x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Adakah Politikus yang tidak (pernah) Berbohong?

Politikus berbohong untuk mengeksploitasi ketidaktahuan (kebodohan) publik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Dalam satu kesempatan berpidato di JIExpo, Kemayoran, Jakarta Pusat, beberapa pekan lalu, Presiden Joko Widodo mengutarakan pernyataan yang menarik. “Kita harus akhiri politik kebohongan, politik yang merasa benar sendiri, dan mari kita perkuat politik pembangunan, politik kerja, politik berkarya,” kata Presiden seperti dikutip media.

Orang awam, rakyat jelata, tentu saja bertanya-tanya, jadi selama ini para politikus sering menggunakan kebohongan untuk mencapai tujuan politiknya? Atau, bila tidak ingin sekencang itu tudingannya, apakah politikus kadang-kadang berbohong? Apakah kebohongan selalu melekat dalam politik? Atau, dengan cara lain kita juga dapat bertanya: “Adakah politikus yang tidak pernah berbohong?”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seperti apa wujud kebohongan itu? Banyak, sebenarnya. Misalnya saja dengan mengatakan ‘Saya tidak tahu’, padahal ia tahu, hanya saja tidak mau berkomentar. Ia menyimpan rapat-rapat apa yang ia tahu untuk kepentingan tertentu.

Dalam salah satu ucapannya yang diungkap oleh Wikileaks, seorang politikus terkemuka AS mengakui bahwa ia kadang-kadang mengambil posisi ‘publik’ yang sebenarnya berbeda dengan posisi ‘pribadinya’. Dengan kata lain, ia kadang-kadang berbohong kepada umum mengenai apa pandangan dia yang sebenarnya. Inilah salah satu cara yang dilakukan politikus agar namanya tetap mendapat tempat di hati masyarakat, walaupun sebenarnya ia punya pandangan yang berbeda mengenai sebuah isu. Di ruang-ruang tertutup dan terbatas, ia akan menyampaikan pandangannya yang asli.

Lantas, mengapa politikus berbohong?

Dalam tulisannya di Washington Post, dua tahun lalu, Ilya Somin, guru besar hukum di George Mason University, mengungkapkan sejumlah alasan mengapa politikus berbohong. Pertama, agar urusannya beres, untuk negosiasi. Somin mengutip tulisan Jonathan Rauch, seorang ilmuwan di Brooking Institution, yang menggambarkan bahwa dalam politik hipokrisi dan doublespeak merupakan alat politik. Contohnya, Presiden Dwight Eisenhower membantah bahwa Uni Soviet telah menembak jatuh pesawat mata-mata AS, padahal faktanya memang demikian. Lantas apa tujuan Eisenhower? Untuk melindungi prestise dan keamanan negaranya.

Politikus juga berbohong untuk mengeksploitasi ketidaktahuan (kebodohan) publik. Politikus kerap menganggap masyarakat tidak tahu mengenai sesuatu, dan karena itu mereka menyatakan hal yang berbeda dari yang sebenarnya. Ketidaktahuan masyarakat mengenai sebuah isu penting akan dibiarkan oleh politikus untuk menjaga kepentingan mereka sendiri. Apa yang politikus sampaikan kepada umum berbeda dengan apa yang secara persis mereka ketahui. Repotnya, seringkali masyarakat lebih menyukai sebuah informasi apabila itu sesuai dengan apa yang mereka bayangkan, harapkan, atau prasangkakan, walaupun itu tidak sesuai dengan fakta obyektifnya.

Meyakinkan publik agar memercayai kebohongan merupakan salah satu cara yang lazim berjalan di dunia politik di manapun. Di era pasca-kebenaran, praktik ini semakin kencang. Karena itu, seruan untuk mengakhiri politik kebohongan memang bagus, namun seruan ini berlaku bagi siapapun yang terjun ke dunia politik, antara lain dimulai dengan kegiatan muhasabah atau introspeksi diri. Mudah-mudahan saja adagium ini tidak berlaku di sini: “Insentif bagi politikus ialah terpilih, bukan memberitahukan kebenaran.” **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu