Propaganda Romusha
Senin, 12 Agustus 2019 17:26 WIBSandiwara sebagai sarana propaganda Jepang untuk menggerakkan rakyat bergabung dengan Romusha. Sandiwara juga berperan dalam penggalangan dana perang di masa pendudukan Jepang.
Judul: Propaganda Romusha - Sandiwara Dari Jepang
Penulis: Dio Yulian Sofansyah
Tahun Terbit: 2018
Penerbit: Matapadi Presindo
Tebal: xvi + 162
ISBN: 978-602-1634-29-5
Selama ini kita mengenal penjajahan Jepang hanya dari kekejaman mereka terhadap rakyat. Tentara Jepang dengan sangat mudah menempeleng atau menyiksa rakyat yang tidak patuh. Masa penjajahan Jepang juga dikenal dengan masa eksploitasi seks oleh tantara terhadap perempuan-perempuan boemi poetera. Kisah Jugun Ianfu sudah banyak diteliti. Namun ternyata penjajahan Jepang juga diwarnai dengan propaganda yang luar biasa. Aspek propaganda melalui seni, khususnya sandiwara masih kurang dibahas dalam studi pendudukan Jepang atas Hindia Belanda.
Buku karya Dio Yulian Sofansyah, berjudul “Propaganda Romusha – Sandiwara dari Jepang” ini membahas peran sandiwara di masa pendudukan Jepang untuk menggerakkan rakyat, khususnya supaya merka bergabung dengan romusha. Selain dari perannya sebagai alat propaganda, sandiwara juga berperan untuk mengumpulkan dana perang bagi Jepang di Hindia Belanda.
Invasi Jepang ke Hindia Belanda tidaklah tiba-tiba. Jepang sudah mempersiapkan serangan ini setidaknya dari tahun 1920. Upaya-upaya pengintaian dan penyelidikan telah dilakukan secara intensif. Mereka mengirimkan orang-orang Jepang untuk berdagang ke Hindia Belanda sampai ke desa-desa. Beberapa mereka menyamar sebagai orang Tionghoa. Orang-orang inilah yang kemudian mengumpulkan banyak informasi tentang berbagai hal yang kemudian sangat berguna bagi masuknya tentara Jepang ke Hindia Belanda. Informasi tentang musim dan penyakit endemik dipakai untuk menentukan waktu dan tempat mendarat, sehingga tentara Jepang terhindar dari serangan penyakit tropis saat masuk ke Hindia Belanda.
Selain dari pengumpulan informasi melalui intelejen, Jepang juga sangat kuat dalam melakukan propaganda. Propaganda dilakukan baik sebelum Jepang masuk ke Hindia Belanda maupun saat mereka sudah ada di Hindia Belanda. Mereka melakukan dua pendekatan, yaitu: minshin ha’aku (mengambil hati rakyat) dan senbu kosaku (mendoktrin dan menaklukkan mereka). Propaganda dilakukan secara sistematis dengan membentuk badan-badan propaganda. Mereka menggunakan radio, press, pamflet dan perseorangan. Propaganda dilakukan secara masif.
Jepang juga melakukan kaderisasi, khususnya kepada wartawan Indonesia. Beberapa wartawan Indonesia diajak untuk berkunjung ke Jepang. Misalnya pada tahun 1933, pemimpin redaksi Bintang Timur diundang ke Jepang. Mereka juga menerbitkan surat khabar sendiri di Hindia Belanda pada tahun 1932. Surat khabar tersebut bernama Java Nippon, yang disusul dengan Nichiran Shogyo Shinbun dan Toh-Indo Nippo.
Propaganda yang begitu intensif, khususnya melalui surat khabar menyebabkan upaya Belanda untuk melakukan mobilisasi rakyat Hindia Belanda melawan Jepang menjadi kurang efektif. Rakyat Hindia Belanda malah banyak yang bersimpati kepada Jepang. Sebab mereka melihat Jepang sebagai saudara tua dan sebagai pembebas dari kolonialisme Belanda.
Setelah berhasil menduduki Hindia Belanda, Jepang mendirikan pemerintahan militer. Demi mensukseskan perang, Jepang melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam dan rakyat Hindia Belanda. Sumber daya alam berupa minyak bumi dan pangan diatur untuk keperluan perang. Sementara rakyat dieksploitasi untuk keperluan pembangunan infrastruktur yang mendukung perang. Dalam mengeksploitasi rakyat, Jepang mendekati para pemimpin pergerakan. Kepada mereka ini dijanjikan kemerdekaan Indonesia. Namun Jepang meminta mereka untuk mendukung kebijakan-kebijakan perang Jepang di Hindia Belanda, termasuk pengerahan tenaga kerja dari rakyat untuk pembangunan infrastruktur yang mendukung perang. Beberapa tokoh pergerakan kemerdekaan yang didekati Jepang adalah Sukarno, Muhammad Hatta, Ki Hajar Dewantoro, K.H. Mas Mansur, Amir Syarifuddin, Oto Iskandar Dinata, Samsudin, Sartono, Sukarjo Wiryopranoto, Sumanang dan Sutarjo. Para tokoh pergerakan kemerdekaan ini ikut serta mengkampanyekan Gerakan Tiga A – Jepang Cahaya Asia, Jepang Pelindung Asia dan Jepang Pemimpin Asia.
Untuk menggerakkan tenaga rakyat, Jepang memanfaatkan para pemimpin pergerakan ini dengan mendirikan Persatoean Tenaga Rakjat, yang kemudian diganti menjadi Djawa Hokai.
Selain menggunakan charisma para pemimpin pergerakan, Jepang juga menggunakan kesenian untuk memobilisasi rakyat. Buku karya Dio Yulian Sofansyah ini secara khusus mengulas tentang peran sandiwara sebagai alat propaganda Jepang. Khususnya propaganda untuk memobilisasi rakyat supaya bersedia menjadi angora Romusha.
Mula-mula Jepang melarang peredaran film-film Barat. Film-film Barat tersebut sudah digrandrungi oleh penduduk Hindia Belanda. Mereka lebih suka menonton film daripada melihat sandiwara. Padahal Jepang belum banyak memproduksi film yang mampu menyaingi film Barat. Itulah sebabnya Jepang melakukan pelarangan peredaran flim-film tersebut.
Sebagai gantinya, Jepang menghidupkan kembali sandiwara, yang pada masa Hindia Belanda dikenal dengan nama Tonil. Sandiwara atau tonil pernah menjadi tontonan yang sangat disukai oleh rakyat Hindia Belanda, khususnya di kota-kota besar. Beberapa kelompok sandiwara besar – seperti Dardanella, melakukan pertunjukan dari kota ke kota. Jika sandiwara pada masa Hindia Belanda hanya dinikmati oleh para orang kaya di perkotaan, pada masa Jepang, sandiwara dipentaskan sampai ke desa-desa.
Untuk menghidupkan kembali sandiwara, Jepang mendirikan Sekolah Tonil di Jakarta. Jepang juga memproduksi naskah-naskah sandiwara. Melalui Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidosho), ditulislah naskah-naskah sandiwara yang bertema perjuangan rakyat bersama Jepang. Naskah-naskah tersebut diedarkan kepada kelompok-kelompok sandiwara untuk dipentaskan. Karena hiburan untuk rakyat hamper tidak ada, maka sandiwara segera menjadi satu-satunya sarana hiburan rakyat. Beberapa kelompok sandiwara yang mendapat tugas khusus dari Jepang adalah Tjahaja Timoer, Bintang Soerabaja, Warna Sari dan sandiwara yang sudah eksis dari jaman Hindia Belanda, yaitu Miss Tjitjih. Jepang juga mendorong berdirinya kelompok-kelompok sandiwara di pedesaan. Selain memproduksi sendiri naskah-naskah drama melalui Pusat Kebudayaan, Jepang juga melakukan sayembara penulisan naskah sandiwara.
Salah satu tema besar dalam naskah-naskah sandiwara di jaman Jepang adalah pengerahan tenaga rakyat dalam romusha. Salah satu contoh naskah hasil sayembara berjudul “Koeli dan Romusya” karya J. Hutagalung. Supaya naskah-naskah yang berisi propaganda romusha ini segera menyebar, naskah dicetak dan dibagikan kepada kelompok-kelompok sandiwara. Naskah juga diterbitkan di surat khabar milik Jepang. Supaya naskah-naskah tersebut mudah dimengerti oleh rakyat, Jepang menggunakan tokoh-tokoh pewayangan yang sangat dikenal rakyat untuk halaman judul. Propaganda melalui sandiwara ini sangat berhasil untuk memobilisasi rakyat menjadi tenaga sukarela romusha.
Selain menjadi sarana propaganda Jepang, ternyata sandiwara juga disisipi oleh semangat kebangsaan. Meski melalui kontrol yang sangat ketat, tema kebangsaan dan kemerdekaan sempat masuk ke naskah-naskah sandiwara. Contohnya adalah naskah sandiwara berjudul Ajoo…djadi romusha. Dalam naskah ini sangat jelas ajakan untuk menjadi romusha. Namun dalam nyanyian yang ada di dalam naskah, terselip nada nasionalisme. Tema-tema nasionalisme menjadi semakin kentara saat-saat akhir pendudukan Jepang. Pada tahun 1944, misalnya, karya-karya yang judulnya jelas-jelas menggambarkan nasionalisme berhasil dipentaskan.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Tan Peng Nio - Pejuang Perempuan Melawan Belanda
Rabu, 30 Oktober 2024 10:17 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler