x

Iklan

Syarifudin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 April 2019

Selasa, 3 September 2019 10:57 WIB

Menulis Ilmiah di Kalangan Kampus, Mitos atau Fakta?

Menulis ilmiah tergolong rendah di kalangan kampus. Kenapa bisa begitu? Menulis itu mitos atau fakta...

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Saya tidak bisa menulis.” Begitu kalimat sakti yang sering diucapkan banyak orang.  Menulis ilmiah memang sering dijadikan momok. Banyak orang atau mahasiswa tidak suka menulis. Menulis pun jadi kegiatan yang menakutkan. Menulis ilmiah dianggap sesuatu yang sulit. Entah karena memang malas atau jarang menulis.

Tidak sesuai harapan, alias jauh panggang dari api. Begitu realitas menulis ilmiah di kalangan mahasiswa dan dosen. Menulis hanya sebatas diskusi, tanpa eksekusi. Menulis hanya dipandang sebagai pelajaran, bukan perbuatan Lagi-lagi, menulis hanya sebatas teori bukan praktik. Terlalu banyak masalah yang dihadapi untuk meningkatkan kemampuan menulis ilmiah. Seolah, banyak masalah di sekitar menulis ilmiah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Faktanya, memang tidak banyak artikel atau jurnal ilmiah yang dilahirkan. Publikasi ilmiah pun sangat rendah. Akibat menulis ilmiah yang terabaikan, Indonesia tergolong lemah dalam publikasi ilmiah di jurnal internasional. Berdasarkan data Kemeristekdikti, kontribusi tulisan ilmiah Indonesia hanya 8-9 artikel per satu juta penduduk. Sementara di India mencapai 12 artikel per satu juta penduduk. Padahal, India jumlah penduduknya jauh lebih besar dari Indonesia, lebih dari 1,1 miliar orang.

Dibandingkan negara-negara ASEAN pun, posisi Indonesia lebih rendah dari Malaysia, Singapura, atau Thailand. Semua itu adalah bukti rendahnya tradisi menulis ilmiah di Indonesia. Sementara di negara-negara maju, rata-rata publikasi ilmiah sekitar 1.000 hingga 6.000 artikel per satu juta penduduk. (Okezone.com; 28/8/2015).

Bagaimana dengan menulis ilmiah di kampus?

Peringkat menulis jurnal ilmiah kampus di Indonesia pun tergolong rendah. Datanya, Indonesia berada di peringkat 64 dengan 13 ribu jurnal. Bandingkan dengan Singapura di peringkat 32 dengan 109 ribu jurnal. Malaysia di peringkat 43 dengan 55 ribu jurnal.

Lalu India menempati peringkat 10 dengan 533 ribu jurnal. Jumlah kampus di Indonesia yang terindeks Webometrics ada 352 kampus, sedangkan jumlah jurnal yang dihasilkan hanya 13 ribu. Itu  berarti rata-rata per kampus hanya 37 jurnal. Maka, silakan diartikan sendiri data tersebut.

Menulis ilmiah, apa masalahnya jika begitu?

Sederhana saja. Karena menulis ilmiah belum menjadi perilaku. Dari dulu hingga kini, menulis ilmiah hanya cukup dipelajari tanpa dipraktikkan. Bila sehari-hari, dekat dengan kegiatan ilmiah. Mulai dari kuliah, membuat makalah, berdiskusi, melakukan presentasi, menulis proposal, penelitian hingga menulis skripsi, tesis atau disertasi. Lalu mengapa belum mau menulis ilmiah?

Tahun 2018 lalu, saya pernah survei tentang menulis ilmiah di kalangan mahasiswa. Tentang kesadaran menulis ilmiah sebagai perilaku. Dari 100 mahasiswa yang memberi respon, hasilnya cukup kontradiktif. Ada kesan tidak konsisten.

Saat ditanya, apakah Anda suka menulis ilmiah?

Jawabnya,  54% suka menulis, 22% tidak suka menulis, dan 24% ragu-ragu.

Namun berikutnya, ketika ditanya, apakah Anda selalu menyediakan waktu selama 30 menit untuk menulis dalam sehari? Jawabnya, 16% selalu menulis, 45% tidak menulis, dan 39% ragu-ragu.

Apa artinya? Minat menulis ternyata tidak berbanding lurus dengan perilaku menulis. Jawabnya, 54% suka menulis ilmiah tapi faktanya 45% mahasiswa tidak menyediakan waktu untuk menulis dalam sehari.

Alih-alih, tahun 2016, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pun menggiatkan Gerakan Literasi Nasional (GLN). Tujuannya, untuk memperkuat gerakan literasi nasional. Agar budaya literasi di Indonesia tumbuh dan berkembang. Itu berarti termasuk budaya menulis ilmiah pastinya. Lalu kini, sudah sampai di mana gerakan kterasi nasional itu?

Sungguh, pesoalan menulis ilmiah jadi kian kompleks.

Bila dicermati, memang menulis ilmiah ada masalah. Terlalu banyak problematika yang menghambat kegiatan menulis ilmiah sebagai perilaku. Berdasarkan pengamatan penulis, setidaknya ada 8 (delapan) masalah utama yang dihadapi pembelajaran menulis ilmiah, yaitu:

  1. Berjiwa malas. Sehingga tidak mau berhubungan dengan aktivitas menulis. Sibuk dan tidak ada waktu untuk menulis, itulah dalihnya. Malas harus dilawan bukan didiamkan.
  2. Gemar menunda. Banyak orang gemar menunda apapun, termasuk menulis. Berani memulai tapi tidak berani mengakhiri. Maka jangan tunda menulis, kerjakan saja.
  3. Tidak suka membaca. Memang sulit menulis tidak suka membaca. Hukum alam, menulis itu susah bila tidak didukung bacaan. Maka mulai ciptakan kebiasaan membaca sehari 30 menit saja.
  4. Tidak biasa menulis. Menulis hanya sekali-sekali. Sehingga tidak ada kebiasaan menulis di dalam diri. Maka menulislah setiap hari, apapun yang mau ditulis.
  5. Tidak menguasai topik. Topik tulisan itu tidak boleh sembarang pilih. Maka pilihlah topik yang disenangin, dikuasai, dan punya referensi cukup. Jangan nekatmemilih topik yang tidak dikuasai.
  6. Tidak cukup literatur. Menulis itu harus punya rujukan. Maka pastikan literatur-nya cukup agar tidak “macet”.
  7. Salah cara pandang. Menulis ilmiah rendah karena cara pandang salah. Menulis ilmiah dianggap teori bukan praktik. Menulis itu perbuatan bukan pelajaran.
  8. Bertindak plagiat. Hari-hati, ini zaman sangat gampang untuk menjiplak atau jadi plagiat. Tinggal salin-tempel alias copy paste itu sudah cukup. Maka menulislah dengan gaya sendiri, orisinal bukan punya orang lain.

Selagi 8 masalah di atas tidak dilawan, maka menulis ilmiah akan tetap jadi momok. Harus ada komitmen untuk “memerangi” persoalan menulis ilmiah. Apalagi mahasiswa dan dosen, para insan akademis yang terhormat. Sederhana saja, menulis ilmiah itu hanya butuh komitmen, butuh konsistensi. Tiada hari tanpa menulis, Menulis ilmiah itu makin susah bila diomongin, diseminarkan. Tapi tidak dijadikan kebiasaan.

Satu hal yang penting, hanya menulis ilmiah-lah yang mengajarkan manusia untuk “tetap bertahan” pada cara berpkir ilmiah. Berpikra ilmiah zaman now itu penting. Karena di luar sana, terlalu banyak hal yang subjektif. Sehingga kita makin sulit membedakan mana fakta mana opini, mana logika mana emosi. Mana yang objektif mana yang subjektif. Hanya menulis ilmiah yang masih “kukuh berpihak” pada hal-hal yang 1) faktual, 2) logis, 3) objektif, dan 4) sistematis. Dan itu semua, ada pada cara berpikir ilmiah.

Ketahuilah, tidak ada perilaku ilmiah yang lahir dari bukan berpikir ilmiah. Dan yang paling ciamik, Ide dan gagasan ilmiah sehebat apapun, sama sekali tidak berguna bila tidak ditulis. Karena sesusah apapun menulis, pasti lebih baik daripada tidak menulis sama sekali. Salam menulis ilmiah, tabik. #TGS #MenulisIlmiah #BiasaMenulis

Ikuti tulisan menarik Syarifudin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu