x

Iklan

Nizwar Syafaat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ekonomi Hanya Tumbuh Stagnan 5.06%.

Ekonomi Triwulan I 2008 tumbuh stagnan 5.06 % jauh di bawah target 5.40%, dan mengalami kontraksi 0.42% (q-to-q). Apa yang salah dengan kebijakan?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ekonomi Triwulan I 2008 tumbuh stagnan 5.06 % (y-on-y) jauh di bawah target 5.40%, dan mengalami kontraksi sebesar 0.42% (q-to-q).  Apabila pertumbuhan penduduk sebesar 1.36%, maka pertumbuhan pendapatan penduduk hanya tumbuh 3.70%. Pertumbuhan pendapatan penduduk sebesar itu tidak cukup mampu mengangkat kesejahteraannya khususnya bagi penduduk yang berada pada kelompok kelas bawah termasuk penduduk miskin.  Juga pertumbuhan ekononi sebesar itu tidak bisa diandalkan untuk menciptakan lapangan kerja yang mampu mengatasi pengangguran di Indonesia.

 

Kebijakan Ekonomi Jokowi

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pemerintahan Jokowi telah berupaya sekuat tenaga untuk permasalah ekonomi melaui dua kebijakan utama, yaitu (1) kebijakan fiskal ekspansif melalui pembiayaan utang mendorong pertumbuhan ekonomi untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan, dan (2) kebijakan peningkatan ekspor melalui Export Led Industrialisazation (ELI) dengan memanfaatkan re-alokasi industri dari negara maju dan diperkuat dengan kontribusi devisa dari sektor parawisata dan pengiriman TKI (Tenaga Kerja Indonesia) ke luar negeri untuk mengatasi defisit neraca transaksi berjalan.

Kebijakan tersebut diimplementasikan dalam bentuk penguatan defisit keseimbangan Primer APBN secara berkelanjutan melalui perluasan dan pendalaman utang dalam negeri dan luar negeri yang sekarang sudah mencapai Rp 4000 T(Trilliun) lebih dari Rp 2600 T pada awal pemerintahan Jokowi.

Untuk meningkatkan ketersedian dan keterjangkauan pangan bagi masyarakat secara keseluruhan; dan untuk menyediakan kebutuhan dasar bagi mereka yang miskin, pemerintah  meluncurkan  tiga program yaitu: (1) stabilisasi harga, (2) subsidi dan dana desa; dan (3) bantuan sosial seperti kartu sehat, kartu pintar, bantuan beras dan lainnya. Dana desa juga untuk menciptakan kesempatan kerja padat karya di pedesaan untuk mengurangi pengangguran di pedesaan.

Untuk meningkatkan aliran investasi ke Indonesia, pemerintah menghilangkan seluruh hambatan investasi seperti hambatan bongkar muat barang dan jasa di pelabuhan, insentif pajak, mempermudah dan mempercepat perizinan melalui pelayanan satu atap, memperlancar pergerakan barang dan jasa antar wilayah di Indonesia melalui pembangunan infrastruktur yang masif dan lain-lainya.  Berbagai seri paket kebijakan telah dikeluarkan untuk menghilangkan seluruh hambatan investasi tersebut.

Berbagai upaya untuk menarik turis luar negeri, pemerintah membangunan tempat tujuan wisata di seluruh tanah air.  Selain sektor wisata mampu memberikan sumbangan devisa juga mampu menciptakan kesempatan kerja termasuk di lini sub sektor turunannya.

          Untuk meningkatkan sumbangan devisa TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di luar negeri, pemerintah membuat beberapa pelatihan dan prosedur administrasi keberangkan TKI ke luar negeri yang lebih mudah.

          Selanjutnya untuk mengurangi kesenjangan ekonomi antar Jawa vs Luar Jawa, pemerintah melakukan pemertaan pembangunan infrastruktur di pelosok tanah air dan kebijakan satu harga BBM agar mampu mendorong pertumbuhan ekonomi di luar Jawa.

         

Apa Salah dengan Kebijakan Ekonomi Jokowi

#Defisit Anggaran Mendorong Pertumbuhan Ekonomi

 Defisit anggaran merupakan andalan pemerintahan Jokowi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Selama periode pemerintahan SBY, yaitu 2005 sd 2014, defisit anggaran berkisar 0.1 sd 2.2% PDB (Produk Domestik Bruto) dengan  rata-rata 1.2% PDB, sedangkan selama tiga tahun pemerintahan Jokowi yaitu 2015 – 2017 meningkat berkisar 2.5 sd 2.6% PDB dengan rata-rata 2.57 % PDB.  Selanjutnya pertumbuhan selama  periode pemerintahn SBY berkisar 4.70 sd 6.38 % dengan rata-rata 5.74% dan selama tiga tahun pemerintahan Jokowi  berkisar 4.88 sd 5.07 % dengan rata-rata 4.98%. 

Selama periode pemerintahan SBY kemampuan utang untuk menciptakan pertumbuhan PDB berkisar 2.83 sd 5.91% dengan rata-rata 4.50%, sedangkan selama tiga tahun pemerintahan Jokowi berkisar 2.28 sd 2.50% dengan rata-rata 2.42%. 

Fakta tersebut menunjukkan bahwa efsiensi utang pada pemerintahan SBY hampir 2 kali lipat dibanding pemerintahan Jokowi.  Defisit anggaran pada tahun 2018 turun menjadi 1.36% PDB dibanding tahun sebelumnya, tapi ekonomi tumbuh lebih tinggi menjadi 5.06%.  Dengan demikian, makin tinggi defisit makin rendah efisiensinya. Pemerintahan Jokowi sesungguhnya telah gagal memanfaatkan utang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.  Fakta tahun 2018 membuktikan bahwa kebijakan APBN-defisit ekspansif gagal mendorong pertumbuhan ekonomi.

 

#Pengentasan Kemiskinan

Selama tiga tahun pemerintahan Jokowi, nilai indek gini mengalami penurunan tapi tidak signikan dari 0.408 menjadi 0.393.  Data lain menunjukkan bahwa selama periode yang sama telah terjai peningkatan kekayaan secara signifikan  40 orang terkaya di Indonesia meningkat dari Rp 1.127 trilliun (US$ 86.760) menjadi Rp 1.616 trilliun (US$ 119.720) atau meningkat Rp 163 Trilliun per tahun.  Berdasarkan dua fakta tersebut, dapat disimpulkan bahwa kebijakan ekonomi selama tiga tahun pemerintahan Jokowi menghasilkan ketimpangan yang stagnan. 

Terjadinya penurunan angka kemiskinan selama periode yang sama lebih banyak disebabkan oleh bantuan sosial yang demikian besar mencapai ratusan trilliun  dan hasil pengentaskan penduduk miskin ternyata bersifat tidak permanen.  Jumlah penduduk miskin selama periode tersebut berfluktuatif.  September 2014 sebanyak 27.73 juta naik pada Maret 2015 menjadi 28.59 juta lalu  turun pada September 2015 menjadi 28.51 juta, turun lagi pada Maret 2016 menjadi 28.01 juta dan turun lagi pada September 2016 menjadi 27.76 juta lalu  naik lagi pada Maret 2017 menjadi 27.77 juta dan turun lagi pada September 2017 menjadi 26,56 juta.  Penurunan jumlah penduduk miskin tidak stabil yang menunjukkan bahwa persoalan kemiskinan bukan terletak pada bantuan sosial tapi ada pada struktur ketimpangan ekonomi yang belum mampu diturunkan oleh pemerintah.

PDB Indonesia tahun 2016 sebesar Rp12.406,8 trilliun dengan rata-rata sebesar Rp 47.96 juta perkapita per tahun jauh di atas garis kemiskinan sebesar Rp 4.6 juta (BPS, 2017).  Kalau kita mau jujur dengan total pendapatan nasional yang demikian besar, seharusnya tidak ada masyarakat miskin lagi di Indonesia. Tetapi mengapa dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp 47.96 per kapita per tahun masih ada penduduk miskin sebanyak 26.58 juta orang? Itu terjadi karena ada lapisan masyarakat kelas atas memperoleh kue pendapatan nasional terlalu besar, sedangkan masyarakat bawah mendapatkan kue pendapatan nasional sangat sangat kecil.  Ketimpangan ekonomi tersebut yang menyebabkan rakyat miskin.  Dan untuk mengentaskan rakyat miskin hanya bisa melalui pengurangan ketimpangan ekonomi dengan berbagai kebijakan ekonomi, bukan dengan bantuan sosial yang mencapai ratusan trilliun.

 

#Defisir Transaksi Berjalan

Kebijakan industrialisasi dengan re-alokasi industri dari negara maju dengan orientasi ekspor ternyata belum juga mampu untuk mengatasi defisit transaksi berjalan.  Transaksi berjalan meningkat dari minus US$4,60 billion pada triwulan IV-2017 menjadi  minus US$ 5.70 billion pada triwulan I-2018.  Pemerintahan Soeharto telah menerapkan kebijakan tersebut sejak tahun 1980-an juga belum mampu mengatasi masalah defisit transaksi berjalan.  Penyebabnya karena terlalu besar bagian nilai tambah yang diperoleh modal dan teknologi yang menjadi bagian pemilik atau pengusaha industri yang kembali ke negaranya sebagai capital outflow.  Pemerintahan saat menggantungkan aliran investasi dan pendapatan devisa kepada industrialisasi yang berbasis modal dan teknologi canggih yang memperoleh bagian terbesar dari nilai tambah yang diciptakan.  Kita hanya mendapat bagian bagian nilai tambah tenaga kerja dan komponen lokal yang nilainya kecil juga pajak.  Dengan demikian industrialisasi tersebut tidak memberikan manfaat besar kepada Indonesia. 

Model industrialisasi PT Freeport juga demikian. Walaupun bagian nilai tambah tenaga kerja, royalti dan pajak tidak terlalu kecil, namun bagian nilai tambah untuk modal dan teknologi yang dimiliki oleh perusahaan Freeport sangat besar  sehingga tidak menguntungkan bagi Indonesia. Ini yang meneyebabkan alotnya perundingan perpanjangan kontrak PT Freeport.

Apalagi dibanding dengan industrialisasi dari Cina.  Ini memang industri Cina hanya pindah lokasi ke Indonesia.  Ini jauh lebih tidak menguntungkan Indonesia.  Kita hanya memperoleh pajak.  Mereka mempekerjakan tenaga kerja mereka sendiri, dan membentuk lokasi enclave di Indonesia semacam desa industri Cina.  Mungkin ini ke depan yang perlu diwaspadai oleh kita. 

#Kita perlu berfikir ulang tentang format kebijakan ekonomi Jokowi, agar dipeproleh hasil maksimal bagi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.  Akselerasi pembangunan penting, namun kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia perlu dijadikan dasar untuk memilih level akselerasi yang optimal#.

Ikuti tulisan menarik Nizwar Syafaat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB