pada anak-anaknya. Emak banyak berkoban demi kami. Waktu saya merantau ke Jakarta, Emak sisihkan tabungannya untuk kami anak-anaknya," katanya saat menerima ratusan anggota Perempuan Peduli Pembangunan Daerah Indonesia di Gedung Parlemen, pada Rabu kemarin.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pengalaman hidup bersama ibu tersebut bukan hanya dimonopoli Ketua MPR Zulkifli Hasan. Banyak orang sukses dan tokoh besar yang menulis kenangan bersama ibu tersebut dengan tinta tebal dalam buku sejarah hidupnya. Presiden Pertama RI Sukarno misalnya.

Dalam buku Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat, dia menceritakan bagaimana perjuangan dan kasih sayang ibu kepadanya. Hikayat itu disampaikannya kepada Cindy Adams, yang menulis buku otobiografinya. Buku tersebut terbit dengan judul asli Sukarno: An Autobiography As Told To Cindy Adams.

Memulai pembahasan dalam buku itu, Bung Karno menceritakan bagaimana ibunya ketika dia masih kecil berumur sekitar dua tahun memberikan semangat hidup kepadanya. Dikisahkan, ibu Bung Karno bangun sebelum matahari terbit. Dan dalam kegelapan di beranda rumah, dia duduk tidak bergerak dan tidak berkata. Hanya memandang ke arah timur dan dengan sabar menantikan datangnya fajar. Ketika bangun, Bung Karno mendekati ibunya yang lalu menyambut dengan memeluk anaknya tersebut. Kemudian ibunya berkata dengan lembut bahwa anaknya tersebut adalah putra sang fajar, yang kelak akan menjadi pemimpin besar.

"Anakku, engkau sedang memandang matahari terbit. Dan engkau anakku, kelak akan menjadi orang mulia, pemimpin besar dari rakyatmu. Karena ibu melahirkanmu di saat fajar menyingsing."

Di bawah didikan ayahnya seorang guru yang 'keras', sang ibu hadir dengan penuh kasih sayang menjadi tempat pengaduan. Dan di tengah kemeralatan hidup yang mereka alami, kasih sayang menjadi obat penawar, yang dalam bahasa Sukarno menghapus segala yang buruk. Bung Karno menyaksikan sendiri bagaimana perjuangan ibunya.

"Aku menghemat uang satu sen. Dan uang satu sen dapat membelikan sayuran buatmu, nak," kata ibunya. Karena itu Bung Karno menyatakan ibunya tersebut adalah semua miliknya yang ada di dunia ini. "Oh, Ibu memiliki hati yang besar."

Perhatian sang ibu tak pernah surut. Selain secara resmi dari ayahnya, Bung Karno menceritakan, ibunya juga sering mengirim uang dari simpanannya secara sembunyi ketika dia sekolah di Surabaya. Bahkan karena penolakan sang ibu, Bung Karno tidak melanjutkan sekolah ke Belanda. Sang ibu ingin anaknya tinggal di antara bangsa kita sendiri.

"Dan begitulah aku mendaftarkan diri ke perguruan tinggi di Bandung. Mungkin suara ibu yang kudengar. Tetapi sesungguhnya tangan Tuhanlah yang menggerakkan hatiku," kata Sukarno, yang kelak terbukti menjadi pemimpin besar rakyat Indonesia dan diakuir dunia.

Zulkifli Hasan dan Bung Karno sekadar contoh orang yang merasakan the power of emak-emak. Karena kita semua sejatinya juga merasakan hal yang sama. Bahkan dalam ajaran Islam sangat jelas betapa mulianya kedudukan seorang ibu.

Dalam sebuah Hadits, Nabi Muhammad sampai menjawab "ibumu" sebanyak tiga kali saat sahabat bertanya siapa yang paling berhak diperlakukan dengan baik. Pertanyaan keempat baru dijawab Nabi dengan, "Ayahmu lalu yang lebih dekat setelahnya dan setelahnya."

Seorang ibu menempati posisi mulia karena selain kasih sayang yang dicurahkan, juga karena pengorbanan saat mengandung dan melahirkan, yang perjuangannya antara hidup dan mati. Walau Nabi Muhammad sendiri tidak lama merasakan kasih sayang sang ibu.

Meninggal dalam keadaan yatim, Nabi Muhammad sudah diasuh ibu susuan hanya beberapa hari setelah lahir di Kota Mekkah. Nabi baru kembali ke pangkuan Ibunda Aminah setelah berumur lima tahun. Setahun kemudian, Ibunda Aminah membawanya ke Medinah. Selain berkunjung juga untuk melihat rumah tempat ayahandanya meninggal dan tempat dikuburkan ketika dia masih dalam kandungan. Dalam perjalanan kembali ke Mekkah, Nabi semakin sedih. Karena Ibunda meninggal dunia.

"Baru beberapa hari ia mendengar dari Ibunda keluhan duka kehilangan ayahanda sesama ia masih dalam kandungan. Kini ia melihat sendiri di hadapannya, ibu pergi untuk tidak kembali lagi, seperti ayah dulu. Tubuh yang masih kecil itu kini dibiarkan memikul beban hidup yang berat, sebagai yatim piatu," demikian digambarkan Muhammad Husain Haikal dalam buku Sejarah Hidup Muhammad.

Dengan melihat perjuangan dan pengorbanan para ibu tersebut, sudah selayaknya kita jangan sampai menyakiti hati mereka. Perlakukan mereka dengan lemah lembut selagi masih hidup dan doakan bila memang sudah mendahului kita.

Ikuti tulisan menarik Putra Batubara lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB