x

Presiden Joko Widodo atau Jokowi (kiri) berbincang dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kanan) saat pertemuan di FX Senayan, Jakarta, Sabtu, 13 Juli 2019. Kedua kontestan Pilpres 2019 itu sepakat untuk menjaga kesatuan dan persatuan di Indonesia. Foto: Muchlis Jr - Biro Pers Sekretariat Presiden

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 16 Oktober 2019 17:30 WIB

Pilihan Merangkul Oposisi, Kelak Bisa Jadi Bumerang

Dalam rangka menjinakkan oposisi, boleh dibilang kooptasi bukanlah strategi baru: merangkul lawan agar ia menjadi jinak. Strategi ini juga bisa menjadi cara yang jitu untuk memecah soliditas kumpulan kekuatan yang berpotensi jadi oposisi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oposisi sejati tidak ada dalam politik, setidaknya inilah kenyataan yang kita jumpai di negeri kita. Para politisi, terlebih elitenya, selalu berujar: “Tidak ada yang mustahil dalam politik.” Pemeo ini menjadi semacam ‘alasan logis’ bagi para politisi untuk berubah haluan politik, kapan saja mereka ingin dan mau. Hari ini, seorang politisi mengecam keras lawan politiknya, esok harinya ia bergabung dengan lawannya. Tidak ada lawan dan kawan yang abadi, kata politisi juga, yang ada kepentingan yang abadi.

Pemeo tersebut menunjukkan penerimaan politisi terhadap sikap-sikap pragmatis yang berlebihan.  Kita disuguhi praktik politik yang membikin prihatin, karena yang terjadi selepas pilpres dan pileg tidak lebih dari bagi-bagi kekuasaan. Di MPR, politik bagito dipraktikkan—bagito: bagi roto, semua partai yang masuk ke Senayan memperoleh kursi pimpinan MPR. Semua senang.

Namun sungguh, praktik politik itu juga membuat rakyat bertanya-tanya: lantas untuk apa perdebatan yang demikian keras semasa pilpres, yang saling menonjolkan kehebatan masing-masing di hadapan rakyat, bahkan hingga mengorbankan kebersamaan rakyat? Rakyat tidak menolak bahwa para elite politik bersilaturahim satu sama lain, sebab itu baik, tapi bukan kemudian mengorbankan kepercayaan rakyat yang telah memilih mereka dengan bersikap sangat kompromitis.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dengan menetapkan suatu pilihan, rakyat menitipkan amanah kepada politisi dan partai untuk memperjuangkan amanah itu, dan itu tidak berarti harus berada di dalam lingkaran pemerintahan. Walaupun berada di luar pemerintahan, partai dan politisi bisa menjadi penyeimbang yang kritis dan konstruktif bagi pemerintah. Demokrasi yang sehat membutuhkan adanya ‘sparring partner’ yang menguji dan mengawasi pemerintah demi kebaikan rakyat. Jika semua partai berhasrat masuk ke dalam kabinet, atau memperoleh kedudukan lainnya seperti dubes atau komisaris BUMN, maka amanah rakyat itu telah diabaikan—siapa yang akan memperjuangkannya bila aspirasi rakyat tidak tertampung dalam program pemerintah?

Bagi pemenang pilpres dan pileg, merangkul kompetitor memang salah satu strategi yang ampuh untuk melumpuhkan kekuatan penyeimbang atau oposisi konstruktif—apapun namanya. Dalam rangka menjinakkan oposisi, boleh dibilang kooptasi bukanlah strategi baru: merangkul lawan agar ia menjadi jinak. Strategi ini juga bisa menjadi cara yang jitu untuk memecah soliditas kumpulan kekuatan yang berpotensi jadi oposisi. Caranya, gandeng Gerindra dan Demokrat, tarik-ulur PAN, dan biarkan PKS sendirian.

Bagaimana kompetitor politik yang habis-habisan bertarung semasa pilpres bisa dirangkul? Kuncinya terletak pada pemahaman tentang hasrat manusia akan kekuasaan. Dengan menawarkan posisi tertentu dalam kabinet, partai [yang berpotensi jadi] oposisi diharapkan bisa melunak dan bahkan bergabung. Secara faktual, fungsi oposisi dilemahkan.

Apakah koalisi yang gemuk dan penyeimbang yang lemah akan sehat bagi demokrasi? Sebagian pihak mungkin menaruh perhatian tentang hal ini, tapi para elite politik tampaknya lebih memikirkan kepentingan mereka—bagaimana bisa duduk di pemerintahan, sebab inilah jarak yang paling dekat dengan pengambilan keputusan, sebab ini berarti terbukanya akses kepada berbagai sumber daya. Di sisi lain, pemerintah terpilih tampaknya lebih memikirkan bagaimana agar program yang mereka ingin jalankan tidak memperoleh gangguan dan kritik yang berarti dari partai-partai di luar kabinet. Dengan dirangkul ke dalam kabinet, suara-suara kritis itu akan memudar.

Menyedihkan memang bila akhirnya rakyat harus memperjuangkan sendiri aspirasinya. Namun strategi merangkul oposisi untuk melemahkan perlawanan mungkin suatu saat dapat menjadi bumerang, yakni manakala rakyat merasa bahwa para elite politik hanya sibuk memuaskan hasrat kuasa mereka. Rakyat akan mengukuhkan dirinya sendiri. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu