Identitas dalam Politik, Halalkah?

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di Amerika dan Eropa sendiri, kegelisahan kelas pekerja yang dihadapkan pada realitas PHK mendorong mereka untuk memilih nasionalisme-populis.

Catatan kecil gara-gara baca Identity: The Demand for Dignity and The Politics of Resentment

 

Dalam pandangan Fukuyama, kebangkitan politik identitas tidak bisa dilepaskan dari kegagalan liberalisme dalam menghadirkan keadilan meski tingkat pertumbuhan produksi, perdagangan dan investasi internasional berkembang pesat di hampir seluruh penjuru dunia. Kesenjangan sosial terus melebar meski angka-angka statistika menunjukkan penurunan jumlah masyarakat miskin dan kematian balita.

Di Amerika dan Eropa sendiri yang merupakan negara-negara kampiun demokrasi liberal, tempat kelahiran neoliberalisme hasil perkawinan Tatcherisme dan Reaganisme, kegelisahan kelas pekerja yang dihadapkan pada realitas PHK dan deindustrialisasi mendorong mereka untuk memilih nasionalisme-populis yang ditandai dengan keluarnya Inggris dari Uni Eropa dan terpilihnya Donald J. Trump sebagai Presiden AS ke-45.

Bagaimana dengan Indonesia?

Fenomena serupa tampaknya juga menjadi wajah negeri ini paska dibukanya pintu liberalisasi melalui gerakan reformasi. Resep deregulasi melalui Structural Adjustment Program dan berbagai instrumen neoliberalisme yang diberikan IMF, World Bank, dan lembaga-lembaga kreditur lainnya tampaknya tidak berhasil mengeluarkan negara ini dari kubangan krisis, tetapi justru malah membuatnya kembali terperosok dan terjerat dalam ketergantungan. Dalam Hasil Riset Oligarki Ekonomi yang dipublikasikan oleh Megawati Institute disebutkan bahwa menurut laporan Credit Suise tahun 2017, 1% penduduk terkaya Indonesia menguasai 45,4% kekayaan nasional, dan 10% penduduk terkaya menguasai 74,8% kekayaan nasional.

Kondisi inilah yang mendorong terus terpeliharanya politik identitas dan kebencian dalam kehidupan kita. Dalam sebuah diskusi bertajuk Media dalam Dinamika Politik Identitas yang digelar di Jakarta 20 Juli yang lalu, saat menanggapi pertanyaan mengenai akar perbedaan yang meletupkan konflik di tengah masyarakat, Ariel Heryanto menyatakan, “selama ada ketimpangan sosial, ketimpangan ekonomi maka ada rasa tidak suka. Kalau orang tidak suka dan orang benci, tentu saja maklum kalau ada ujaran kebencian.”

Gejala yang cukup menarik dari situasi yang kita hadapi di Indonesia adalah, ketika politik identitas sama-sama digunakan oleh kedua belah pihak yang saat ini berkontestasi dalam ajang demokrasi elektoral. Simbol-simbol nasionalisme dan agama diperebutkan seolah milik kelompoknya sendiri sambil menegasikan hak kelompok lain untuk memberikan tafsir berbeda. Jargon-jargon semacam ‘pembela agama’ dan ‘penista agama’, atau ‘NKRI harga mati’ dan ‘pendukung khilafah’ menjadi garis pemisah di antara kelompok-kelompok yang berkonstestasi, membelah masyarakat ke dalam dua kubu yang saling berhadapan.

Politik identitas bisa jadi memang tidak bisa benar-benar dihilangkan, bahkan menurut Amy Guntmann dalam Mohammad Iqbal Ahnaf (2018), “identitas dalam demokrasi adalah wujud dari agregasi kepentingan yang merefleksikan realitas masyarakat.”

Ya, selama tidak diiringi kebencian, kehadiran identitas dalam politik pada dasarnya bukan masalah dan memang merupakan bagian dari proses demokrasi itu sendiri. Kehadiran kebencian terhadap pihak-pihak yang diposisikan berbeda identitas lah sebetulnya merupakan ancaman, yang dilahirkan dari ketimpangan sosial ekonomi di tengah masyarakat.

Tidak perlu disimpulkan dan dicarikan solusinya lagi kan?

Bagikan Artikel Ini
img-content
Iman Haris

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Para Wirausahawan yang Tidak-tidak

Selasa, 7 November 2023 11:40 WIB
img-content

Politik Positif Toksik

Jumat, 3 November 2023 12:52 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terpopuler di Peristiwa

img-content
img-content
Lihat semua