x

Cover buku Suro Buldog

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 3 September 2019 12:51 WIB

Skandal, Penjara, dan Perjuangan Seorang Suro Buldog

Novel Pandir Kelana yang berkisah tentang jaman Politik Etis dan awal kedatangan Jepang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Suro Buldog

Penulis: Pandir Kelana (RM Slamet Danusudirdjo)

Tahun Terbit: 1992

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tebal: 272

ISBN: 979-511-522-7

Ini adalah novel kedua karya Pandir Kelana yang saya baca. Novel pertama karya Pandir Kelana yang saya baca adalah “Kadarwati Perempuan Dengan Lima Nama.” Novel tersebut sudah saya baca saat saya SMA. Namun baru-baru ini saya membacanya ulang. Cita-citaku adalah bisa membaca karya-karya Pandir Kelana lainnya. Sebab karya-karya Pandir Kelana saling berhubungan antara satu novel dengan novel lainnya, meski novel-novel tersebut berdiri sendiri. Maksudnya adalah tokoh yang ditampilkan tidak penting (figuran) dalam sebuah novel, dijadikan tokoh utama dalam novel lainnya. Ciri lain dari novel-novel Pandir Kelana adalah setting ceritanya yang mengambil masa perjuangan Kemerdekaan Indonesia.

Novel Suro Buldog berkisah tentang seorang pemuda bernama Suro Pranoto. Karena bentuk tubuhnya yang pendek dan gempal, serta kesukaannya berkelahi, makai a dipanggil dengan nama Suro Buldog. Kisah Suro Buldog berawal dari saat ia menjadi pegawai Kereta Api di jaman Belanda sampai berakhir saat ia keluar dari Penjara Nusakambangan dan menjadi buruh tebu di Madugondo di Jawa Timur di jaman Jepang. Novel ini dibumbui dengan kisah percintaan Suro Buldog dengan beberapa perempuan.

Suro Pranoto adalah lulusan sekolah pertukangan Europose Ambacht School di Surabaya. Setelah lulus ia diterima bekerja di Perusahaan Jawatan Kereta Api dan ditempatkan di Madiun. Di Madiun ia indekost di rumah pimpinannya yang bernama De Bruyn. Di Madiun Suro Buldog terlibat skandal dengan Rita, istri dari De Bruyn. Itulah pengalaman seksual pertama dari Suro Buldog.

Suro Buldog dipindahkan ke Tasikmalaya karena bakatnya yang hebat dalam menangani mesin-mesin lokomotif. Suro Buldog bertemu dengan jodohnya di Tasikmalaya. Ia menikah dengan Hartini. Namun saying saat Hartini mengandung, Suro Pranoto harus mengalami musibah. Ia terlibat dalam unjuk rasa memprotes beban kerja yang semakin berat karena banyak pegawai (pribumi) yang dirumahkan oleh Belanda. Dalam unjuk rasa ini, tanpa disengaja Suro Buldog mencederai Kepala Bengkel. Kepala Bengkel yang adalah seorang Belanda itu cedera kepala dan diperkirakan akan mati atau setidaknya lumpuh seumur hidup. Sebagai hukuman, Suro Buldog dikirim ke Digul.

Padir Kelana menggunakan Suro Buldog untuk menggambarkan Penjara Digul yang terkenal itu. Betapa orang-orang yang dipenjara di Digul ini sudah tidak mempunyai kesempatan apa pun untuk bisa lepas. Pandir Kelana memasukkan kisah manusiawi yang kelihatannya sama sekali tidak manusiawi. Ia memasukkan tokoh Van Drop, seorang tantara penjaga tahanan yang begitu kejam. Van Drop sengaja berlaku kejam supaya para tahanan mempunyai semangat hidup, dengan cara menumpahkan kebencian kepadanya. Tanpa emosi, tahanan itu pasti sudah putus asa dan memilih mengakhiri hidup. Kisah Van Drop yang kejam ternyata sangat manusiawi.

Pandir Kelana juga memasukkan kisah pelarian yang sangat mirip dengan kisah salah satu tahanan yang ceritanya dikumpulkan oleh Pram dalam “Cerita Dari Digul.” Kisah yang ditampilkan oleh Pandir Kelana cukup mirip dengan kisah “Antara Hidup dan Mati” salah satu kisah Digul di buku Pram tersebut.

Pandir Kelana memindahkan Suro Buldog ke Nusakambangan supaya bisa menggambarkan penjara lain di masa Belanda terkenal sangat kejam. Selain Digul, Nusakambangan adalah penjara lain yang sangat terkenal di era Belanda. Kisah Nusakambangan dipenuhi dengan perkelahian antar napi dan percintaan antar napi yang sama-sama lelaki. Percintaan antar lelaki disebabkan karena tidak adanya penyaluran Hasrat seksual kepada lawan jenis. Namun Pandir Kelana tidak lupa memberi sentuhan kemanusiaan dalam kisah Nusakambangan ini. Kejujuran dan kesetiakawanan sangat kuat diselipkan dalam kisah-kisah antarnapi di penjara pulau ini.

Kisah dari saat Suro Buldog menjadi montir magang di Madiun sampai dengan keluar dari Nusakambangan menggunakan latar belakang jaman Belanda. Pandir Kelana menggambarkan dengan baik suasana bangsa saat Belanda menerapkan Politik Etis. Secara samar-samar Panidr Kelana juga mengungkap perjuangan Sukarno yang saat itu berada di Bandung. Beberapa kali Suro Buldog digambarkan bertemu dengan Sukarno.

Kisah selanjutnya, yaitu saat Suro Buldog sudah bebas dari Nusakambangan dan menjadi buruh pabrik di Madugondo, Pandir Kelana menggunakan latar belakang suasana akhir masa Belanda dan kedatangan jaman Jepang. Kekejaman Belanda yang penuh keraguan digambarkan melalui interaksi pimpinan perkebunan pribumi dengan pimpinan perkebunan orang Belanda. Kisah orang Belanda yang mendorong berdirinya koperasi adalah salah satu contoh betapa orang Belanda sudah mulai peduli dengan kondisi bumi putera.

Kisah ditutup dengan kedatangan Jepang. Kisah-kisah pengerahan tenaga kerja rakyat secara kejam (Romhusa), pelatihan-pelatihan pemuda untuk menjadi heiho dijalin menjadi bumbu cerita. Perlakuan Jepang yang sangat kejam kepada para buruh perkebunan menimbulkan pemberontakan. Nah di bagian ini Pandir Kelana kembali menyelipkan kisah roman. Suro Buldog bertemu dengan Chodancho Tardana. Chudancho Tardana adalah lelaki yang menikahi istrinya yang ditinggalnya karena dia harus mendekam di penjara Digul. Suro Buldog berjanji untuk bekerjasama dengan Tardana melawan Jepang. Kepentingan nasional lebih utama daripada kepentingan pribadi.

Mari kembali kepada gaya penulisan novel Pandir Kelana. Pandir Kelana menggunakan tokoh-tokoh figuran dalam sebuah novel untuk menjadi tokoh utama di novel lainnya. Dalam novel Suro Buldog, dimana tokoh utamanya bernama Suro Buldog, ternyata ia menjadi tokoh selipan di novel lain dengan nama Darmin. Di bagian akhir novel ini Suro Buldog Buldog mengganti namanya menjadi Darmin bin Durasim. Dalam novel ini juga muncul tokoh Ndoro Ayu, istri dari Sinder Suprapto yang juga muncul di Novel “Kadarwati Perempuan Dengan Lima Nama.”

Ada sedikit hal yang mengganggu dalam novel ini. Di halaman 105, saat membandingkan  orang Nieuw Guinea yang merdeka dengan orang Jawa yang mempunyai rasa rendah diri (minderwaardigheidscomplex), Pandir Kelana menyatakan bahwa orang Jawa takut kepada Belanda dan juga takut kepada Nippon. Padahal setting cerita, saat Suro Buldog di Digul, Jepang belum hadir di Hindia Belanda. Jadi bagaimana mungkin orang Jawa sudah takut kepada Nippon, jika Nippon saja belum ada di Jawa?

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler