Pemimpin Baru KPK Terpilih, Pesta Kemenangan Oligarki di era Jokowi?

Jumat, 13 September 2019 02:24 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hasil rapat Komisi Hukum DPR itu sudah diprediksi, bahkan telah dicemaskan sebelumnya oleh para aktivitas antikorupsi.

Dewan Perwakilan  Rakyat  telah menetapkan lima pimpinan baru Komisi Pemberantasan pada Jumat  dini hari, 13 September 2019.   Komisi Hukum DPR memilih Firli Bahuri sebagai Ketua KPK.  Adapun empat figur terpilih lainnya menjadi wakil ketua, yakni  Lili Pintauli, Nawawi, Nurul Ghufron dan Alexander Marwata.

Sebelumnya Komisi Hukum DPR  melakukan voting untuk memeras dari  sepuluh calon  yang disaring  oleh panitia seleksi bentukan pemerintah.  Sepuluh calon itu--di antara mereka  bermasalah--tetap disodorkan  ke DPR oleh  Presiden Joko Widodo kendati diprotes para aktivis antikorupsi.

Hasil rapat Komisi Hukum DPR itu  sudah diprediksi, bahkan telah dicemaskan sebelumnya oleh penggiat antikorupsi.  Mereka menilai, pemilihan pemimpin KPK kali ini merupakan bagian dari skenario melemahkan Komisi Antikorupsi, selain  merevisi  Undang-undang KPK.

Kontroversi  sosok Firli Bahuri
Terpilihnya  Inspektur Jenderal  Pol.  Firli Bahuri  merupkan kabar buruk bagi para akvitis antikorupsi.  Sebelumnya,   ia  telah dinilai  bermasalah saat bertugas di KPK.    Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menyebut Firli diduga melanggar kode etik karena bertemu dengan Gubernur Nusa Tenggara Barat Tuan Guru Bajang Zainul Majdi (TGB).

Pertemuan itu mencurigakan karena saat itu KPK tengah menelisik dugaan korupsi divestasi Newmont. TGB berstatus saksi di perkara ini. "Hasil pemeriksaan pengawas internal adalah terdapat dugaan pelanggaran berat," kata Saut Situmorang dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Rabu, 11 September 2019.

Walau tidak hadir dalam jumpa  pers itu, sehari kemudian Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan bahwa mayoritas pimpinan setuju  dengan pernyataan Saut.  “Konferensi pers oleh Pak Saut Situmorang sudah persetujuan mayoritas pimpinan. Bukan Pak Saut berjalan sendirian," kata Agus  Rahardjo .

Terpilihnya  Firli menjadi Ketua  KPK  dikhawatirkan menyebabkan independensi lembaga ini semakin tergerus. Selama ini hubungan KPK dan kepolisian pun kerap diwarnai konflik. Kepolisian selalu menyerang balik ketika penyidik komisi antikorupsi mengendus kasus korupsi pejabat kepolisian.

Perseteruan "Cicak versus Buaya" dimulai pada 2009 ketika KPK menyadap telepon Kepala Badan Reserse Kriminal Inspektur Jenderal Susno Duadji, yang diduga menerima suap. Konflik serupa muncul ketika Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka kasus "rekening gendut" pada 2015. Pemimpin KPK kemudian balik dijadikan tersangka oleh kepolisian.

Gesekan antar-lembaga penegak hukum tentu tidak sehat. Tapi solusinya bukan dengan membiarkan figur dari kepolisian memimpin KPK.

Kemenangan Oligarki
Presiden Jokowi semestinya menyadari betapa pentingnya KPK  yang independen-tidak di bawah kendali Presiden, tidak pula dalam ketiak DPR. Menggelar sejumlah proyek besar, dari infrastruktur, penyebaran triliunan dana desa, hingga perencanaan ibu kota baru, Presiden membutuhkan KPK sebagai pengawas. Jokowi  seharusnya pula ingat akan -janji politiknya lima tahun lalu:  ingin membangun pemerintahan yang bersih, mereformasi sistem, menegakkan hukum yang bebas korupsi, dan mewujudkan kemandirian ekonomi. 

Janji itu tidak mungkin diwujukan tanpa lembaga independen seperti KPK yang berani memerangi korupsi. Jokowi terkesan tunduk pada kepentingan oligarki—para politikus dan segelintir elite penguasa-- -yang selama ini jeri terhadap sepak terjang  Komisi Antikorupsi.

Lahir di zaman reformasi,  KPK selama ini memang menjadi momok bagi politikus dan pejabat yang ingin melakukan korupsi.  Komisi Antikorupsi  telah membongkar berbagai modus korupsi,  mulai dari mark up anggaran, suap perizinan, kuota impor, jual beli jabatan, bahkan korupsi di sektor pertambangan dan perkebunan.  Keberanian dan keseriusan KPK ini jelas mengusik  kepentingan elite penguasa dan para politikus.

Serangkaian upaya menjinakkan  KPK mengindikasikan adanya  praktek kartel politik sekaligus oligarki  dalam perpolitikan  Indonesia.   Dan hasil pemilihan  pemimpin KPK semakin memperlihatkan kemenangan  para politikus dan elite penguasa yang menginginkan  lembaga ini tak berdaya ***

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler