x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bila tak Mampu Menolong, Jangan Kirim Hoax

Di tengah musibah, masih saja ada orang yang membuat dan menyebarluaskan hoax.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Di saat terjadi bencana ataupun musibah, tangan-tangan gatal tidak juga sanggup menahan diri untuk tidak membuat dan mengedarkan kabar palsu (hoax). Seperti disebutkan oleh Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kabar yang beredar bahwa seorang bayi selamat dari musibah Lion Air adalah kabar palsu. Yang benar, bayi dalam foto itu adalah penumpang yang selamat pada saat Kapal KM Lestari Maju tenggelam di perairan Selayar, Sulawesi Selatan,  Juli 2018.

Yang juga hoax, kata Sutopo, adalah video berdurasi 45 detik yang menunjukkan suasana dalam kabin pesawat yang sedang mengalami guncangan. Video ini bukan tentang situasi kabin Lion Air JT 610, melainkan pesawat Lion Air JT-353 dengan rute penerbangan Padang-Jakarta yang sedang mengalami turbulensi. Pada kejadian ini semua penumpang selamat. Seperti dikutip media, melalui akun Twitter, Selasa, 30 Oktober 2018 , Sutopo mengingatkan: “Jangan ikut menyebarkan hoax.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam situasi krisis, saat bencana dan musibah terjadi maupun ketika penanganan atau evakuasi sedang berlangsung, hoax sungguh berbahaya, sebab berpotensi mengacaukan dan mengeruhkan situasi. Saat bencana dan musibah terjadi, komunikasi merupakan unsur vital dan krusial yang sarananya diupayakan dapat berfungsi optimal dalam menyampaikan informasi dengan cepat, jelas, dan akurat. Kesimpangsiuran informasi karena masuknya berbagai kabar palsu akan sangat mempersulit penyelamatan dan evakuasi.

Evakuasi maupun pengiriman bantuan medis, makanan, dan pakaian hanya akan tepat sasaran apabila komunikasi berjalan cepat, jelas, dan akurat. Lantaran itu, dalam penanganan pascabencana, pemulihan sarana komunikasi bahkan harus dilakukan terlebih dulu dengan cepat, seperti penggunaan telepon satelit.

Melalui komunikasi, mereka yang berada di lokasi bencana dapat mengirim kabar atau dihubungi oleh sanak keluarga, sehingga kondisi mereka dapat diketahui lebih dini: sehat, terluka ringan, atau terluka parah. Komunikasi yang lancar juga memudahkan pengiriman bantuan medis dan regu penolong dengan lebih tepat sasaran. Komunikasi yang lancar penting untuk menyampaikan informasi yang benar tentang perkembangan keadaan dari waktu ke waktu, ada gempa susulan atau tidak, seberapa luas dan dalam tingkat kerusakan yang ditimbulkan.

Hoax jelas mengacaukan semua upaya itu. Entah apa yang ada di benak orang-orang yang membuat dan mengedarkan berita palsu mengenai bencana dan musibah. Rasa empatetik dan simpatetiknya patut dipertanyakan. Dampak yang ditimbulkan hoax bukan hanya mengacaukan penanganan korban bencana dan musibah, tapi juga mengacaukan harapan sanak keluarga yang jauh maupun masyarakat pada umumnya.

Sebuah foto atau video yang menggambarkan orang-orang yang selamat dari bencana, misalnya, jika kemudian ternyata palsu, ini dapat memupus harapan saudara-saudaranya yang berada di tempat jauh. Di satu sisi, hoax dapat menumbuhkan harapan yang tidak semestinya karena sesungguhnya anggota keluarga ternyata sudah wafat, di sisi lain hoax dapat pula membunuh harapan bila anggota keluarga dikabarkan sudah meninggal padahal kenyataannya masih hidup.

Sayangnya, selalu saja ada orang yang—entah bermain-main atau memang berniat jahat—mengirim berita palsu alias hoax di media sosial. Padahal, andaikan kita tidak dapat membantu sesama manusia yang tengah diterpa bencana dan musibah karena tempat tinggal jauh, tak punya uang atau material untuk didonasikan, tidak memiliki kapabilitas yang dapat diperbantukan sebagai relawan, maka setidaknya kita dapat melakukan hal yang sedikit berguna untuk meringankan kesusahan saudara kita: “Jangan membuat hoax maupun menyebarluaskannya.”

Bila musibah dan bencana tetap saja menjadi bahan candaan, olok-olok, dan tipu-menipu, ini pertanda bahwa penyakit sosial memang sudah merambati masyarakat kita. Rasa empati dan kemanusiaan semakin terkubur. (Foto: tempo.co) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu