Hari ini, Senin tanggal 9 April 2018, PB IDI mengumumkan penundaan pemecatan Dr. dr. Mayor Jenderal Terawan Agus Putranto (dr TRW) karena adnya keadaan tertentu, padahal MKEK (Majlis Kehormatan Etik Kedokteran) merekomendasikan pemecatan kepada IDI karena melanggar kode etik berat. Selaanjutnya IDI melalui MPP merekomendasikan penilaian terhadap tindakan terapi dengan metode cuci otak dr TRW diserahkan kepada HTA (Health Technology Assesement) Kementerian Kesehatan.
Penudaan tersebut, menurut analisis saya, karena desakan sebagian masyarakat bahwa pemecatan dr TRW tidaklah patut karena dia telah membawa kesembuhan ribuan pasien stroke, dan disinyalir pula ada persaingan antar kelompok teman sejawat sesama dokter. Kisruh dr TRW ini yang berujung kepada permasalahan dilematik bagi IDI (organisasi profesi dokter) karena kelalaian, pembiaran dan ketidaktegasan yang dilakukan Menteri Kesehatan (Menteri Kesehatan dulu dan Sekarang) sejak dr Terawan menerapkan secara komersial metode cuci otaknya.
Penerapan secara massal suatu metode baru bidang kesehatan ada di tangan Menteri Kesehatan. Benar apa yang dikatakan oleh Menteri Kesehatan Prof Dr dr Nila Djuwita F. Moeloek, Sp.M (K) mengatakan Metode Cuci Otak dr TRW harus dibuktikan secara klinis (kompas.com 5 April 2018). Apakah metode cuci otak dr TRW sudah ada keputusan Menteri Kesehatan? Kenapa Menteri Kesehatan dulu dan sekarang tidak melakukan tindakan pro aktif penilaian terhadap penggunaan metode cuci otak tersebut padahal kedua menteri tersebut berlatarbelakang dokter dan akademisi. Sungguh ini sangat ironis. Tahu tapi pura-pura tidak tahu dan akibatnya menjadi persoalan dilematik. Buktinya helem untuk penyembuhan kanker ternyata ditindak, sedangkan cuci otak tidak dilakukan penindakan.
Permasalahan dr TRW sesungguhnya sudah jelas. Promotor S-3 di UNHAS mengatakan bahwa metode cuci otak tersebut untuk penerapan massal harus di uji klinis. Menteri Kesehatan sebagai pemegang izin penggunaan massal juga mengatakan hal yang sama. IDI dalam siaran persnya hari ini 9 April 2018 mengatakan penilaian terhadap tindakan terapi dengan metode cuci otak dr TRW diserahkan kepada HTA (Health Technology Assesement) Kementerian Kesehatan.
Saran Untuk IDI dan Menteri Kesehatan
Polimek ini harus diselesaikan sebaik baiknya. Saya menyarankan langkah-langkah sebagai berikut:
- Kementerian Kesehatan segera melakukan asesmen terhadap metode cuci otak dr Terawan sebagai dasar memberikan izin atau tidak memberikan izin atas penggunaan massal dan komersial metode tersebut.
- Selama dilakukan asesmen metode cuci otak tersebut, dr TRW tidak boleh melakukan penggunaan massal dan komersia metode tersebut.
- IDI tetap menindaklanjuti rekomendasi MKEK, apabila ternyata Menteri Kesehatan memberikan izin penggunaan metode cuci otak tersebut secara komersial, maka pada saat itu pula pemecatan dr TRW berakhir dan nama baiknya dipulihkan.
Saran pada point (3) tersebut untuk menjaga marwah ilmiah agar tradisi ilmiah di Indonesia tidak pudar. Tradisi ilmiah akan mendorong riset untuk menghasilkan IPTEK atau inovasi baru untuk memproduksi barang dan jasa yang lebih efisien untuk kesejahteraan umat manusia.
Ikuti tulisan menarik Nizwar Syafaat lainnya di sini.