Presiden Joko Widodo rupanya ngotot betul memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan Timur. Presiden telah menyurati Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Bambang Soesatyo berkaitan dengan rencana ini. Lokasi ibu kota baru berada di sebagian wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
"Saya paham bahwa pemindahan ibu kota negara ini, termasuk lokasinya membutuhkan dukungan dan persetujuan DPR. Oleh sebab itu, tadi pagi, saya sudah berkirim surat kepada Ketua DPR RI," kata Jokowi dalam konferensi pers di Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin, 26 Agustus 2019.
Rencana pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur itu telah dikaji oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. Anggarannya mencapai Rp 466 triliun itu. Keinginan Presiden itu akan mengundang resiko yang berat.
1.Mengubah banyak undang-undang
Pemerintah bersama DPR harus mengubah sejumlah undang-undang untuk memuluskan pemindahkan ibu kota. Misalnya, UU Pemerintahan Daerah, UU Tata Ruang, dan UU Lingkungan Hidup.
UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia jelas perlu pula direvisi . Pasal 3 undang-undang menyatakan: Provinsi DKI Jakarta berkedudukan sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia” .
2.MPR dan BPK harus berkantor di Ibu Kota baru
Konstitusi mengatur bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu kota negara. Untuk itu, perlu dipikirkan bagaimana nasib dari gedung DPR dan DPR yamg cukup berserjatah.
Begitu pula halya dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pasal 23G ayat 1 UUD 1945 menyebutkan bahwa BPK berkedudukan di ibu kota negara, dan memiliki perwakilan di setiap provinsi. Ini berarti kantor BPK pun perlu diboyong ke Kaltim. Baca : Implikasi Ketatanegaraan Pindah Ibu Kota
3.Boyongan pegawai dan keluarganya
Memindahkan ibu kota tidak berarti hanya memindahkan kantor, tapi juga banyak orang. Para penghuninya nanti tak hanya tinggal untuk bekerja, tapi juga menjalani hidup baru. Mereka butuh sekolah, rumah sakit, transportasi, dan berbagai fasilitas lain yang bisa membuat ongkos pemindahan ibu kota jauh lebih besar daripada perkiraan. Baca :Relokasi Ibu Kota
4.Memakan Waktu Lama
Membangun sebuah kota membutuhkan membutuhkan waktu sekitar 20 tahun . Pada periode 5-10 tahun berfokus pada pembangunan infrastruktur kota berupa istana negara, gedung pemerintahan, dan permukiman aparat sipil negara. Pada periode 11-20 tahun membangun kantor kedutaan besar, kantor pusat partai politik, dan hunian vertikal untuk penduduk.
5.Biayanya amat mahal
Semakin jauh lokasi ibu kota baru dari ibu kota saat ini tentu membuat biaya pembangunan semakin mahal. Membangun di tanah yang kosong pasti lebih mahal dibandingkan dengan meningkatkan infrastruktur dan fasilitas kota yang sudah ada. Baca: Seberapa Urgen Ibu Kota Baru
Ketimbang dihamburkan untuk membangun ibu kota baru, lebih baik anggaran negara digunakan untuk menghidupkan perekonomian di daerah. Caranya, antara lain, dengan menggeser sentra usaha dan bisnis ke luar Jakarta serta mendorong perusahaan-perusahaan untuk mendirikan kantornya di daerah, bisa dimulai dari perusahaan milik negara.
Jika perekonomian di daerah membaik, arus urbanisasi yang menjadi penyakit kronis Jakarta dengan sendirinya akan berkurang. Aneka masalah Jakarta lainnya yang merupakan dampak dari kepadatan penduduk, seperti polusi, sampah, dan kemacetan, pun akan lebih mudah diatasi. *****
Ikuti tulisan menarik Yosep Suprayogi lainnya di sini.