x

RABAT=KERUGIAN NEGARA

Iklan

arya putra chandra

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 11 Desember 2019

Kamis, 12 Desember 2019 06:38 WIB

Ini Modus Penyelewengan Dana Bantuan Operasional Sekolah

pihak sekolah seolah-olah membayar sebanyak yang tertera di kwitansi, namun kenyataannya tidak. Pihak sekolah hanya membayar jumlah netto saja setelah dikurangi diskon atau fee yang telah disepakati sebelumnya. Sedangkan diskon atau fee yang berkisar antara 25% - 40% menjadi milik pihak sekolah. Kwitansi dan juga seluruh dokumen pendukungnya menjadi fiktif karena tidak sama jumlah yang dibayarkan pihak sekolah, jumlah yang diterima oleh pihak penyedia dengan jumlah yang tertera dalam kwitansi tersebu

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Penyaluran Bantuan Operasional Sekolah (BOS), sebagaimana yang tertuang dalam permendikbud no 18 tahun 2019, secara umun bertujuan untuk membantu pendanaan biaya operasi dan nonpersonalia sekolah, meringankan beban biaya operasi sekolah bagi peserta didik pada sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat serta  meningkatkan kualitas proses pembelajaran di sekolah.

Sedangkan pengelolaannya, dikelola sepenuhnya oleh sekolah  melalui Manajemen Berbasis Sekolah yang memberikan kebebasan dalam perencanaan, pengelolaan, dan pengawasan program yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan sekolah dengan mengikutsertakan guru dan komite sekolah. Sekolah harus mengelola dana secara profesional dengan menerapkan prinsip efisien, efektif, akuntabe dan transparan.

Penggunaan BOS di sSekolah harus didasarkan pada kesepakatan dan keputusan bersama antara tim BOS, kepala sekolah, guru, dan komite sekolah. Hasil kesepakatan di atas harus dituangkan secara tertulis dalam bentuk berita acara rapat dan ditandatangani oleh peserta rapat. Kesepakatan penggunaan BOS harus didasarkan skala prioritas kebutuhan Sekolah, khususnya untuk membantu mempercepat pemenuhan standar nasional pendidikan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun dalam pelaksanaannya, banyak hal yang tidak sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan. Pelanggaran-pelanggaran tersebut bahkan dilakukan secara bersama-sama oleh sekolah dan berulang-ulang setiap tahunnya. Seolah-olah tidak ada kontrol dan pengawasan dari kementerian atau dinas terkait, dan juga masyarakat.

Pelanggaran yang selalu dilakukan terkait dengan pembelian atau belanja buku. Dalam 5 tahun terakhir pembelian buku yang masuk dalam kategori pengembangan perpustakaan menjadi prioritas utama dalam komponen pembiayaan BOS, dengan rata-rata serapan 20% dari total dana BOS per tahun.

Modus yang dilakukan adalah dengan cara bekerjasama dengan penerbit atau penyedia buku. Pihak sekolah menyepakati terlebih dahulu diskon atau fee dengan pihak penyedia buku, biasanya untuk buku reguler berkisar antara 25-35% untuk tingakt SD, dan 30-40% untuk tingkat SMP/SMA/SMK, sedangkan untuk buku HET berkisar 2-10% untuk semua jenjang. Setelah pemesanan dan barang lengkap dikirim ke sekolah, pihak sekolah akan melakukan pembayaran ke pihak penyedia buku.

Dalam pembayaran inilah terjadi penyelewengan, pihak sekolah seolah-olah membayar sebanyak yang tertera di kwitansi, namun kenyataannya tidak. Pihak sekolah hanya membayar jumlah netto saja setelah dikurangi diskon atau fee yang telah disepakati sebelumnya. Sedangkan diskon atau fee yang berkisar antara 25% - 40% menjadi milik pihak sekolah. Kwitansi dan juga seluruh dokumen pendukungnya menjadi fiktif karena tidak sama jumlah yang dibayarkan pihak sekolah, jumlah yang diterima oleh pihak penyedia dengan jumlah yang tertera dalam kwitansi tersebut.

Kerugian Negara

Praktek penyelewengan dana bos ini, khususnya belanja buku, telah merugikan Negara dalam jumlah yang sangat besar. Jika dihitung secara nasional, berdasarkan laporan yang dirilis oleh Kemdikbud (https://bos.kemdikbud.go.id/) untuk tahun 2018 saja, total penggunaan dana untuk komponen pengembangan perpustakaan (belanja buku) Rp. 2,5 T untuk semua jenjang (SD/SMP/SMA/SMK). Jika diasumsikan belanja buku HET 40%, Rp. 1 T dan sisanya beli buku regular Rp, 1,5 T, maka kerugian Negara berkisar Rp. 20 M – Rp 101 M untuk buku HET, dan Rp. 379 M – Rp. 606 M untuk buku regular. Sehingga Negara dirugikan Rp. 399 M – Rp. 707 M.

Perkiraan kerugian Negara di atas baru untuk satu tahun saja, belum lagi tahun 2019 ini yang baru berjalan 3 triwulan. Apalagi jika dihitung sejak tahun 2013, dimana semua jenjang pendidikan sudah mendapatkan alokasi dana bos dari pemerintah dan belanja buku selalu menjadi prioritas dengan alasan adanya pergantian dan revisi kurikulum.

Jika ditelisik lagi, data dari salah satu penerbit/penyedia buku untuk satu propinsi saja, sejak tahun 2012 sampai tahun 2019, mereka telah membukukan transaksi yang dibayarkan dengan dana BOS sebesar Rp. 229 M, dengan fee/diskon ke pelanggan (sekolah ) Rp. 91. M atau setara dengan 40% dari transaksi. Sedangkan real yang dibayarkan sekolah (netto) ke penerbit/penyedia tersebut hanya Rp.137 M. Mereka mengakalinya dengan membuat kwitansi dan dokumen pendukung lainnya atas CV atau Toko Buku (TB), padahal yang datang ke sekolah mulai dari promosi, negosiasi sampai pengantaran buku dan pembayaran adalah marketing/salesman dari peyedia/penerbit buku tersebut.

Pengawasan yang lemah

Dalam Juknis bos tahun 2019, dijelaskan bahwa pengawasan BOS terdiri dari pengawasan melekat, pengawasan fungsional, dan pengawasan masyarakat.  Pengawasan melekat yang dilakukan oleh pimpinan masing-masing instansi kepada bawahannya baik di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, maupun Sekolah. Pengawasan fungsional internal oleh Inspektorat Jenderal Kementerian dan inspektorat daerah provinsi atau kabupaten/kota dengan melakukan audit sesuai dengan kebutuhan lembaga tersebut atau atas permintaan instansi yang akan diaudit, dan sesuai dengan wilayah kewenangan masing-masing. Kemudian Pengawasan oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dilakukan dengan melakukan audit atas permintaan instansi yang akan diaudit. Dan juga ada pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sesuai dengan kewenangan.

Selain itu, juga ada pengawasan masyarakat dalam rangka transparansi pelaksanaan program BOS oleh unsur masyarakat dan unit pengaduan masyarakat yang terdapat di sekolah, kabupaten/kota, provinsi, dan pusat mengacu pada kaidah keterbukaan informasi publik, yaitu semua dokumen BOS dapat diakses oleh publik kecuali yang dirahasiakan. Apabila terdapat indikasi penyimpangan dalam pengelolaan BOS, agar segera dilaporkan kepada instansi pengawas fungsional atau lembaga berwenang lainnya.

Namun dalam prakteknya, pengawasan atau audit sepertinya setengah hati. Pemeriksaan hanya bertumpu pada kesesuaian dokumen dengan fisik buku yang ada. Tidak mengkaji lebih jauh tentang kecurangan dalam pembuatan dokumen laporan pertanggung jawaban tersebut. Hal yang sangat sederhana untuk dapat dicurigai adalah harga buku yang sama ketika pembelian secara eceran dan grosir (jumlah banyak). Sudah lumrah bahwa pembelian dalam jumlah banyak mendapatkan harga yang lebih murah.

Celah inilah yang dimanfaatkan oleh pihak sekolah untuk mengambil keuntungan dari penyelewengan dana negara dan juga keuntungan yang berlipat bagi perusahaan penerbit/penyedia buku dengan mengorbankan hak-hak peserta didik dan warga sekolah lainnya yang tidak tahu dengan praktek korupsi seperti ini. Bahkan, transkasi non-tunai pun masih bisa diakal-akali. Sekolah tetap transfer sejumlah nilai kwitansi namun nanti akan diberikan cashback  oleh pihak penyedia/penerbit sesuai dengan kesepakatan awal (rentang diskon/ fee masih sama dengan transaksi tunai).

Besarnya anggaran dana bos, seharusnya besar juga perhatian kita bersama sehingga dana tersebut tepat sasaran dan tidak dikorupsi. Tranparansi pengelolaan menjadi kunci utama agar tidak terjadi lagi penyelewengan. Pengawasan dengan sebenar-benar harus dilakukan oleh pihak terkait dan juga oleh masyarakat secara perorangan atau lembaga (LSM).

Ikuti tulisan menarik arya putra chandra lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler