x

Presiden Joko Widodo memberikan keterangan pers terkait rencana pemindahan Ibu Kota Negara di Istana Negara, Jakarta, Senin 26 Agustus 2019. Presiden Jokowi secara resmi mengumumkan keputusan pemerintah untuk memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan Timur. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Iklan

Yosep Suprayogi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 26 Agustus 2019 17:49 WIB

Boyongan Ibu Kota ke Kalimantan Timur, Ini 5 Resiko yang Berat Pak Jokowi…

Lokasi ibu kota baru di sebagian wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Keinginan Jokowi akan mengundang resiko yang berat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Presiden Joko Widodo rupanya ngotot betul  memindahkan  ibu kota negara  ke Kalimantan Timur.  Presiden telah menyurati Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Bambang Soesatyo berkaitan dengan rencana ini.   Lokasi  ibu kota baru  berada di sebagian  wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

"Saya paham bahwa pemindahan ibu kota negara ini, termasuk lokasinya membutuhkan dukungan dan persetujuan DPR. Oleh sebab itu, tadi pagi, saya sudah berkirim surat kepada Ketua DPR RI," kata Jokowi dalam konferensi pers  di Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin, 26 Agustus 2019.

Rencana pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur  itu telah dikaji oleh  Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional.  Anggarannya mencapai  Rp 466 triliun itu.  Keinginan Presiden itu akan mengundang  resiko yang berat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

1.Mengubah banyak undang-undang
Pemerintah bersama DPR harus mengubah sejumlah  undang-undang untuk memuluskan pemindahkan  ibu kota.  Misalnya,  UU Pemerintahan Daerah, UU Tata Ruang, dan UU Lingkungan Hidup.

UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia  jelas perlu pula direvisi .  Pasal 3  undang-undang menyatakan: Provinsi DKI Jakarta berkedudukan sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia” .

2.MPR dan  BPK harus berkantor di Ibu Kota baru
Konstitusi mengatur bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat  bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu kota negara.  Untuk itu, perlu dipikirkan bagaimana nasib dari gedung DPR dan DPR yamg cukup berserjatah.

Begitu pula halya dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pasal  23G ayat 1  UUD 1945 menyebutkan bahwa  BPK  berkedudukan di ibu kota negara, dan memiliki perwakilan di setiap provinsi.   Ini berarti kantor BPK pun  perlu diboyong ke Kaltim.  Baca : Implikasi  Ketatanegaraan Pindah Ibu Kota

3.Boyongan pegawai dan keluarganya
Memindahkan ibu kota tidak berarti hanya memindahkan kantor, tapi juga banyak orang. Para penghuninya nanti tak hanya tinggal untuk bekerja, tapi juga menjalani hidup baru. Mereka butuh sekolah, rumah sakit, transportasi, dan berbagai fasilitas lain yang bisa membuat ongkos pemindahan ibu kota jauh lebih besar daripada perkiraan. Baca :Relokasi Ibu Kota

4.Memakan Waktu Lama
Membangun sebuah kota membutuhkan membutuhkan waktu sekitar 20 tahun . Pada periode 5-10 tahun berfokus pada pembangunan infrastruktur kota berupa istana negara, gedung pemerintahan, dan permukiman aparat sipil negara. Pada periode 11-20 tahun membangun kantor kedutaan besar, kantor pusat partai politik, dan hunian vertikal untuk penduduk.

5.Biayanya amat mahal
Semakin jauh lokasi ibu kota baru dari ibu kota saat ini tentu membuat biaya pembangunan semakin mahal. Membangun di tanah yang kosong pasti lebih mahal dibandingkan dengan meningkatkan infrastruktur dan fasilitas kota yang sudah ada. Baca: Seberapa Urgen Ibu Kota Baru

Ketimbang dihamburkan untuk membangun ibu kota baru, lebih baik anggaran negara digunakan untuk menghidupkan perekonomian di daerah. Caranya, antara lain, dengan menggeser sentra usaha dan bisnis ke luar Jakarta serta mendorong perusahaan-perusahaan untuk mendirikan kantornya di daerah, bisa dimulai dari perusahaan milik negara.

Jika perekonomian di daerah membaik, arus urbanisasi yang menjadi penyakit kronis Jakarta dengan sendirinya akan berkurang. Aneka masalah Jakarta lainnya yang merupakan dampak dari kepadatan penduduk, seperti polusi, sampah, dan kemacetan, pun akan lebih mudah diatasi.   *****

Ikuti tulisan menarik Yosep Suprayogi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler