x

Ribuan Pegawai KPK melakukan aksi solidaritas Selamatkan KPK dengan simbolik membuat rantai manusia, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Jumat, 6 September 2019. Aksi damai ini menolak usulan DPR melakukan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. TEMPO/Imam Sukamto

Iklan

Nada Samantha

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 28 Agustus 2019

Sabtu, 7 September 2019 19:42 WIB

Bapak Presiden Jokowi, Inilah 10 Poin Penghancur KPK

Dalam menyikapi revisi UU KPK seharusnya Bapak Presiden Jokowi lebih memperhatikan kepentingan rakyat banyak, bukan segelintir pejabat dan para politikus.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bapak Presiden Joko Widodo  Yth,

Sesuai  pemberitaan media,  Bapak Presiden  telah berbicara mengenai  rencana revisi  Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi.  Bapak berharap Dewan Perwakilan Rayat mempunyai semangat yang sama untuk memperkuat KPK.  Pak Jokowi yang sedang sibuk melawat  ke daerah, juga berjanji akan melihat dulu revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang disiapkan oleh politikus Senayan.

Sebagai warga negara biasa, kami justru berharap Bapak segera mengambil sikap  yang tegas demi menyelamatkan KPK -- lembaga yang didirikan di era Presiden Megawati dan berperan besar dalam memerangi korupsi.  Komisi Antikorupsi telah menjebloskan ratusan  pejabat  dan politikus ke penjara.  Berbagai modus korupsi pun sudah dibongkar seperti penggelembungan anggaran, suap perizinan proyek dan usaha, suap terhadap penegak hukum,  pat gulipat tender, permainan kouta impor, dan jual beli jabatan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apakah semua praktek kotor itu lenyap?  Ternyata belum.  Itu sebabnya, upaya melemahkan wewenang KPK, justru akan menyebabkan korupsi semakin merajalela. Korupsi membuat penggunaan anggaran negara  tidak efisien dan kegiatan ekonomi  berbiaya tinggi. Keadilan sosial-ekonomi  pun  terkoyak  karena para pejabat dan elite politik mudah mengeruk duit negara , sementara sebagian besar rakyat hidup melarat.

Menjadikan KPK sebagai lembaga biasa saja, bukan lagi super body,  tentu didambakan oleh para politikus dan pejabat.  Dengan melempennya  kepolisian dan kejaksaan dalam memberantas korupsi,  mereka bakal leluasa menerapkan  berbagai modus korupsi. Melemahnya  KPK  akan menjadi kemenangan besar  bagi  oligarki  politik.

Sekarang saja, kalangan penggiat antikorupsi amat cemas terhadap hasil kerja panitia seleksi calon pemimpin KPK yang Bapak Presiden  bentuk. Ada figur yang kurang berintegritas yang  lolos.  Jika  Bapak Presiden merestui revisi  UU KPK,  lembaga ini akan semakin hancur atau setidaknya akan melempen juga seperti lembaga penegak hukum lainnya.

Dalam menyikapi  revisi  UU KPK  seharusnya  Bapak Presiden Jokowi lebih memperhatikan kepentingan rakyat banyak, bukan segelintir pejabat  dan para politikus.

Salam, 

Seorang warga negara  Indonesia

 

NB: berikut lampiran 10 Poin dalam draf  revisi UU  KPK  yang bisa menghancurkan Komisi Pemberantaskan Korupsi  seperti yang dirilis resmi oleh lembaga ini:

1.Independensi KPK terancam

  • KPK tidak disebut lagi sebagai lembaga Independen yang bebas dari pengaruh kekuasaan manapun;
  • KPK dijadikan lembaga Pemerintah Pusat
  • Pegawai KPK dimasukan dalam kategori ASN sehingga hal ini akan beresiko terhadap independensi pegawai yang menangani kasus korupsi di instansi pemerintahan;

2.Penyadapan dipersulit dan dibatasi

  • Penyadapan hanya dapat dilakukan setelah ada izin dari Dewan Pengawas. Sementara itu, Dewan Pengawas dipilih oleh DPR dan menyampaikan laporannya pada DPR setiap tahunnya;
  • Selama ini penyadapan seringkali menjadi sasaran yang ingin diperlemah melalui berbagai upaya, mulai dari jalur pengujian UU hingga upaya revisi UU KPK
  • Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa dan dilakukan secara tertutup. Sehingga bukti-bukti dari Penyadapan sangat berpengaruh signifikan dalam membongkar skandal korupsi;
  • Penyadapan diberikan batas waktu 3 bulan. Padahal dari pengalaman KPK menangani kasus korupsi, proses korupsi yang canggih akan membutuhkan waktu yang lama dengan persiapan yang matang. Aturan ini tidak melihat kecanggihan dan kerumitan kasus korupsi yang terus berkembang;
  • Polemik tentang Penyadapan ini semestinya dibahas secara komprehensif karena tidak hanya KPK yang memiliki kewenangan melakukan Penyadapan;

3.Pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR

  • DPR memperbesar kekuasaannya yang tidak hanya memilih Pimpinan KPK tetapi juga memilih Dewan Pengawas.
  • Dewan pengawas menambah panjang birokrasi penanganan perkara karena sejumlah kebutuhan penanganan perkara harus izin Dewan Pengawas, seperti: penyadapan, penggeledahan dan penyitaan.

4.Sumber penyelidik dan penyidik dibatasi

  • Penyelidik KPK hanya berasal dari Polri, sedangkan Penyidik KPK berasal dari Polri dan PPNS;
  • Hal ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang memperkuat dasar hukum bagi KPK dapat mengangkat Penyelidik dan Penyidik sendiri;
  • Lembaga-lembaga KPK di beberapa negara di dunia telah menerapkan sumber terbuka Penyidik yang tidak harus dari kepolisian, seperti: CPIB di Singapura, ICAC di Hongkong, MACC di Malaysia, Anticorruption Commision di Timor Leste, dan lembaga antikorupsi di Sierra Lone.
  • Selama ini proses Penyelidikan dan Penyidikan yang dilakukan KPK sudah berjalan efektif dengan proses rekruitmen yang terbuka yang dapat berasal dari berbagai sumber;

5.Penuntutan perkara korupsi harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung

  • KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam melakukan Penuntutan Korupsi;
  • Hal ini beresiko mereduksi independensi KPK dalam menangani perkara dan akan berdampak pada semakin banyaknya prosedur yang harus ditempuh sehingga akan memperlambat penanganan perkara

6.Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria

  • Ketentuan yang sebelumnya diatur di Pasal 11 huruf b UU KPK tidak lagi tercantum, yaitu: mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat;
  • Padahal pemberantasan korupsi dilakukan karena korupsi merugikan dan meresahkan masyarakat dan diperlukan peran masyarakat jika ingin pemberantasan korupsi berhasil;

7.Kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan dipangkas

  • Pengambilalihan perkara hanya bisa dilakukan untuk proses Penyelidikan;
  • KPK tidak lagi bisa mengambil alih Penuntutan sebagaimana sekarang diatur di Pasal 9 UU KPK

8.Kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan

  • Pelarangan ke luar negeri
  • Meminta keterangan perbankan
  • Menghentikan transaksi keuangan yang terkait korupsi
  • Meminta bantuan Polri dan Interpol

9.KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan

  • KPK menetapkan suatu kasus penyidikan melalui proses yang sangat hati-hati karena tidak adanya penghentian penyidikan dan penuntutan. Melalui ketentuan tersebut akan menurunkan strandar KPK dalam penanganan kasus.
  • Penghentian penyidikan dan penuntutan yang belum selesai selama 1 (satu) tahun akan membuat potensi intervensi kasus menjadi rawan. Terlebih pada kasus yang besar serta menyangkut internasional proses penanganan akan sangat sulit menyelesaikan selama satu tahun. Selain itu, berpotensi juga dilakukan penghambatan kasus secara administrasi sehingga lebih dari 1 (satu) tahun.
  • Tingkat kesulitan penanganan perkara dari satu perkara ke perkara lain bermacam-macam, sehingga mungkin saja ada perkara yang amat rumit sehingga membutuhkan waktu lebih dari satu tahun untuk menanganinya.
  • Tidak pernah ada aturan dalam sistem hukum acara pidana nasional yang mengatur bahwa suatu penyidikan/penuntutan harus dihentikan jika selama jangka waktu tertentu proses penyidikan/penuntutannya belum selesai, jadi aturan ini adalah aturan anomali yang sama sekali tidak mendukung pelaksanaan tugas penegakan hukum KPK.

10.Kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas

  • Pelaporan LHKPN dilakukan di masing-masing instansi, sehingga hal ini akan mempersulit melihat data kepatuhan pelaporan dan kewajaran kekayaan Penyelenggara Negara;
  • Posisi KPK direduksi hanya melakukan kooordinasi dan supervisi;
  • Selama ini KPK telah membangun sistem dan KPK juga menemukan sejumlah ketidakpatuhan pelaporan LHKPN di sejumlah institusi;

 

                                                   ***

 

Ikuti tulisan menarik Nada Samantha lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler