Seperti yang ditulis Tempo.co, Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor menilai pidato perdana Presiden Joko Widodo seusai pelantikan mencerminkan arah pemerintahan yang mengarah pada pembangunan ala era Orde Baru.
Dalam pidato tersebut, Jokowi sama sekali tak menyinggung masalah hukum, HAM, pemberantasan korupsi, dan penguatan demokrasi. "Saya membaca ini memang nampak nuansanya lebih pada masalah pembangunan, masalah efisiensi, dan juga pembangunan terkait SDM, yang kalau kita lihat ini kok agak-agak mirip pemerintahan Soeharto," kata Firman kepada Tempo, 20 Oktober 2019.
Firman menyayangkan pidato Jokowi yang seakan tak menaruh perhatian terhadap masalah hukum, HAM, demokrasi, dan pemberantasan korupsi. Dia menilai, padahal empat hal itu merupakan masalah pokok yang juga berkaitan dengan Pancasila dan kemanusiaan.
Pendapat Firman mengenai Pidato Presiden Jokowi tersebut sebetulnya merupakan salah satu indikasi saja dari tren sedang berlangsung, yang cenderung bergaya Orde baru. Citra khas pemerintah era Orde Baru atau orde dulu, dari perspektif sekarang, antara lain mengutamakan pembangunan ekonomi. Saat itu pemerintah mengontrol ketat kehidupan politik sehingga demokrasi hanyalah artifisial.
Orde Baru menangkal ideologi yang anti Pancasila lewat penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Pemerintah juga mengawasi birokrasi atau pegawai negeri dan kehidupan kampus.
Beberapa indikasi serupa mulai terlihat di era Presiden Jokowi, kendati dengan cara dan kadar yang jauh berbeda. Tatanan negara dan sistem politik tentu sudah lain. Demokrasi pun telah jauh sekali berkembang dibandingkan dulu.
1.Menertibkan PNS
Pemerintah mulai mengawasi perilaku apatur sipil negara atau pegawai negeri sipil dan memasukkan konsep empat pilar (Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI) dalam kebijakan.
Hal itu antara lain dilakukan oleh Kepala Badan Adminstrasi Negara ketika mengeluarkan Surat Edaran Kepala BKN tertanggal 31 Mei 2018 yang berisi larangan penyebaran kebencian bagi pegawai negeri.
- Isinya antara lain, pegawai negeri dilarang:
Menyampaikan pendapat baik lisan maupun tertulis lewat media sosial yang bermuatan ujaran kebencian terhadap Pancasila, Undang‐Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah.
2.Penerapan empat pilar oleh legislatif
Konsep empat pilar bisa dilihat sebagai upaya memperkuat elemen penting negara. Jargon ini masih digunakan oleh MPR hingga sekarang kendati sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi. Konsep empat pilar juga masuk dalam pembekalan anggota MPR, DPR, DPD periode 2019-2024.
Konsep yang muncul di era kepemimpinan Taufiq Kiemas sebagai Ketua MPR itu juga sempat masuk pada revisi UU Partai Politik. Namun lewat uji materi, Mahkamah Konstitusi kemudian menghapus frasa empat pilar itu pada April 2014. Konsep ini sering dikritik karena mensejajarkan Pancasila dengan tiga elemen lain.
3.Menghidupkan kembali GBHN
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengusulkan adanya GBHN lagi dalam Kongres di Bali pada Agustus 2019. Upaya mewujudkan ide itu semakin serius lewat revisi UUD 1945. Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat 2014-2019 Zulkifli Hasan sudah menyerahkan draf amandemen konstitusi untuk dibahas MPR periode sekarang.
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri pun menyokong Bambang Soesatyo menjadi Ketua MPR periode sekarang dengan syarat bersedia mengamandemen konstitusi.
4.Menekankkan pada pembangunan ekonomi
Presiden Jokowi amat mengutamakan pembangunan ekonomi. Banyak sekali proyek infrastruktur yang digarap pada periode lalu. Adapun, masalah penegakkan hak asasi manusia, misalnya, kurang mendapat perhatian.
Pemberantasan korupsi diperkirakan juga akan mengendur setelah KPK dilemahkan lewat revisi UU. Saat muncul polemik revisi UU KPK, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko bahkan sempat keceplosan bicara sehingga orang menafsirkan ia berpendapat bahwa KPK menghambat investasi.
Belakangan, ia meluruskan pernyataanya. “Maksudnya, Undang-Undang KPK yang baru memberikan beberapa landasan bagi kepastian hukum, termasuk bagi investor,” kata Moeldoko dalam siaran persnya, 23 September 2019.
5.Mulai memantau kampus
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir akan meminta setiap kampus untuk mulai mendata akun media sosial mahasiswa baru, dosen, hingga pegawainya untuk mencegah penyebaran radikalisme.
"Saya ingin pendataan dosen, pegawai, juga mahasiswa, siapa yang terpapar radikalisme. Jangan sampai terjadi radikalisme yang marak terjadi sekarang," kata Nasir ,26 Juli 2019. Ia juga mengatakan akan memberikan pemahaman terus menerus soal Pancasila dan bela negara. ***
Tulisan ini sudah diupdate lagi pada 20/10/2019
Baca juga:
Politikus PKB Bongkar Suap Rp 7 M, Muhaimin Terancam Jerat KPK?
Ikuti tulisan menarik Anung Suharyono lainnya di sini.