Informasi yang mengalir tanpa henti saja sudah memusingkan, apa lagi banjir dis-informasi. Ada informasi yang mungkin saja keliru tanpa diniatkan untuk mengecoh (mis-informasi), tapi ada pula informasi yang sengaja dibuat jadi salah dengan tujuan menyesatkan (dis-informasi). Dalam suasana yang sangat hangat menjelang 17 April, kedua kubu capres sama-sama merasa jadi korban kabar bohong alias hoax. Wajarlah bila kemudian ada yang bertanya: ‘Lantas siapa yang memproduksi hoax?’ Juga tidak terang-benderang.
Sebagai bentuk dis-informasi, hoax memang mengacau sistem informasi yang sedang berlaku, karena membuat orang berpaling dari informasi yang berlalu-lalang di media resmi (media arus utama) seperti suratkabar, televisi, radio, maupun media online. Di media sosial, orang-orang asyik membaca dan berbagi kabar-kabar yang tidak muncul di media-media resmi.
Jalur informasi berantai ini langsung menuju ke sasaran individual, karena masuk melalui pintu perangkat handphone. Banyak orang mudah terperangkap oleh kabar palsu melalui cara ini. Salah satu kemungkinan alasannya ialah karena mereka menemukan sudut pandang yang berbeda mengenai sebuah kejadian atau informasi; mereka menemukan kandungan yang berbeda dibandingkan yang beredar di media resmi.
Jika banyak orang mudah memercayai hoax yang beredar secara berantai atau viral melalui media sosial, ada beberapa hal yang dapat dipelajari dari ini. Pertama, bahwa banyak orang menerima informasi tanpa cadangan sikap kritis atau tanpa memeriksa kebenarannya terlebih dulu. Mereka langsung menganggap bahwa kabar itu benar.
Kedua, mereka menemukan informasi yang tidak beredar di media resmi dan menganggap kabar melalui media sosial sebagai alternatif yang lebih layak dipercaya. Banyak orang ingin tahu apa yang sesungguhnya terjadi di balik sebuah peristiwa. Ketika hal ini tidak terpenuhi oleh media resmi, mereka melihat kabr viral di medsos sebagai alternatif.
Ketiga, kepercayaan yang tinggi pada kabar yang viral di media sosial menandakan bahwa mereka kurang mempercayai media-media yang dikelola profesional. Misalnya, karena alasan integritas dan independensi media resmi yang diragukan karena pemiliknya memiliki kepentingan politik dan ekonomi tertentu serta newsroom-nya tidak independen.
Memburu produsen hoax akan jadi tidak produktif, dan hanya sedikit yang mungkin diketahui dan dikenai sanksi. Ketahanan masyarakat terhadap hoax dan dis-informasi akan lebih efektif dibangun melalui peningkatan transparansi informasi. Artinya, masyarakat memperoleh informasi yang benar, kredibel, akurat, tidak dimanipulasi, serta adil.
Ketahanan masyarakat akan informasi diperlukan untuk menghindari kekacauan, saling curiga, prasangka, maupun saling tuding. Bagaimana ketahanan ini dibangun, hendaknya bukan dengan cara menutup-nutupi apa yang penting diketahui umum, bukan dengan membungkam kritik, melainkan bersikap transparan, adil, dan tidak manipulatif. Bisik-bisik muncul karena ada yang tersembunyi dan banyak orang ingin tahu—mereka inilah yang jadi sasaran empuk hoax, siapapun produsennya. Jika hoax itu sesuai dengan apa yang dibayangkan oleh penerimanya, dengan mudah hoax itu ditelan sebagai kebenaran tanpa sikap kritis. **
Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.