x

Iklan

Luhur Pambudi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Politik Ekstra Parlementer Kampus (4)

BETAPA TIDAK MENARIK POLITIK EKSTRA PARLEMEN KAMPUS BELAKANGAN INI (4)

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Saatnya Berfikir Ulang Tentang Kesibukkan Berpolitik Kita

Akhirnya tiba pada suatu keadaan, dimana rasa takut adalah istilah paling tepat menjelaskan kegundahan yang sama-sama kita rasakan. Bagaimana tidak, rasa takut itu akan muncul seketika, dus, mengisi neuron-neuron yang berkelebatan di sel saraf, lantas mengedarkan sejenis ide perusak di kepala kita, bahwa rezim harus dirawat dengan cara paling irrasional. Saya sebut sebagai cara paling irrasional, dan tentunya merusak, karena rezim dengan sengaja merawat politik identitas, disamping jumlah kepala di dalam kubu telah mencapai derajat mayoritas. Tentunya kita tak habis fikir, bagaimana mungkin logika berfikir demikian harus dirawat oleh mereka yang saat ini memegang kekuasaan. Politik identitas hanya bisa diedarkan jika anda, saya dan kita berada dalam status quo minoritas. Jika kita adalah sebagai mayoritas, seharusnya cara berfikir demikian tidak lagi digunakan, justru itu akan menjadi sumber energi atau kekuatan bagi mereka yang minoritas untuk terus mengkonfrontasi habis-habisan kubu mayoritas yang sedang mendominasi di kursi-kursi pemerintahan. Entah dengan cara apa kubu minoritas akan mengkonfrontasi, yang pasti kubu minoritas akan menggunakan segala hal untuk menghabisi kubu penguasa rezim atau mereka yang mayoritas, akan dicari-cari kesalahan apapun itu bentuknya dan sekecil apapun ukurannya, dengan satu tujuan, yakni mencari pembuktian untuk menuduh rezim penguasa sedang bermasalah dan pantas untuk digulingkan. Tentunya ini merupakan malapetaka bagi kita yang merasa sebagai mayoritas.

Melalui tulisan ini, sebenarnya saya dapat memilih akan mengidentifikasi diri sebagai siapa saja. Sebagai salah seorang di kubu mayoritas, sebagai salah seorang di kubu minoritas, atau salah seorang dari mereka yang memutuskan tak berkubu sama sekali. Kendati bukan bermaksud untuk mengadudomba satu sama lain secara ide yang dikontestasikan. Terlebih-lebih mengadudomba secara fisik. Tapi mungkin sentimen pemikiran akan menjadi salah satu hal yang mengasyikkan bagi saya pribadi, yang tak sekali dua kali tidak dihiraukan tulisannya. Tapi yakinlah, sahabat, kawan, dan rekan-rekan yang saya sayangi, kalian yang berjuang untuk tetap tolabulilmi, ijtihad, ikhtiar, istiqomah di organsiasi eksta parlementer kampus kesayangan kalian, “tegaklah kelangit luas dan awan yang tinggi. Kita tak pernah menanamkan apa-apa, kita tak kan kehilangan apa-apa.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Sistem dan Mekanisme Baru Mewarnai Proses Politik Mahasiswa

Mencoba untuk menjelma sebagai salah seorang dari kubu mayoritas, saya akan mulai bercakap-cakap; belakangan kita disibukkan dengan aktivitas menjaga tradisi kemenangan yang telah diwariskan oleh senior-senior kita terdahulu. Warisan kemenangan sebenarnya baru ditahun 2016 saja menjadi tugas penting bagi kita, yang kini harus dipertahankan untuk tahun-tahun yang akan datang. Sebelum-sebelumnya kita hanya ditugasi menjaga tradisi kekompakan saja, karena kita adalah kubu yang kalah selama empat hingga lima tahun yang lalu. Kekompakan menjadi dalih bagi kita yang benar-benar tidak kebagian, yang Lenin sebut, sebagai kue Tsar kekuasaan. Sama sekali kursi bagi kita yang mayoritas tak pernah kita dapati selama 4 tahun yang lalu. Bukan karena kita kalah karena ada kubu lain yang lebih dominan, tersistem dan begitu by design manuver politiknya, tapi lebih kepada seteru didalam tubuh kita sendiri yang katanya; (dalam momentum konvensi calon presiden mahasiswa) sering kali diperbenturkan dengan kenyataan ada beberapa oknum yang tak suka mengusung calon ini, ingin mengusung calon itu, tak sepakat dengan keputusan calon ini, inginnya tetap mempertahankan keputusan calon itu, dan hal ikhwal lainnya yang mengindikasikan ketidakdewasaan kita dalam berpolitik praksis di dalam kampus.

Empat tahun itu telah berlalu dan kita kini menjadi kubu mayoritas dan kubu yang menang pula. Betapa lengkap sudah kita mendominasi segala sendi kehidupan politik miniatur negara kampus UIN Sunan Ampel Surabaya, sebagai kelompok super power. Namun, yang diawal tadi kita sebut sebagai tugas baru untuk mempertahankan kekuasaan, sepertinya diperiode tahun ini agak semakin rumit, pelik, nyaris memicu antipati berlebihan dari setiap nalar intuitif para orang-orang (mahasiswa dari dapur ekstra parlementer kampus) yang merasa berkepentingan lebih dalam proses Pemilu Raya Presiden Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya Tahun 2017.

Kabar burung yang lambat laun bukan lagi burung Emprit atau Derkuku yang mengabarkan, tapi Surat Keterangan (SK) Rektorat UIN Sunan Ampel Surabaya tentang adanya makanisme baru yang sifatnya khusus dan khas dalam mejalankan proses regulasi kepemimpinan elemen suprastruktur miniatur negara kampus UIN Sunan Ampel Surabaya. Yakni mulai diterapkannya sistem pencoblosan berbasis IT, tapi bukan online yang sifatnya dapat diakses disembarang tempat, dengan berbagai kerentanan akan itikad busuk dari para oknum yang berkepentingan merusaknya.

Tapi ini adalah suatu sistem baru menggunakan pola komputerisasi yang sangat sederhana berbasis IT, dengan maksud menyederhanakan tata cara pelaksanaan pencoblosan hingga rekapitulasi suara yang lazimnya dilakukan dengan cara manual. Biasanya, jika kita ingat prosedur dari seorang warga negara yang hendak menggunakan hal suaranya untuk memilih pemimpin dengan tata cara, datang terlebih dahulu ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), kemudian mencocokkan nomor daftar pemilih tetap yang telah tercantum resmi oleh pemerintah setempat, mengambil surat suara, mencoblosnya dengan paku payung berukuran kurang dari 5 inci, dan yang terakhir mencelupkan sedikit ujung jari ke sebuah cairan tinta sebagai bukti otentik telah menggunakan hak pilih sesosok pemimpin idamannya.

Sistem pencoblosan berbasis IT ini akan mempermudah dan mempersingkat cara-cara lama dalam mencoblos dalam pemilihan umum yang beberapa diantaranya, akan merubah: Pertama, Tata cara ketika memverifikasi Daftar Pemilih Tetap (DPT), yang biasanya harus menunggu terlebih dahulu proses pencocokan Nomer Induk Mahasiswa (NIM) dan nama dari Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) dengan  arsip data DPT yang disediakan Komisi Pemilu Raya Mahasiswa (Kopurwa) yang bertugas. Akan menjadi lebih sederhana hanya dengan login password dan username beserta NIM sebagaimana mirip dengan program siakad mahasiswa pada umumnya, hanya membutuhkan username, NIM dan password akun yang dimiliki oleh masing-masing mahasiswa. Mekanisme demikian sangat meminimalkan kemungkinan akun pemilih akan dibobol oleh oknum tak bertanggungjawab. Dan untuk mengantisipasi kemungkinan kecurangan seperti itu, sebuah akun yang telah digunakan untuk memilih tidak akan mungkin dapat digunakan kembali untuk yang kedua kali, kendati username, NIM dan password benar-benar asli kepunyaan seseorang. Dari sini prinsip one man one vote, tetap menjadi prinsip kerja dari sistem pencoblosan berbasis IT ini.

Kedua, saat memilih calon, ketika menggunakan sistem pencoblosan berbasis IT hanya membutuhkan sekali “klik” saja pada kursor tampilan komputer yang disediakan oleh Kopurwa. Jelas berbeda dengan cara manual yang wajib membutuhkan kertas suara dan paku payung sebagai media otentik untuk menentukan pilihan suara pada salah satu calon secara sah. Sistem IT ini juga akan langsung menghitung secara akumulatif pada siapa calon yang memiliki suara terbanyak.

Ketiga, saat rekapitulasi suara mencari pemenang. Akan menjadi sangat sederhana dalam tahap rekapitulasi suara, Kopurwa tak perlu bersusah payah lagi untuk menghitung berapa jumlah suara yang telah masuk dan terakumulasi menjadi suara terbanyak pada salah satu calon. Karena sistem ini akan secara otomatis menghitung jumlah keseluruhan suara yang masuk ke sistem dengan cara meng-klik satu kali gambar pasangan calon pemilihan umum. Jadi cukup memudahkan kerja secara mekanistik pihak Kopurwa untuk melihat dan mengesahkan siapa calon pemimpin yang menang dengan perolehan suara terbanyak.

Memperbincangkan tentang sistem pencoblosan berbasis IT yang seakan-akan berhasil menyederhanakan proses pencoblosan manual menggunakan surat suara yang begitu menjemukkan, menjadi ketertarikan secara batiniah yang tak lama akan memicu ghiroh, gaung dan atmosfer berpolitik warga negara miniatur negara kampus UIN Sunan Ampel Surabaya. Beberapa penjelasan dan kelebihan dari sistem baru pencoblosan berbasis IT tidak hanya berhenti sampai disitu, penjelasan secara terperinci akan kita paparkan, agar mudah untuk dipercakapkan. Namun kita akan memperjelas dengan rinci bagaimana detail penggunaan sistem baru yang disinyalir menjadi pencerah bagi mereka yang benar-benar merindukan titik balik akal sehat berpolitik, atau sebaliknya menjadi malapetaka bagi mereka kelompok-kelompok yang statistik pemenangan pemilihan umum yang terbiasa mereka mereka peroleh dengan cara-cara curang.  

Sebelum itu tentunya nalar kritis kita mencuat dengan bertanya, sebenarnya siapa orang yang membuat sistem pencoblosan berbasis IT ini? Dan apa isi kepala yang melandasi pembuatan alat pencoblosan berbasis IT ini? 

Abdul Aziz nama, adalah seroang sahabat saya yang belakangan menjadi populer karena karya IT monumentalnya benar-benar menjadi buah bibir kalangan politisi kampus UIN Sunan Ampel Surabaya. Entah, ia menyadari atau tidak, perkenalan saya dengan beliau, saya ingat betul, hingga akhirnya kami akrab, karena dia adalah seorang mahasiswa angkatan pertama yang baru masuk di UIN Sunan Ampel Surabaya jurusan Sistem Informasi (SI) Fakulas Sains dan Teknologi (Saintek) tahun 2014, yang mendadak ditunjuk secara tak sengaja menjadi salah satu anggota presidium sidang perdana musyawarah mahasiswa Fakultas Saintek dan Fakultas Psikologi & Kesehatan (FPK) paska berdiri sendiri sebagai fakultas baru yang independen dari fakultas lama yang menaungi. Dengan segala dinamika politik awal pembentukkan suprastruktur negera kampus Fakultas Saintek dan FPK yang bebarengan pula dengan diresmikannya fakultas baru (diresmikan oleh M. Nuh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebelum diganti pada era Presiden Jokowi), Aziz menjadi salah satu stakeholder yang turut membidani berdirinya DEMA dan SEMA Fakultas Saintek lengkap beserta komponen keenam Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ ) di Fakultas Saintek.

Seorang yang berparadigma taktis, berpandangan visioner melihat jauh kedepan, cekatan, dengan logika sistematis, rasionalis, empiristik untuk menyederhanakan apa yang nampaknya ruwet dan punya potensi untuk disederhanakan, Aziz dipertengahan tahun 2016 telah memulai  proyek pengguncang peradaban politik mahasiswa yang mencengangkan kita semua, yakini membuat sistem pencoblosan berbasis IT untuk pemilihan umum raya mahasiswa. Mungkin cukup mengagetkan bagi sahabat-sahabat saya yang mendadak mendengar adanya sistem canggih yang memungkinkan pencoblosan dengan cara manual bisa disederhanakan dengan cara yang lebih modern, cepat dan menatap kedepan, diawal tahun 2017. Rasa terkaget-kagetnya mungkin, saya pikir, lebih kepada sebuah firasat buruk akan cara-cara lama yang manual dalam (melakukan kecurangan, manipulasi, penghasutan, dan penipuan) pencoblosan pemilu akan mustahil untuk ditradisikan kembali. Karena sistem pencoblosan berbasis IT itu merupakan produk akal fikiran yang sehat, yang telah terbakukan kedalam suatu sistem software dunia digital baku yang statis, dimana akal sehat politik dapat terpelihara, terkoreksi dan terawasi dengan tepat (tanpa butuh keterlibatan manusia an sich, yang punya kecenderungan error).

Sedangkan kenyataan lain yang telah kita jabarkan diawal, kognisi yang menganggap bahwa curang adalah satu-satunya jalan terang menuju kemenangan di dunia politik mahasiswa (yang itu hanya bisa dilakukan dengan cara-cara manual), akan diperkeruh dengan adanya tradisi untuk mengharuskan cara manual tersebut (yang bisa dimanipulasi) harus terus digunakan. Lihat disini. Betapa sakitnya jiwa dan akal fikiran ini ketika menyadari kenyataan yang tak tampak dari dunia politik mahasiswa kita selama ini.

Dalam proses pembuatan sistem pencoblosan berbasis IT ini, Aziz mengatakan hanya dibantu oleh seorang sahabat perempuan dikelasnya dan seorang dosen pembimbing yang senantiasa sabar ngemong ketidaktahuan Aziz dalam mempelajari sistem informasi yang super njlimet. Di ruang pusat pangkalan data Gedung Rektorat lama UIN Sunan Ampel Surabaya, di situlah kantor atau ruang kerja milik dosen pembimbingnya, Aziz tak jarang hingga menginap berhari-hari numpang makan, numpang mandi, numpang wifi-an dan numpang tidur selama proses pembuatan sistem pencoblosan berbasis IT tersebut. Hari senin, 6 Febrari 2017 di lantai 2 Gedung FPK, Wakil Dekan III FPK mendadak mengundang seluruh pejabat organisasi intra parlementer kampus di tingkat Fakultas Saintek dan FPK untuk melihat peragaan sistem pencoblosan berbasis IT ciptaan Aziz. Hari itu adalah hari dimana sistem pencoblosan berbasis IT tersebut telah siap digunakan dan disosialisasikan kepada khalayak publik. Saya pribadi selama peragaan berlangsung tak ada satupun pertanyaan yang hendak menguliti sisi kelemahan dari sistem pencoblosan berbasis IT tersebut, apalagi dengan dalih kemungkinan-kemungkinan terburuk tentang serangan hacker, kesalahan sistem dan lain sebagainya, atas penggunaan sistem pencoblosan berbasis IT tersebut selama pencoblosan pemilu raya berlangsung.

Sebuah kecurigaan muncul mendadak dari seorang yang duduk paling belakang ruang sidang, tanpa mengacungkan tangan atau meminta izin pada pimpinan sidang untuk mengutarakan pendapat, orang tersebut menyeloroh lantang, “alat pencoblosan itu bisa saja adalah cara dari kelompok sebelah untuk melancarkan kepentingan mereka!” Dari sini kita tahu maksud pertanyaan orang tersebut, belakangan kita ketahui adalah penyusup kelas teri dari kubu salah satu organisasi ekstra parlementer kampus yang jumlahnya adalah mayoritas di UIN Sunan Ampel Surabaya. Tentu kecurigaan itu pasti ada. Tapi tunggu dulu, kita hendaknya melihat dari mana epistemologi susunan kalimat yang diucapkannya dan logika berfikir orang (si penanya) yang memiliki karakteristik kecurigaan semacam itu. Dan saya harap kita semua tak habis pikir untuk mengkritisi cara berifkir demikian, yang ternyata itu adalah lumrah sebagai produk berfikir dari orang-orang yang berada di dalam istana dan tembok besar rezim. Ucapan tersebut adalah dagelan yang sejujurnya saya buat demikian karena rasa geram saya secara pribadi melihat sahabat-sahabat yang saya sayangi, kata para sufi yang hidup di goa kontemplasi bernama warung kopi, “kopine sing diseruput kurang pahit, ngopine sedino kurang suwi, lan duline sak ben dino kurang adoh.”

Namun kita tak menafikkan kecurigaan-kecurigaan demikian memang benar adanya, sebagai fakta sosial, kita tak boleh menolaknya. Tentu untuk menjawab itu, kita akan mulai melihat apa yang melatarbelakangi seorang bernama Aziz harus bersusah payah, sampai-sampai ia numpang tidur, numpang makan dan numpang mandi di ruang kerja dosennya hanya untuk sebuah alat atau sistem pencoblosan berbasis IT untuk pemilu raya.

Diawal pembuatan alat tersebut Aziz selalu terbuka bercerita kepada saya tentang segala sesuatu menyangkut perkembangan sistem pencoblosan berbasis IT ciptaannya itu. Dan saya sangat antusias mendengarnya, karena begitu berapi-api ia ketika bercerita akan kelebihan sistem pencoblosan berbasis IT ciptaannya itu. Bahkan ia tak sungkan bertanya pada saya, sebuah pertanyaan yang saya sendiri tak mampu menjawab langsung dihadapannya. “Apakah alat ini dapat diterima oleh kita semua? Apakah alat ini dapat membantu kita semua? Apakah alat ini dapat menyelesaikan problem utama mahasiswa dalam berpolitik di UIN Sunan Ampel Surabaya?” Pertanyaan itu sungguh sulit untuk mencari kosakata yang mampu secara tegas menjawabnya. Saya hanya terdiam dan berfikir ulang dalam-dalam. Betapa mulianya seorang bernama Aziz dan segala ikhtiar, ijtihad yang ia upayakan dalam proses pembuatan sistem pencoblosan berbasis IT-nya. Problem kita sebenarnya bukan apakah alat tersebut dapat kita terima, dapat membantu, atau dapat mengentaskan masalah kita semua dalam perpolitikan mahasiswa. Secara akal sehat alat ciptaan Aziz, sangat berhasil membantu kita semua dan mengentaskan problem mendasar perpolitikkan mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya. Tapi problem paling utama setelah alat ini rampung dan siap pakai, hanya satu hal yang akhirnya menjadikan rasa takut saya menjadi-jadi begitu menyeramkan, karena. “Saya takut mereka pada akhirnya berpura-pura.”

Berpura-pura atas apa? Berpura-pura menerima kehadiran sistem pencoblosan berbasis IT ciptaan Aziz, atas ketakutan mereka yang menganggap akan sulit sekali untuk melakukan tradisi-tradisi lama. Yakni curang, menipu, dan manipulasi. Suatu paradoks dari cara berfikir mahasiswa yang seharusnya mustahil muncul di usia perkembangan mereka ketika masih berada di kampus.

Padahal andai kata sahabat-sahabat saya yang sakit pikirannya tentang politik mahasiswa tahu apa isi kepala seorang yang bertubuh ceking, berkulit kuning langsat, berlogat medok khas Bojonegoro, bernama Aziz si pembuat sistem pencoblosan berbasis IT ini. Akan menjadi dongkol tak terkira selama hidupnya. Kecurigaan tentang Aziz adalah misionaris dari seorang yang mereka sebut sebagai Kader PMII Cabang Surabaya Selatan yang dengan sengaja membuat sistem pencoblosan berbasis IT ini untuk memenangkan kubu mereka, atau seorang yang sengaja diperintah oleh pihak rektorat untuk mencederai proses politik mahasiswa sekaligus menjadi antek Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Keamanan Kampus wajah baru (Neo NKK-BKK), adalah kecurigaan keliru, primitif, naif dan tak berlandaskan.

Aziz membuat sistem pencoblosan berbasis IT ini dengan satu buah kesadaran dikepalanya, yang ini harus menjadi otokritik dan refleksi kritis secara habis-habisan menelanjangi diri kita sebagai organisasi ekstra parlementer kampus. Bahwa sistem pencoblosan berbasis IT itu diciptakannya dengan kesadaran bahwa ia ingin proses perpolitikan kampus dalam momen pencoblosan yang super ribet dengan cara manual, dapat ia sederhanakan menjadi berbasis IT yang super canggih sebagai ikhtiar menyambut dan misi besar dari UIN Sunan Ampel Surabaya yang katanya menuju The World Class University. Dan juga rasa geram pribadi dalam dirinya tentang percaturan politik mahasiswa yang pernah ia alami, seakan-akan milik mereka yang berbendera saja. Kasus yang ia ungkap sekaligus menjadi landasan berfikir tentang pembuatan sistem pencoblosan berbasis IT ini adalah ia begitu geram dengan (pengalaman diawal kepengurusan) prosesi pemilihan Gubernur DEMA dan ketua SEMA di Fakultas Siantek yang tiba-tiba saja berlangsung tanpa ada sosialisasi dan tanpa ada transparasi dari pihak-pihak terkait. Bagainya percaturan politik adalah mainan khusus bagi mereka yang punya wewenang saja dan seakan-akan ia sebagai salah satu mahasiswa Fakultas Saintek yang tak benar-benar dianggap dan tak benar-benar penting bagi mereka yang kemaruk akan kekuasaan.

Bayangkan betapa sederhana cikal bakal pemikiran yang akhirnya menjadi landasan fundamental ia bersikeukuh untuk membuat sistem pencoblosan berbasis IT ini tanpa ada seorangpun atau kelompok manapun yang turut mengintervensi bahkan mendanai pembuatan sistem pencoblosan berbasis IT ini. Dari sini masihkah kita hendak mengkritisi seseorang bernama Azis dan karya sistem pencoblosan berbasis IT-nya. Tak ada yang lebih baik selain refleksi kritis secara habis-habisan untuk menelanjangi diri sendiri, bahwa kita organisasi ekstra parlementer kampus yang benar-benar berisikan omong-kosong, autisme, dan segudang hegemoni yang menyebabkan hemisfer kanan dan hemisfer kiri otak para mahasiswa (entah yang menjadi kader atau anggota, bahkan pengurus sekalipun) lumpuh sama sekali, akibat sakit.

Ikuti tulisan menarik Luhur Pambudi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu