Fenomena Check Out Dulu, Mikir Belakangan

2 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
belanja online
Iklan

Era digital memicu konsumsi emosional, di mana emosi lebih berkuasa dari logika, mendorong belanja impulsif dan budaya konsumtif

***

Di era digital seperti sekarang ini, perilaku konsumsi manusia mengalami perubahan yang signifikan. Jika dahulu seseorang membeli sesuatu karena kebutuhan atau pertimbangan yang logis, tetapi saat ini dorongan emosional berperan lebih besar. Fenomena “check out dulu, mikir belakangan” menjadi gambaran nyata bagaimana perasaan bisa lebih berkuasa daripada akal sehat dalam urusan ekonomi di masa kini. Apalagi dengan teknologi yang serba gampang dan iklan digital yang menarik maka kita menjadi lebih tergoda untuk belanja tanpa berpikir panjang.

Perubahan cara manusia berinteraksi dengan produk juga dipengaruhi oleh platform belanja online seperti TikTok Shop, Shopee dan Tokopedia. Fitur flash sale, live shopping, dan diskon belanja secara besar besaran memancing reaksi spontan dari konsumen. Dalam hitungan detik, seseorang dapat memutuskan untuk membeli barang yang sebenarnya tidak terlalu diperlukan. Hal inilah yang disebut ekonomi emosional yaitu sistem ekonomi yang digerakkan oleh perasaan dan bukan kebutuhan.

Fenomena ini tak lepas dari strategi yang dijalankan oleh perusahaan digital. Mereka memahami bahwa manusia mudah terpengaruh oleh rasa takut kehilangan (Fear of Missing Out atau FOMO) dan tergoda oleh kesenangan instan. Setiap notifikasi, waktu promo, hingga testimoni influencer dirancang untuk menggugah emosi. Akibatnya, banyak orang membeli bukan karena butuh, tetapi karena ingin merasa senang walaupun hanya sebentar.

Namun, budaya konsumsi seperti ini memiliki dampak jangka panjang. Ketika keputusan ekonomi diambil secara impulsif maka banyak individu terjebak dalam siklus konsumsi yang tidak ada habisnya. Barang-barang menumpuk, kondisi finansial melemah karena tabungan menipis, sementara kepuasan dari belanja justru hanya bersifat sementara. Bahkan, muncul tekanan sosial baru yaitu siapa yang paling cepat mengikuti tren dianggap paling update.

Namun, budaya konsumsi seperti ini memiliki dampak jangka panjang yang tidak bisa dianggap sepele. Ketika keputusan ekonomi diambil secara impulsif tanpa pertimbangan rasional, banyak individu akhirnya terjebak dalam siklus konsumsi yang tidak ada habisnya. Setiap kali muncul tren baru maka akan muncul dorongan untuk membeli lagi, seolah-olah kepemilikan barang menjadi tolak ukur kebahagiaan. Akibatnya, barang-barang menumpuk tanpa terpakai, kondisi finansial melemah karena tabungan terus menipis, sementara kepuasan yang diperoleh dari aktivitas belanja hanya bersifat sementara. Selain itu, muncul tekanan sosial baru di mana siapa yang paling cepat mengikuti tren dianggap paling “update” dan relevan, menciptakan lingkaran persaingan sosial yang semakin memperkuat budaya konsumtif di era digital ini.

Di sisi lain, ekonomi emosional juga mencerminkan perubahan nilai dalam masyarakat digital. Kepemilikan barang kini bukan hanya soal fungsi tetapi menjadi bentuk identitas. Generasi muda sering merasa perlu membeli demi tetap relevan dan diterima dalam percakapan sosial. Aktivitas belanja akhirnya menjadi ekspresi diri, bahkan pelarian dari stres dalam kehidupan.

Namun, fenomena ini tidak sepenuhnya negatif atau buruk. Bagi pelaku usaha kecil atau UMKM, ekonomi emosional juga membuka peluang baru, terutama bagi pelaku usaha kecil yang mampu membangun kedekatan emosional dengan konsumennya. Melalui penyampaian nilai yang relevan dan cara komunikasi yang jujur serta apa adanya, banyak brand lokal berhasil menarik perhatian pasar dan membangun loyalitas konsumen. Bahkan, produk yang awalnya tampak biasa saja bisa memiliki daya tarik lebih ketika dikemas dengan pendekatan yang menyentuh sisi emosional konsumen, sehingga usaha kecil tetap punya kesempatan berkembang dan bersaing dengan brand besar.

Meskipun begitu, tantangan terbesarnya adalah bagaimana menyeimbangkan emosi dan rasionalitas. Seorang konsumen perlu belajar menahan diri sebelum melakukan pembelian. Dengan mengendalikan bukan berarti menolak kesenangan, tetapi memastikan bahwa kesenangan tersebut tidak merugikan diri sendiri. DI era yang serba cepat dan penuh oleh godaan promo, mungkin yang paling mahal bukan barang yang kita beli melainkan kemampuan untuk berhenti sejenak dan berpikir.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Dewi Rahmadani

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler