x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 17 Agustus 2019 12:24 WIB

17 Agustus-an, Teringat Sjahrir

Dari sisi sudut pandang mengenai demokrasi, bagaimana Indonesia dibangun, maupun peran partai politik, umpamanya, Sjahrir memang lebih dekat dengan Hatta ketimbang dengan Sukarno.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebuah foto adalah rekaman atas suatu momen yang berlangsung barangkali hanya 1 detik saja. Namun, momen yang amat singkat itu mampu menimbulkan beragam tafsir tentang apa makna adegan yang terekam di foto itu. Padahal, sangat mungkin momen yang terekam dalam foto itu hanyalah bagian kecil dari rangkaian adegan—yang jika direkam seluruhnya akan menjadi animated, jadilah gambar bergerak atau rekaman video yang dapat memberi gambaran lebih utuh mengenai apa yang terjadi.

Karena foto tampil terpisah dari adegan yang menyertainya, sebelum maupun sesudah adegan yang terekam dalam foto, tak heran bila orang kadang-kadang keliru tafsir dalam upaya memahami foto itu. Itulah yang mungkin terjadi manakala kita memandang foto yang seringkali muncul di muka publik, yang merekam adegan tiga sosok historis bagi negeri ini: Sutan Sjahrir, Sukarno, dan Mohammad Hatta.

Duduk bertiga di bangku yang sama, gaya Sjahrir berbeda dari gaya Bung Karno dan Bung Hatta. Kedua proklamator kemerdekaan ini meletakkan paha kanannya menyilang di atas paha kiri masing-masing, sedangkan Sjahrir seolah tengah memainkan jemarinya sembari mendengarkan Bung Karno berbicara. Walaupun akrab, Sjahrir terkesan agak canggung. Dibandingkan kedua proklamator itu, Sjahrir memang yang paling muda—beda usia mereka sekitar 7-8 tahun.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sjahrir baru berumur 36 tahun ketika diminta Sukarno-Hatta untuk menjadi perdana menteri RI. Walaupun Sjahrir mengecam keras para pemimpin nasional ketika itu yang dianggap berkolaborasi dengan Jepang, tapi Sukarno-Hatta tak punya pilihan lain. Dalam suasana revolusi, Sjahrir adalah pilihan terbaik termasuk untuk menunjukkan kepada Barat—yang umumnya mendukung Belanda—bahwa kemerdekaan Indonesia bukan rekayasa Jepang. Sjahrir pula yang mendesak Sukarno-Hatta agar segera memproklamasikan Indonesia sebelum 17 Agustus 1945, karena ia telah mendengar kabar penyerahan Jepang kepada Sekutu, namun ditolak.

Sejak muda, ketiga figur ini berjuang bersama, bahkan di saat-saat bangsa ini berada dalam keadaan paling genting, walau tak selalu seiring dalam cara. Dari sisi sudut pandang mengenai demokrasi, bagaimana Indonesia dibangun, maupun peran partai politik, umpamanya, Sjahrir memang lebih dekat dengan Hatta ketimbang dengan Sukarno. Sjahrir-Hatta mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia yang menekankan pendidikan politik untuk membangun kesadaran politik rakyat, sedangkan Sukarno membentuk Partai Nasional Indonesia lebih menekankan kepada aksi massa.

Kendati bekerja sama di awal kemerdekaan, hubungan Sjahrir dan Sukarno juga diwarnai perbedaan, dari pertengkaran kecil saat keduanya mandi di kamar yang bersebelahan lantaran Sjahrir tak suka Sukarno menyanyi dengan suara keras, hingga kritik Sjahrir terhadap Demokrasi Terpimpin ala Sukarno. Sjahrir bukanlah pemberontak, tapi ia memang orang yang keras dalam mengritik bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka. Ia menolak bekerja sama dengan Jepang, sementara Sukarno-Hatta terpaksa melakukannya karena alasan taktis.

Ketika Sukarno sudah ditinggalkan Hatta yang mundur dari kursi wakil presiden pada 1956, Sukarno bersikukuh dengan gagasannya tentang Demokrasi Tepimpin. Enam tahun kemudian, pada 16 Januari 1962, Sjahrir ditangkap oleh pemerintahan Sukarno. Sekali lagi, Sjahrir bukanlah seorang pemberontak, tapi ia orang yang memang keras dalam mengritik—dan ia konsisten menjalani perannya hingga masuk bui di masa pemerintahan kawan seperjuangannya sendiri.

Penjara membikin kesehatan Sjahrir memburuk, hingga ia terjatuh di kamar mandi, dan didiagnosis terserang stroke. Sjahrir tak lagi mampu berbicara dalam arti sebenarnya. Dalam kondisi sakit, Sjahrir dibawa ke Zurich, Swiss, untuk menjalani pengobatan. Namun, hidupnya harus berakhir di negeri asing, jauh dari negeri dan bangsa yang ia ikut berjuang memerdekakannya dari kolonialisme. Pada hari kematiannya itu, 9 April 1966, Sukarno—yang tengah menghitung hari-hari terakhirnya di Istana—membuat surat keputusan yang menetapkan Sjahrir sebagai pahlawan nasional. Tragis.

Begitulah, sejarah selalu menyimpan tragedi di dalamnya. Bagi kita yang hidup 74 tahun setelah proklamasi kemerdekaan, kita dapat belajar, seperti kata Y.B. Mangunwijaya, “Bahwa tokoh sejarah dan pahlawan sejati harus kita temukan kembali di antara kaum rakyat biasa sehari-hari, yang barangkali kecil dalam harta maupun kuasa, namun besar dalam kesetiaannya demi kehidupan.” Sjahrir orang yang teguh setia dalam perjuangan bagi negeri dan bangsanya, bahkan dalam keterasingannya di negeri orang. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB