x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Hoax Itu Mirip Kentut

Kentut membuat orang saling tuding tentang siapa sumbernya. Begitu pula hoax.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Sepintas, jika ditimbang-timbang, hoax itu agak-agak mirip dengan kentut: aromanya tercium tidak enak, tapi tidak mudah menemukan sumbernya terlebih bila tidak bersuara. Umumnya, orang tidak mau berterus terang mengakui telah mengeluarkan kentut, kecuali bila kentutnya sambil bersuara, sebab orang bisa menebak dari arah mana suara kentut itu berasal. Begitu pula produse hoax, sebisa mungkin ia atau mereka bersembunyi dari penglihatan orang lain.

Yang juga menarik, ketika berada di tengah kerumunan, orang cenderung ingin tahu apakah memang ada bau kentut. Caranya, dengan mengembang-kempiskan hidung mereka. Bila sudah tercium, ‘Iya eh, bau kentut’, barulah orang menutup hidung mereka. Begitu pula, orang yang semula tidak tahu mengenai kabar tertentu lalu tertarik untuk mencarinya karena di medsos orang ramai berbicara tentang berita yang disebut-sebut hoax itu: “Apa sih isinya?”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sikap mereka setelah mengetahui informasi tersebut bisa bermacam-macam. Ada yang tidak percaya setelah membaca kabar tersebut, ada yang percaya tapi diam-diam saja atau tidak peduli, tapi ada pula yang percaya dan kemudian menyebarkannya ke orang lain. Jadilah hoax itu viral. Seperti halnya hoax, kentut pun mudah viral ke mana-mana, menebarkan aroma busuk ke udara dan memengaruhi otak kita, mengusik kesadaran kita, dan mungkin mengubah keyakinan kita tentang sesuatu.

Selama ini orang selalu ribut tentang banyaknya hoax, tapi siapa produsennya, kerap kali tidak terang benderang dan tidak terungkap tuntas. Kita cenderung menduga-duga dan bahkan mungkin berprasangka tentang siapa yang membuat hoax tertentu. Bahkan hoax telah membuat kita saling tuding siapa pembuatnya, seperti halnya jika kita membaui aroma kentut kita pun bertanya-tanya bahkan bisa saling menuding bahwa si anu yang kentut karena melihat segala macam makanan masuk ke dalam perutnya.

Kita punya kecenderungan untuk memercayai informasi yang sesuai dengan harapan kita, tapi menolak informasi yang tidak sesuai dengan apa yang kita bayangkan. Jika kecenderungan ini kuat membingkai cara berpikir kita, situasinya jadi repot sebab kita akan mudah memercayai informasi yang kita terima tanpa terlebih dulu memeriksa kebenarannya. Kita cenderung akan langsung membagi informasi itu tanpa terlebih dulu menyaringnya karena kita menganggapnya benar belaka. Hoax pun kita telan tanpa sikap curiga dan kritis.

Coba perhatikan pula hal lain. Dalam pilpres kali ini, kedua kubu yang berkompetisi secara politik sama-sama mengklaim menjadi sasaran dan korban hoax. Sebenarnya pengakuan sebagai korban itu bukan hal yang aneh-aneh amat. Sayangnya, mana mungkin ada produsen hoax yang terang-terangan mengakui: “Eh, hoax itu saya yang bikin!” Ia bisa jadi sasaran timpuk.

Meski begitu, mungkin saja kedua kubu memang tidak memproduksi hoax. Setidaknya, mungkin bukan lingkaran terdalam kedua kubu yang membuat hoax, melainkan buntutnya yang sudah jauh dari lingkaran terdalam, dan karena itu di luar kendali—tapi inipun harus dibuktikan dulu, tak bisa asal tuduh [Ingat film-film James Bond?; Bond selalu diingatkan bosnya, jika operasinya ketahuan, atasan tidak akan mengakui operasi itu dan lepas tangan]. Atau bisa pula pembuat hoax adalah penggemar masing-masing kubu, tapi ini juga harus dibuktikan, lagi-lagi tidak bisa asal sebut. Masalahnya, siapakah yang dapat diandalkan untuk memverifikasi kebenaran atau ketidakbenaran informasi yang disebut hoax itu? Siapakah pihak yang mampu bersikap mandiri dari kepentingan kedua kubu dan betul-betul berniat mencari kebenaran untuk kepentingan masyarakat luas?

Repotnya pula, ketika seseorang melempar informasi ke masyarakat luas, pihak tertentu bisa saja menyebut informasi itu sebagai hoax karena dianggap merugikan. Karena pihak yang berkepentingan ini berulang kali menyatakan bahwa info tersebut hoax, akhirnya masyarakat percaya bahwa info tersebut memang hoax, padahal belum tentu hoax. Itu baru klaim, sedangkan kebenaran atau ketidakbenarannya belum diverifikasi oleh pihak yang dapat diandalkan integritas dan kemampuannya.

Jika ada yang menduga bahwa masing-masing kubu memproduksi hoax untuk melemahkan kompetitornya, dugaan itu juga wajar tapi membuktikan dugaan ini kan tidak mudah. Nah, ada kemungkinan lain yang juga perlu dipikirkan, yaitu bahwa hoax tertentu mungkin saja diproduksi bukan oleh kedua kubu, melainkan pihak lain yang punya kepentingan sendiri. Entah apa kepentingannya: sekedar main-main, berniat mengeruhkan suasana dan menimbulkan kegaduhan, atau punya sasaran strategis tertentu.

Produsen hoax semacam itu mirip dengan orang yang membuang kentut di tengah kerumunan. Mungkin saja ia iseng dan senang melihat orang lain jadi sasaran tudingan, atau ia berniat menimbulkan keributan dan kegaduhan karena orang saling tuding, atau ia memang punya tujuan lain yang lebih serius. Misalnya, ia membuang kentut sehingga orang-orang ribut. Ketika orang-orang sibuk menyelamatkan diri dari aroma busuk kentutnya, ia memainkan tangan untuk merogoh dompet orang lain.

Tentu saja, mirip tidak berarti sama (apa lagi identik). Betapapun, kentut masih memuat unsur-unsur manfaat bagi manusia, khususnya bagi produsennya. Inilah salah satu mekanisme yang dirancang sedemikian rupa agar perut tidak sakit dan merupakan indikator bahwa seseorang harus segera menenuaikan hajatnya. Bahwa aromanya tidak sedap, ya dinikmati sendiri saja, tak perlu diumbar kepada khalayak dan kerumunan. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler