74 Tahun Merdeka: Peran TNI di Era Presiden Jokowi Kebablasan?
Senin, 12 Agustus 2019 12:49 WIBKebijakan itu menyebabkan tumpang tindih antara fungsi TNI sebagai kekuatan pertahanan negara dengan kepolisian sebagai kekuatan keamanan dan ketertiban masyarakat.
Kebijakan Presiden Joko Widodo mengenai peran Tentara Nasional Indonesia dalam mengatasi terorisme mendapat sorotan tajam. Bukan sekedar memberikan bantuan jika diminta oleh kepolisian, tentara berperan aktif ikut memerangi kejahatan itu.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia terang-terangan menolak draf peraturan presiden yang mengatur pelibatan TNI dalam urusan terorisme. Menurut Komisi, kebijakan itu menyebabkan tumpang tindih antara fungsi TNI sebagai kekuatan pertahanan negara dengan peran kepolisian sebagai kekuatan keamanan dan ketertiban masyarakat.
Bermula dari Revisi UU Terorisme
Campur tangan tentara itu bermula dari perubahan aturan pemberantasan terorisme lewat Undang-undang No 5 Tahun 2018. Undang-undang ini menyisipkan peran TNI dalam menangani terorisme. Disebutkan bahwa tugas TNI mengatasi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang.
Revisi Undang-undang Terorisme itu jelas berlebihan. Kebijakan ini diikuti dengan langkah Presiden Jokowi yang terburu-buru: membentuk Komando Operasi Khusus Antiteroris—hal yang sebetulnya tidak diperintahkan oleh undang-undang. Apalagi, apalagi pemerintah belum menerbitkan peraturan presiden mengenai pelaksanaan tugas TNI dalam mengatasi terorisme yang justru diamanatkan oleh undang-undang.
Komando Khusus itu beranggotakan prajurit pilihan dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara itu dipimpin oleh perwira bintang dua. Tanpa adanya batasan yang jelas, wewenang Komando Antiteroris akan mudah disalahgunakan.
Potensi terjadinya pelanggaran privasi dan hak asasi manusia semakin besar lantaran Undang-undang Terorisme juga memberikan kelonggaran penegak hukum untuk menahan seseorang hingga 21 hari hanya dengan “bukti permulaan yang cukup”. Walaupun terduga bisa dilepas jika tidak cukup bukti untuk menjadi tersangka, aturan itu membuka peluang penangkapan secara serampangan dan pelanggaran hak asasi manusia.
Wewenang yang Longgar
Draf peraturan itu memberikan wewenang bagi TNI untuk menangani terorisme yang mengancam ideologi, keutuhan dan kedaulatan negara. Kriteria ini amat longgar karena semua aksi terorisme akan mudah ditafsirkan sebagai ancaman kedaulatan negara.
Dalam draf peraturan itu, penanganan terorisme oleh tentara juga dikonstruksikan seperti operasi perang. Salah satu pasal menyebutkan bahwa penindakan mengatasi aksi terorisme dilaksanakan dengan menggunakan strategi taktik dan teknik militer sesuai dengan doktrin TNI.
Di negara-negara demokrasi yang telah mapan, pelibatan tentara dalam urusan sipil selalu dilakukan secara hati-hati. Di Inggris dan Australia, misalnya, terorisme ditangani kepolisian dan militer baru dilibatkan bila otoritas penegak hukum memerlukan bantuan. Keterlibatan militer terutama diperlukan untuk mengatasi terorisme berskala besar atau terjadi di medan yang sulit. Di Indonesia, hal serupa sebetulnya telah dilakukan TNI saat membantu polisi memburu gembong teroris di Poso, Sulawesi Tengah.
Konsep itu sebetulnya lebih pas. Undang-undang Kepolisian Negara pun menyebutkan: dalam melaksankan tugas keamanan, kepolisian dapat meminta bantuan Tentara Nasional Indonesia. Jokowi Widodo semestinya berpatokan pada prinsip ini. Ia seharusnya tidak memberikan wewenang TNI secara permanen ikut menangani terorisme yang jelas menyangkut aspek keamanan dan ketertiban masyarakat. ***
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
74 Tahun Merdeka: Peran TNI di Era Presiden Jokowi Kebablasan?
Senin, 12 Agustus 2019 12:49 WIBTiga Penyebab Ide Densus Antikorupsi Bikin Gaduh
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler